Tujuh Belas

1015 Kata
Napasku naik turun tak karuan, beberapa dokter kemudian datang dan melakukan pemeriksaan ke Soraya dengan seksama. Aku mundur beberapa langkah saat kulihat Soraya tengah sadar dengan wajah yang sudah banjir keringat dan napas yang naik turun. Aku tahu bahwa keadaannya sudah membaik saat ini. "Al!" panggil Dian seraya memegang lengan kananku, tubuhku terasa sangat-sangat lemas. Rentetan peristiwa yang tak ada habisnya ini benar-benar menguras tenaga dan emosiku. Aku menoleh patah-patah ke arah Dian yang menatapku intens dan tak melepaskan pandangannya sama sekali dari mataku. Tanpa permintaanku sama sekali, ia memapahku perlahan-lahan keluar dari kamar Soraya menuju ke ruang tunggu yang berada di ujung yang sepi. Dian meletakkanku untuk duduk perlahan di atas kursi lalu ia duduk juga pelan-pelan di sampingku. Kiran dan Ardi berjalan menghampiriku dengan raut cemas yang tercetak rapi di wajah mereka. Kiran menyerahkan satu botol air mineral dingin kepadaku. Aku meraihnya sembari mengucapkan terima kasih lalu memutar tutup botol tersebut dan meminumnya segera. Kiran mengambil alih untuk duduk di sebelahku dan menatapku iba. Seolah-olah aku telah mengalami hari yang berat. "Lo gak pa-pa, Al?" tanya Kiran cemas. Ia melihatku dengan sangat cemas dan penuh perhatian sekali. "Kita harus cari tahu Al, kita gak bisa biarin lo kayak gini terus. Diteror." kata Dian. "Iya, sekarang lo ceritain secara detail apa yang sebenarnya neror lo dan siapa yang lo sebut saat Raya kesurupan? Alya? Nama lo sendiri?" tanya Ardi dengan tatapan bingung. "Bukan gue. Cuma nama depan kita saja yang sama." "Bukan lo? Trus siapa? Setannya?" kejar Ardi bertanya terus menerus. "Gue gak ngerti, Ar, tapi kita bisa cari tahu lewat album sekolah orang tua kita." kataku yakin sekali. "Orang tua kita? Jadi dia satu sekolah SMA sama bokap kita?" tanya Dian tak mengerti dan aku hanya mengangguk lemah ke arahnya. "Kok bisa?" tanyanya tak mengerti. Aku menoleh ke arah Kiran dan Dian yang juga menungguku berbicara. "Gue gak ngerti, yang gue lihat kayak gitu. " kataku "Yang lo lihat? Maksud lo apaan?" tanya Kiran dengan dahi berkerut. Aku memandang Dian sejenak lalu kembali memandang Kiran dan Ardi dengan tatapan datar. Lalu mengalirlah semua cerita dari bibirku, dari hari pertama aku menginjakkan kaki di sekolah sampai sekarang. Dari aku melihat mayat-mayat berserakan di lapangan basket sampai Soraya kesurupan. Dari bagaimana aku bisa menulis kalimat mengerikan dengan darahku di white board sampai lukaku sembuh. Dari bagaimana aku bisa terseret lorong waktu dan melihat Papa bersama ke empat kawannya yang ayah kami masing-masing sampai papa membawa siswi perempuan bernama Alya ke rumah sakit. Dari siapa Alya Putri Ningrum yang selalu aku lihat di penglihatan anehku sampai aku bertemu nenek tua yang selalu ada di depan gerbang sekolah. Semuanya telah kuceritakan yang membuat Ardi, Kiran dan Dian tak mengucapkan satu patah katapun padaku. Mereka terperangah dan terkejut. "Lo gak gila, kan Al?" tanya Kiran. Aku mengerutkan kening. "Maksud gue, efek semua rentetan kejadian ini ke lo gak akan bikin lo gila, kan?" tanyanya prihatin. Aku hanya mendesah ke arahnya dengan napas yang panjang dan menggeleng pasrah. "Kita jenguk Soraya yuk." kataku kepada mereka satu per satu dengan memandangnya. Tak ada yang bergerak dari tempatnya. "Kenapa sih?" tanyaku. "Jujur ya Al, gue ngeri... " kata Kiran. "Ngeri kenapa?" tanyaku. "Gue gak pernah lihat orang kesetanan kayak Soraya. Menyeramkan, teriak-teriak kayak orang mau diperkosa." kata Kiran dan Ardi mengangguk. "Ya karena si Alya saat bokap gue bawa dia ke rumah sakit ini mau diperkosa sama perawat sini." kataku. "Itu yang lo lihat tadi sampek lo ngelamun dan gue gak bisa bangunin lo?" tanya Kiran "Iya. Kayaknya gitu. Gue bener-bener gak ngerti kenapa gue bisa lihat semuanya secara jelas dan nyata rasanya." kataku. "Dan kenapa nama lo sama dengan nama sosok yang lo lihat di masa lalu, Al?" tanya Ardi. Aku angkat bahu mendengar pertanyaannya. "Kita harus cari tahu, cari tahu siapa Alya Putri Ningrum yang sebenarnya." kata Dian tegas dan semuanya mengangguk. Aku berdiri dan hendak menuju kamar Soraya tapi tiba-tiba saja Dian menarik tanganku, aku menoleh ke arahnya dan ia menggeleng lemah ke arahku. "Makhluk itu masih ada di kamar Soraya." kata Dian. "Kok lo tahu, An?" tanya Kiran "Gue gak ngerti, tapi beberapa hari terakhir saat kejadian demi kejadian aneh menimpa Alya dan Soraya, telinga gue lebih tajam." katanya seraya memandangi yang lainnya satu persatu. "Termasuk hari ini, sebelum gue lihat Soraya kesurupan, gue denger perempuan teriak-teriak dan ketawa keras banget, kayak orang kesakitan dan terhina, lalu gue denger suara bokap dan nyokap Raya yang lagi ngobrol, lalu gue narik kesimpulan bahwa makhluk aneh itu ada di kamar Raya. Pas gue nyampek kamar Raya duluan gue tahu gue udah terlambat. Soraya telah dirasuki." kata Dian menjelaskan. Aku menatap ke arah Dian dengan tatapan menunggu. Ia seolag sedang menjamkan telinganya baik-baik. "Tunggulah pembalasan dendamku." kata Dian pelan, sangat pelan hingga Kiran dan Ardi hanya saling pandang dan tak mengerti sama sekali ucapan Dian barusan. "Lo bilang apa barusan, An?" tanya Kiran. Dian menoleh ke arah Kiran dan memandangnya datar. "Dendam, ada dendam dalam hantu itu." kata Dian. "Dendam ke Soraya?" tanya Kiran. "Kalau itu gue gak tahu." kata Dian. "Kalau gitu harus kita cari tahu." kata Ardi selanjutnya. "Kita cari tahu siapa Alya Putri Ningrum." imbuhnya. "Kalau dia beneran pake seragam yang sama kayak kita, berarti dia alumni sekolah kita." kata Kiran "Kita tinggal lihat album kenangan para bokap kita, iya kan?" tanyaku dan mereka mengangguk setuju. Dian berdiri. "Kita harus pamit Mama Papa Soraya." kata Dian Akupun berdiri dari tempat dudukku bersama dengan yang lainnya dan berjalan menuju kamar Soraya. Ketika Dian membuka pintu kamar Raya, Mama dan Papanya menoleh ke arah kami dengan tatapan yang tak kami mengerti. Kami saling pandang bingung. "Pulanglah kalian semua." kata Papa Raya dingin, aku dan yang lainnya saling pandang heran. "Sudah, pulanglah! Jangan ke sini lagi!" kata Papa Raya. Raya yang masih pingsan tiba-tiba menggeliatkan wajahnya ke sana ke mari dan bangun perlahan-lahan. "Al..." panggil Raya. Ia mengulurkan tangannya karena aku tak jua menghampirinya. "Al... " panggilnya lagi. Aku melihat ke arah orangtuanya sejenak dan kemudian menghampiri Soraya. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya dan ia bergumam pelan di telingaku, "Gadis itu menyimpan dendam. Hati-hati." kata Raya dengan senyum yang dipaksakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN