Sembilan Belas

1030 Kata
"Ini pasti setan lagi, kan?" tanya Papa dengan nada suara dan raut wajah marahnya. "Gak ada yang namanya setan!" tepat ketika Papa bilang hal tersebut, vas di dalam rumah di dekat pintu masuk pecah. Kami terhenyak kaget, saling pandang dan tiba-tiba angin besar berputar-putar di antara kami. Angin besar itu berputar-putar perlahan hingga semakin lama semakin membesar. Beberapa rambut tante Sandra tiba-tiba melayang lalu tante Sandra kemudian terbang. Tubuhnya membentur dinding sekali, dua kali. Aku mencoba membantunya tapi kesusahan, seolah-olah kedua kakiku tertahan. Aku ingat kata tante Sandra barusan, setan yang menempel padaku kekuatannya besar. Jika aku mau aku bisa saja mengenyahkannya tapi aku hanya tak tahu cara mengenyahkannya saja, padahal masuk ke kamar tidurku pun setan itu tak bisa. Kenapa ia tak bisa masuk ke kamarku? Tante Sinta tubuhnya masih melayang-layang di udara, terhentur ke sana ke mari dan hanya Papa dan Mama yang mampu bergerak mencoba menolong tante Sinta, tapi aku hanya terpaku. "Alya! Jangan mau dikendalikan!" kata tante Sinta Apa maksudnya barusan? Aku dikendalikan siapa? Aku ingat bahwa selama ini setiap kali aku melihat masa lampau dan mengalami hal-hal aneh, aku selalu tak sadarkan diri dan orang-orang di sekitarku menyadarkanku dengan meneriki namaku berulang-ulang dan mengguncang bahuku. Bahkan aku juga ingat kalau sebelum menuliskan kalimat aneh di papan tulis, aku melihat ada tangan lain di atas tanganku dan tangan itu sangat mengerikan. Tapi kali ini aku sadar hanya saja entah mengapa aku tak bisa mengontrol pergerakan tangan dan kakiku. Aku terpaku. "Jangan mau dikendalikan, Alya!" teriak tante Santi lagi. Tubuhnya terbentur ke sana ke mari dengan sangat keras sedangkan Papa dan Mama tak bisa berbuat banyak untuk tante Santi. Aku akhirnya memilih memejamkan mataku lalu membaca semua doa yang kutaha dan yang telah kuhapal. Mengingat-ingat pesan imam masjid kalau manusia derajatnya lebih tinggu dari pada setan. Aku mencoba membersihkan diriku sendiri dengan merapalkan berulang-ulang ayat kursi lalu suara-suara ditelingaku mulai berdengung. 'Kau harus membantuku menuntaskan dendam, Al!' 'Hanya kau yang bisa!' 'Hanya kau Al!' Aku? Kenapa aku yang harus menuntaskan dendam? Aku semakin kuat merapalkan doa-doa dan mengenyahkan semua energi negatif di sekitarku, termasuk bisikan-bisikan aneh yang kudengar ini. Ketika aku membuka mata dan menyudahi membaca ayat kursiku, aku menatap tante Sinta yang masih mengudara dengan baik-baik. Lalu sembari masih menatapnya aku membaca kembali doa-doa yang kuhapal, detik berikutnya ia tiba-tiba terjatuh ke tanah dan refleks aku bisa berlari ke arahnya. "Kamu berhasil, Al!" katanya sebelum pingsan. Aku tak mengerti apa maksud tante Sinta soal aku berhasil, yang jelas seluruh tubuhku sekarang menjadi kaku dan sakit semua. Setiap kali aku mengalami kejadian yang aneh akan selalu berdampak seperti ini ke tubuhku. Pertama kali ketika Nancy kesurupan, aku lelah bukan main. Bagaimana tidak? Setan yang menempel di tubuh Nancy benar-benar keras kepala dan membuatku menguras tenaga. Lalu setiap aku mendapatkan pengelihatam di masa lalu, seluruh tubuhku sakit semua. Terkadang aku merasa sedang jadi tokoh utama dalam sebuah drama Korea yang hobi sekali melintasi lorong waktu, bahkan ada yang berhasil mengubah takdirnya di masa lalu hanya agar kehidupan di masa depan berjalan dengan baik. Apa sekarang ini yang aku alami ini adalah bagian dari hal itu? Mengubah masa lalu untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik? Papa dan Mama telah membawa tante Sinta ke kamar tapi lagi-lagi kakiku terasa sangat sulit di gerakkan. Aku menatap dan memandang kakiku yang ngilu dan melihat hal mengerikan tengah terjadi di sana. Beberapa puluh jari jemari merayap dan muncul dari lantai seperti akar sebuah pohon lalu mengikat kakiku. Cengkramannya sangat kuat sekali hingga aku benar-benar tak bisa sama sekali menggerakkan kedua kakiku. Tak cukup sampai di sana, suara musik gamelan kembali berbunyi lalu ada beberapa wanita penari lengkap dengan pakaian adat tariannya sedang menari-nari. Ada sekitar lima sampai tujuh perempuan menari-nari. Mereka mengelilingiku dan membutku semakin dilanda ketakutan. Aku melirik ke kamar tamu dan melihat Papa dan Mama sedang berusaha membawa tubuh tante Sinta ke ranjang, langkah mereka bahkan melambat, sangat lambat sedangkan para penari yang mengelilingiku menari dengan sangat cepat. Aku merasa kepalaku berputar-putar. Suara gending dan gamelan yang mengiringi para penari itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku jadi ingat film kuntilanak yang diperankan Julie Estelle yang sukses membuatku merasakan kengerian di dalam bioskop bukan karena filmnya tapi banyaknya makhluk halus di dalam bioskop itu yang akhirnya membuatku tak tahan lama-lama berdiam diri di dalam bioskop dan memutuskan untuk pergi sesegera mungkin. Aku berusaha berkonsentrasi dan mengendalikan diriku dengan baik-baik. Aku berusaha mengatur napasku dan tak terkecoh oleh keanehan-keanehan yang ada di sekitarku. Suara tante Sinta terus bergema di telingaku. Hanya aku katanya, hanya aku yang mampu mengendalikan diriku sendiri. Aku, ya, hanya aku. Aku mulai mengingat-ingat kembali bagaimana perjalananku bertemu dengan imam masjid yang sebelum kuungkapkan keingananku untuk menjadi muridnya, ia sudah berkomentar bahwa aku salah satu ciptaannya yang 'Istimewa'. Aku tak mengerti maksud kata tersebut dan memilih mengacuhkannya saja. Imam masjid itu hanya berpesan bahwa aku tak boleh tergesa-gesa dan menuruti hawa nafsuku, itu hanya akan membuatku semakin susah mengendalikan diriku sendiri. Lalu aku mulai merapalkan semua doa yang telah diajarkan kepadaku. Berbagai macam busikan bunuh diri kini berebut masuk ke dalam telingaku. Aku berusaha menebalkan telingaku. 'Kata Papamu bukankah ia menginginkan anak laki-laki, lalu untuk apa kau hidup jika kau tak diinginkan, Alya?' 'Kata Papamu, karena kau lahir salah satu usaha yang dibangunnya juga bangkrut. Ia tak hanya kehabisan uangnya tetapi juga ia harus gulung tikar. Mati saja lebih baik.' Kalimat - kalimat seperti itu terus menerus berdenging di telingaku. Aku berusaha menebalkan apa yang tengah kudengar dan kuabaikan semua kalimat itu dengan terus menerus menajamkan lidahku untuk terus berdoa. Setelah cukup lama barulah aku mendengar suara teriakan di sana sini yang memekakkan telinga. Suara teriakan yang syarat seperti kesakitan dan penyiksaan yang diterima. Semakin lama, suara teriakan-teriakan itu semakin kencang terdengar dan semakin jauh hingga menghilang sempurna bersamaan dengan selesainya doa-doa yang kurapalkan. Aku membuka kedua mataku perlahan-lahan, kulihat jari jemari yang menjerat kakiku telah turun dan lenyap di lantai, sekelilingku juga telah bersih dari tarian dan suara gamelan. Napasku naik turun dengan teratur, aku menoleh ke kamar dan melihat Papa sedang atau masih berusaha menurunkan tante Sinta ke kasur. Rupanya waktu baru saja berhenti berdetak. Aku gegas memasuki kamar tamu tersebut. Mencari tahu secepatnya sesuai perintah otak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN