Aku dan yang lainnya keluar dari kamar Soraya dan memutuskan untuk pulang sebelum petang datang. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah bersama Dian, kami banyak bungkam. Bingung dengan pemikiran kami masing-masing. Sampai di rumah pun aku tetap diam.
Sebelum keluar dari mobil Dian, aku memandang rumahku baik-baik dengan seksama, lalu menoleh ke arah Dian, ia memandangku sejenak lalu ke rumahku.
"Hati-hati ya, Al... " kata Dian padaku. Aku hanya mengangguk padanya lalu membuka pintu mobil dan keluar perlahan. "Al..." panggilnya lagi, aku menoleh dan mendapati wajahnya yang sedikit risau. "Telepon gue kalau ada sesuatu." katanya lagi dan aku mengangguk ke arahnya.
"Sudah mau maghrib, pulanglah." kataku dan ia mengangguk lalu menyalakan mesin mobilnya dan berlalu dari rumahku.
"Alya!" aku menoleh dan mendapati Mama di ambang pintu rumah. Aku tersenyum membalasnya yang tersenyum lembut ke arahku..
"Mama kok udah pulang?" tanyaku seraya mengecup pipinya.
"Mama gak jadi ke toko kue, ada tante Sinta." kata Mama, mataku berbinar mendengarnya lalu melihat ke dalam rumah dan benar kata Mama, tante Sinta tengah mencicipi kue buatan Mama.
"Halo Al!" seru tante dari ruang tengah. Aku bergegas ke arahnya dan memeluknya erat-erat. Ia melepaskan pelukannya dariku dan memandangku dengan ekspresi yang tak bisa aku ungkapkan. "Kamu bau! Mandi dulu gih!" seru tante Sinta, aku hanya tersenyum kecil kemudian segera berlalu darinya menuju kamar, mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.
Tante Sinta adalah adik mama yang paling kecil. Ia memiliki kekuatan lain yang sama halnya denganku. Bedanya ia bisa mengendalikan dirinya dan setan tak bisa mengusiknya, sedangkan aku kesusahan, kadang kala aku terlampau takut sendiri. Seperti apa yang terjadi padaku belakangan ini. Salah satunya aku tanpa sadar melukai diriku sendiri dengan menggigit jemariku dan menuliskan pesan di white board sekolah, hal yang tak kusadari.
Keluar dari kamar mandi, tante Sinta tersenyum padaku.
"Kita jalan-jalan sekitar kompleks, yuk Al." ajaknya.
"Eh tumben-tumbennya lo ajakin Alya jalan-jalan, biasanya lo mager aja di rumah." kata Mama.
"Gue kan juga pengen tahu daerah sekitar sini, mbak, kali aja ada cogan gitu." kata tante Sinta asal. "Iya gak Al?" tanyanya padaku.
"Banyak tante, tapi sayang umurnya lima tahunan!" seruku. Mama dan Tante tertawa menimpali ucapanku. Aku kemudian berlalu ke kamar untuk mengenakan baju.
"Besok pagi aja, udah malem." kata mama lagi.
"Besok pagi aja Tan, bener kata Mama udah malem." kataku sedikit berteriak karena aku berada di dalam kamar.
"Gue tidur sama lo ya, Al!" katanya. Eh? Kok tumben?
"Ada kamar tamu, lo bisa tidur di sana." kata Mama.
"Nggak ah, males, kalau sama Alya gue bisa ngobrol. Maklum kan mba, seumuran!" kata tante, aku dan Mama hanya tertawa menimpali.
"Iya, kamu seumuran dia tapi itu sepuluh tahun lalu!" kata Mama dengan tawa yang berderai.
"Buruan ganti bajunya, Al! Kita makan malam sebelum Papamu datang." kata Tante. Aku keluar kamar dan mendapati Mama hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Emang kenapa kalau ada Papa, tante?" tanyaku.
"Nih lihat! Mama lo bikin sambal terasi sukaan tante sama bokap lo. Kalau ada bokap lo, habis duluan tuh sambalnya." kata Tante tak rela. "Jauh lo, Al, tante ini ke sini, dari Bandung ke Jakarta cuma buat makan sambel terasi doank, makanya yuk cepetan kita makan!" serunya bersemangat lagi. Aku hanya tersenyum mendengar kalimat konyolnya itu.
Setelah usai makan, Papa benar pulang. Ia tersenyum saat menyadari ada tante Sinta di rumah, katanya tante Sinta boleh tinggal seberapa lama yang ia mau.
"Gue cuma tiga hari di sini, kak." kata Tante
"Sebulan juga gak papa, Sin... " kata Papa seraya mencomot satu buah kue di atas meja.
"Kasihan Mama sendirian di rumah." timpal tante Sinta. "Gue kenyang, mau rebahan dulu gue..." kata tante Sinta lagi seraya berjalan ke arah kamarku.
"Sin, pake kamar tamu saja!" seru papa
"Ogah gue tidur sendirian." kata tante seraya membuka pintu kamarku. "Mau nemenin Alya tidur aja." imbuhnya lagi.
Akupun bangkit dari kursi dan mengikuti tante Sinta untuk masuk ke dalam kamar. Kulihat tante Sinta sudah rebahan di atas kasur.
Aku langsung duduk di sampingnya. "Tidur aja tante kalau lelah." kataku, tapi tante Sinta menoleh ke arahku dengan tatapan datarnya yang membuatku sedikit ngeri kalau lama-lama menatap matanya tajam.
"Al... Lo tahu kan lo lagi diikutin sama sosok makhluk yang kuat banget?" tanyanya tiba-tiba dan aku menggeleng.
"Jadi lo gak tahu kalo lo diikutin?" tanyanya lagi dan aku kembali menggeleng. "Di kamar ini aja dia gak bisa masuk, makanya lo bisa tidur tenang."
"Tante yang bener...?"
"Sebenarnya lo punya kekuatan lebih buat ngusir dia yang udah kurang ajar ke lo, kayak gini, dia gak bisa masuk ke kamar lo karena lo punya privacy di sini." imbuh tante. Aku semakin merinding dibuatnya.
"Apaan sih tante ini!" kataku merinding
"Mama kamu pernah kesurupan, kan?" tanya tante Sinta. Aku heran dari mana dia tahu soal Mama yang pernah kesurupan? "Sini Al, duduk sini!" katanya seraya menepuk sisi di sebelahnya. "Mana tanganmu?" kata tante Sinta. Aku menyerahkan kedua tanganku dan serta merta ia memegangnya. Matanya terpejam dan ia memegang kedua tanganku erat-erat, berulang kali malah ia mencoba menahan diri dari sesuatu saat memegang tanganku. Aku bisa melihat keringat dingin keluar dari dahinya, semakin lama semakin banyak dan aku semakin takut. Ia tiba-tiba saja melepaskan tanganku dan menatapku dengan ekspresi terkejut.
Tante Sinta bangkit dari kamar dan keluar kamarku dengan wajah dan gerak tubuh yang tergesa-gesa. Ia menghampiri Papa yang sedang makan.
"Alya harus pindah sekolah! Secepatnya!" kata tante Sinta. Papa, Mama dan aku saling pandang heran dan bertanya-tanya.
"Kenapa emang, Sin?" tanya Mama.
"Gak ada waktu lagi, kalau mbak dan mas tetap kirim Alya setiap hari ke sekolah, akan ada nyawa yang hilang. " kata tante Sinta. Aku dan Mama mendelik lebar dan bingung.
"Kamu mulai ngigau yang gak gak Sin," kata Papa tak percaya.
"Mas! Aku beneran!" kata tante Sinta.
"Ini pasti setan lagi, kan?" tanya Papa dengan nada suara dan raut wajah marahnya. "Gak ada yang namanya setan!" tepat ketika Papa bilang hal tersebut, vas di dalam rumah di dekat pintu masuk pecah. Kami terhenyak kaget, saling pandang dan tiba-tiba angin besar berputar-putar di antara kami.