Sepuluh

1766 Kata
Alya POV Aku melirik Neli kembali saat meraih tasku yang tergeletak di meja. Wajahnya yang cantik itu nampak gusar sedikit dengan bibir yang bergetar-getar. Mungkin ia ketakutan sekarang ini. Bagaimana tidak? Kalung dengan liontin berwarna biru itu terus ia gadang ke mana-mana dan memamerkannya dengan percaya diri lalu mengatakan kalau itu warisan dari leluhurnya yang berdarah ningrat. Aku melangkahkan kakiku keluar kelas dengan segera dan mendengar beberapa barang terlempar begitu saja lalu disusul kemudian suara teriakan yang manja. Siapa lagi kalau bukan Neli? Aku tak melihat Dian, Kiran, Ardi dan Soraya saat melangkahkan kaki terus menuju pintu keluar sekolah. Aneh sekali, semakin aku melangkah jarak tempuhnya semakin panjang. Rasa-rasanya kakiku berjalan lebih jauh dari biasanya, mengulang-ulang kelas yang sudah seharusnya kulewati. Sialan sekali setan ini! Aku lalu merapalkan doa dengan sangat dalam dan terus berjalan tanpa memedulikan dengungan-dengungan aneh di sekitarku. Jika itu temanku maka mereka pasti akan segera berlari ke arahku, tapi jika bukan itu berarti setan aneh yang tak kuketahui dan kekuatannya luar biasa itu sedang mencoba menjahiliku lagi. Langkah kakiku berhenti. Aku berjalan mulai dari samping kelasku lagi dan ini sudah yang ketujuh kalinya. Sialan! Aku mulai diam, lalu memejamkan mata dengan sangat dalam dan merapalkan doa-doa ruqyah yang sudah kupelajari dari seorang imam besar. Ketika aku membuka mata, aku menyadari bahwa aku berada di dimensi yang berbeda. Setan sialan! Dia ingin membawaku ke masa-masa di mana ia dulu bersekolah di sini! Seorang perempuan yang mengenakan seragam yang sama denganku dengan rambut panjang lebatnya yang terjuntai itu sedang duduk termenung di bangku depan kelas seorang diri. Ia sesekali hanya memandang iri beberapa siswa siswi yang berkeliaran di depannya dengan sangat akrab. Seharusnya ia bahagia karena memiliki wajah yang rupawan dengan rambut yang sangat indah. Siapapun pasti akan bersedia berteman dengannya, bukan? Suara tawa terdengar menggema dari lorong sebelah kanan. Kumpulan genk perempuan yang berisi lima orang perempuan sok cantik dan centil sedang berjalan ke arah di mana aku dan gadis di hadapanku ini berada. Aku baru tahu kalau sekolah ini dulu memberikan hak kepada siswa untuk bebas memakai sepatu sekolah apapun yang pantas dan mereka mau, seperti para genk perempuan itu. Lihatlah mereka. Rok mereka yang panjangnya hanya separuh dari paha mereka itu membuat para siswa lelaki melihat gratis ke kaki indah mereka. Tak hanya roknya yang menarik perhatian tapi juga sepatu kets warna-warni mereka. Sesuai dugaanku, mereka genk lima gadis yang sok cantik itu berhenti tepat di depan seorang anak perempuan yang wajahnya polos dan kecantikannya sangat natural. "Hei! Anak beasiswa! Lo udah ngerjain tugas kita belom?" tanya seorang cewek berambut blonde ikal yang berada di tengah-tengah antara ke empat kawannya. Aku menebak kalau dia adalah ketua genknya. Gadis bermata polos itu mendongak ke arah perempuan yang berseragam sama dengannya. "Sudah. Kuletakkan di mejamu." aku merasa geram mendengarnya mengatakan hal itu. Bagaimana bisa ia diam saja saat diminta mengerjakan ini itu oleh perempuan sok cantik itu? "Punya temen-temen gue?" tanya gadis itu lagi. "Sudah di meja masing-masing." kata gadis itu lalu kelima gadis yang lainnya berlalu masuk ke kelas tanpa mengucapkan sepatah katapun. Terima kasih atau semacamnya... Suara riuhan kembali bergaung hebat, kali ini dari lorong sebelah kiri. Semua siswa dan siswi keluar dari kelas masing-masing, berbondong-bondong melihat siapa yang tengah datang. Mereka bahkan menggerumbul menghambat jalan. Salah satu geng dari ke lima gadis itu meneriaki temannya yang ada di kelas ketika ia mengintip sejenak keluar kelas dan kembali memasukkan wajahnya ke dalam kelas dengan senyum yang besar. "Bagas! Ada Bagas! Pindahan dari SMA di Bandung!" katanya berseru senang. Aku mengerutkan kening mendengar nama itu disebut bahkan dielu-elukan oleh para siswi. Aku berdiri tapi aku tak bisa bergerak sama sekali. Kakiku seolah tertancap sesuatu yang hebat hingga aku tak memiliki kekuatan untuk bergerak sama sekali. Aku memandang gelisah ke arah gerumbulan siswi itu yang semakin lama semakin mundur. Aku takut tubuhku tertubruk lalu terinjak-injak oleh mereka. Sialan! Gerombolan siswi itu mengelu-elukan nama 'Bagas' berulang-ulang kali. Seolah-olah mereka baru saja melihat kehadiran seorang K-Pop di Indonesia. Antusiasnya sama besarnya. Semuanya bersorak senang termasuk ke empat dari ke lima genk gadis itu, yang berbeda hanya gadis di hadapanku yang memilih duduk tak ikut bersorak-sorak. Ia seolah tak minat sama sekali dengan sosok siapa yang hadir diantara mereka. Bel sekolah berbunyi dan riuhan kecewa keluar dari bibir para gadis tersebut. Aku meringis heran dan tersenyum mengejek. Memangnya setampan apa sih pria yang dielu-elukan namanya itu? Barisan siswa siswi dan gerombolan itu akhirnya merenggang juga perlahan-lahan. Aku akhirnya bisa melihat dengan sangat jelas siapa pria yang sedari tadi jadi bahan kesegaran di tengah-tengah kejenuhan siswi tersebut soal mata pelajaran mereka. Cowok berseragam sama denganku itu berjalan diiringi oleh ke empat temannya yang sama-sama mengenakan kaca mata hitam jadul yang jadi tren sempurna masa itu, kalau sekarang mah bakalan diketawain karena memakai kacamata bentuk kuda tersebut. Tepat ketika pria yang berada di tengah-tengah diantara ke empat kawannya itu melepaskan kacamatanya sejenak, aku terpukau dan terpaku. Aku terpaku dan ternganga kaget tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Bagaimana bisa Papa jadi idola para siswi saat itu? Papa dan ke empat kawannya melepaskan kacamata dan mulai tersenyum genit ke arah teman-teman perempuan yang mengagumi pesonanya. Kuakui Papa memang tampan tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau Papa akan menjadi idola para siswi saat beliau sekolah. Papa! Aku mencoba memanggilnya tapi ia tak bergeming sama sekali. Ya pasti, bagaimana bisa ia bergeming sementara aku datang dari masa depan dan masuk ke kenangan seseorang. Kenangan seseorang? Kira-kira kenangan siapa? Aku menoleh ke kanan dan kiri mencoba mencari petunjuk bagaimana caranya aku bisa terlempar ke masa lalu? "Rani! Sini deh!" teriak salah seorang siswi yang tergabung di genk tadi. Lalu aku melihat perempuan yang bernama Rani yang semula mencoba merisak gadis di hadapanku dengan menanyakan tugas sekolahnya berdiri dari bangkunya dan berjalan ke arah ke empat kawannya yang berada di ambang pintu. Kuperhatikan baik-baik wajah gadis bernama Rani itu dan astaga! Gadis itu adalah Bu Rani guru konseling yang memarahiku tadi di UKS. Kenapa ada dia juga di masa lalu? *** "Alya! Alya! Alya! " teriak seseorang. Tiba-tiba semuanya mendadak berubah sangat cepat. Jam dinding di dalam kelas berputar hingga mata tak bisa menangkap perjalanannya, sekolah pun berubah dari waktu ke waktu. Perubahan renovasi, perubahan wajah dan perubahan musim waktu. Bahuku ditepuk lembut. Sontak aku menoleh ke arah tangan yang masih ada di pundakku dan mendapati seluruh lorong sekolah telah sepi, tak seperti tadi yang ramai sekali. "Bokap lo ada di ruang BK!" kata Ardi ngos-ngosan di sampingku. Aku masih bingung. Kejadiannya begitu cepat hingga aku tak bisa berpikir jernih. Seolah semua ini tadi hanya mimpi. Nyatanya aku benar-benar mengalaminya. Aku terseret alur waktu ke masa lalu dan menyaksikan adegan yang bagiku tak begitu penting. "Al! Lo dengerin gue gak sih?" tanya Ardi agak geram. Aku hanya memandangnya datar dan tak mengerti sama sekali kenapa ia sampai ngos-ngosan di sampingku. Memangnya kenapa kalau Ayahku ada di ruang BK? Aku menatap kedua kakiku yang menyentuh lantai dan mulai menggerakkannya perlahan. Kurasakan semua jemariku bergerak di dalam kaos kaki saat otakku memerintah. Aku mengangkat satu kaki kiriku dan kakiku terangkat. Kulakukan hal yang sama dengan kaki di sebelah kanan, dan hal yang sama juga terjadi. Tak ingin merasa puas dengan apa yang baru saja terjadi, aku mengangkat kakiku ke atas bergantian keduanya. Aku kegirangan bukan main dan ketika aku memandang ke arah Ardi, dia menatapku aneh. Sontak saja senyumku sirna seketika dan menatapnya dengan tatapan sok baik-baik saja. Tangan Ardi tiba-tiba saja sudah ia pindahkah ke dahiku, lalu tangannya yang satu lagi berpindah ke dahinya. Belum sempat aku protes akan tingkahnya yang lebay itu dia sudah duluan melangkah menjauh. "Lo gak lagi kerasukan, kan, Al?" tanyanya dengan tatapan mata waspada. "Apaan sih lo, Di!" seruku tak terima. Ia tertawa akhirnya. "Syukurlah." katanya lagi seraya mengelus-elus dadanya. "Yang lain ke mana?" tanyaku dan Ardi mengangkat bahunya. "Bokap gue di mana?" "Ruang BK" kata Ardi. Serta merta aku langsung berjalan menuju ruang BK dengan segera. Belum juga sampai ke ruang BK aku sudah melihat Papa dan Bu Rani berjalan beriringan. Lihat saja keduanya itu, Bu Rani yang terkenal perawan tua dan tak pernah tersenyum ke siapapun itu kenapa jadi murah senyum ketika ia bersama Papa? Aku kembali mempercepat langkah kakiku menuju keduanya yang kini sudah menyadari kehadiranku di depan mereka tak jauh lagi. "Alya..." sapa Bu Rani ramah. Oh Tuhan! Ke mana semua kecantikannya saat masih SMA dahulu? Ke mana badannya yang sexy dengan rambut yang berwarna pirang mengkilat? Dan kenapa sekarang ia memakai kacamata yang membuatnya terlihat lebih tua? "Gimana keadaan tanganmu?" tanyanya sok ramah. Ada apa sebenarnya dengan Bu Rani? Ke mana sikap angkuhnya sebelumnya itu? Raib ke mana semua kesombongannya? "Seperti yang ibu lihat." kataku cuek. Ia berjalan maju ke arahku dengan langkah kaki yang pelan dan lemah lembut. "Lain kali hati-hati, ya? Aku khawatir, Papamu juga... " katanya sangat lembut. Aku melirik Papa yang memandangku dengan tatapan tegas dan menyimpan amarah. Aku tersenyum sinis kemudian ke arah Bu Rani. "Gak usah sok baik deh, Bu!" sergahku malas. "Alya! Jaga sikap!" kata Papa tak suka. "Sudah! Tapi Papa gak tahu apa yang Bu Rani bilang sebelum dia tahu aku anak Papa!" kataku membela diri. Bu Rani dengan wajah polos dan ekspresi yang dibuat-buat seolah ia tak bersalah sama sekali itu semakin membuatku semakin geram bukan main. "Aku memang bilang apa, Al?" tanya Bu Rani dengan tatapan menantang. "Semua guru BK wajib memberi peringatan kepada muridnya, kan Pak Bagas?" kata Bu Rani berkilah. Ia seolah-olah membuat dirinya tak bersalah di depan Papa. "Betul itu, Bu... " "Apalagi... " kata Bu Rani seraya menarik tanganku yang telunjuknya terluka. "Masak saya diam saja jika ada salah seorang murid didik saya yang nekat melukai dirinya sendiri?" tanyanya dengan tatapan memohon pembenaran dan perlindungan ke Papa. Dengan kasar aku menarik tanganku. Di jaman dahulu dan jaman sekarang, ia sama saja bermuka dua! Papa menatapku tak suka kala aku menarik tanganku dengan sangat kasar dari tangan Bu Rani. Papa bahkan mendelik ke arahu. "Aku baru tahu kalau Papa dan Bu Rani satu sekolah." kataku. Papa dan Bu Rani saling pandang dengan wajah terkejut yang tercetak jelas di keduanya. Mereka kemudian menatapku lagi. "Papa yang populer di sekolah dan Bu Rani yang ketua genk?" kataku lagi. Bisa kulihat dengan sangat jelas kalau Papa menelan ludah dan Bu Rani tak berkedip. "Apa mama tahu soal kalian dulu?" tanyaku. Wajah Papa semakin pucat, pertanda ada sesuatu yang ia sembunyikan dari Mama. Tapi, apa itu? Apa yang ia sembunyikan dari Mama? Tak ingin mendengar penjelasan apapun dari mulut Papa, aku memutuskan untuk berjalan terlebih dahulu ke luar sekolah. "Alya! Alya! Alya tunggu! " seru Papa tapi aku tak mau berhenti melangkah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN