Sampai di rumah Papa masih tak berhenti memerahiku. Ia terus saja mengucapkan semua kalimat yang sama dengan yang diucapkan oleh Bi Rani.
Jangan cari perhatian.
Mama hanya melihatku diam saja saat papa terus saja marah-marah tak jelas padaku. Akhirnya Mama angkat bicara ketika Papa menyebutku pembangkang, sifat yang diturunkan oleh Mama.
Aku menghela napas kesal melihat dan mendengar sendiri kali ini Papa dan Mama yang bertengkar hebat.
Ketika aku ingin masuk ke dalam kamar, pintu rumahku diketuk dan aku melangkah ke arah pintu untuk membukanya. Saat pintu sudah terbuka, tak ada siapa-siapa di depan rumahku. Aku menengok ke kanan dan kiri mencari orang yang tadi mengetuk pintu rumah, tapi benar-benar tak ada orang lain lagi.
Aku keluar rumah menuju halaman depan rumahku yang ditumbuhi sebatang pohon dan melihat ke arah jalanan, tapi tak ada tanda-tanda ada orang yang baru saja ke rumah. Ketika aku sudah berbalik, sekelebatan seperti melewatiku. Aku merasakan sensasi aneh yang berhembus baru saja di sekitarku. Bau anyir amis dan perasaan yang aneh ini membuatku penasaran dan kembali menoleh ke arahku.
Anehnya, sekali lagi aku tak melihat apapun di sekitar lingkungan rumah kami. Ketika aku berbalik, sesuatu tepat berada di depanku dengan sangat mengerikan.
"Aarrgggg!!!!" teriakku. Bagaimana aku tidak berteriak jika sosok di depanku ini sangat amat mengerikan. Mata melotot hampir keluar dengan darah yang terus mengalir dari matanya dan kulit wajahnya keriput menghitam, seperti pernah terbakar.
"Alya!" panggil Mama keras seraya menepuk-nepuk bahuku. Aku membuka kedua tanganku yang menutup wajahku dan melihat Mama yang berwajah cemas menatapku heran. "Kamu kenapa?" tanyanya heran dan cemas, tapi aku hanya diam.
Keringat deras sudah membasahi wajahku. "Kamu kenapa, Al?" tanya Mama tapi aku bingung harus menjawab apa ke Mama.
Kulihat Papa berada di ambang pintu menatapku dengan sangat benci. "Cari perhatian lagi?" tanya Papa geram. Aku hanya diam mendengarkannya yang terus saja berbicara aneh-aneh.
Aku berlalu dari Papa dan Mama dan segera menuju kamarku lalu menutup pintu kamar dan mengucinya. Pintu kamarku digedor-gedor oleh Papa, ia memintaku keluar dari kamar dan berbicara dengannya. Tapi aku benar-benar tak ingin bicara dengannya saat ini. Aku tak ingin ia menyebutku 'anak setan' lagi ketika aku menceritakan soal pengelihatanku kepadanya.
Dulu aku pernah bilang ke Papa kalau arwah Kakek ikut dengannya dan menempel di bahunya. Papa tak percaya. Lalu kutanya apakah Papa punya janji ke kakek, ia memandangku kesal lalu pergi saat hujan di malam hari.
Papa pulang dalam keadaan basah dan penuh lumpur. Katanya papa hampir dibunuh bandit dan motornya raib sama bandit. Iseng aku langsung nyletuk kalau Kakek yang nyelametin Papa di tengah hutan.
Papa melirikku dan lalu mengunciku di tengah kamar. Aku menangis dan mengatakan semua peristiwa yang dialami Papa yang akhirnya membuat Papa membukakan pintu kamarku. Ia menatapku dengan dalam.
"Apa kakek masih ikut Papa?" tanyanya dan aku mengangguk. "Kenapa?" tanyanya lagi dan kubilang kalau Papa punya janji kepadanya. Papa menghela napas berat. "Alya, berjanjilah pada Papa kalau kamu akan bersikap seperti manusia normal lainnya. Jangan pernah kamu tunjukkan kemampuanmu kepada orang lain. Papa akan lunasi janji papa ke kakek." kata Papa dan aku mengangguk setuju.
Sebulan setelah Papa membangun sebuah masjid di atas tanah yang diwariskan Kakek, kakek akhirnya menghilang. Dan di sanalah aku bertemu imam masjid yang membantuku mengontrol diri atas kekuatan lain yang kupunya.
Suara langkah kaki Papa menghilang dari depan kamarku lalu sayup-sayup aku mendengar mesin mobil dinyalakan dan kamarku diketuk lagi. Kali ini Mama memanggil namaku dengan lembut.
Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju pintu yang kukunci dari dalam. Kulihat Mama tersenyum manis ke arahku. Aku tak membalas senyumannya dan malah kembali berbalik masuk ke kamar dan duduk di atas kasur. Mama mengikutiku...
"Sayang, mau cerita ke Mama?" tanyanya pelan dan aku menggeleng pelan juga. "Ya sudah, mau bantuin mama di dapur?" tanyanya. Aku memandangnya sejenak lalu mengangguk setuju.
Mama adalah pemilik Larita Bakery. Usaha yang mama bangun sejak aku usia tiga tahun kini membuahkan hasil. Mama sudah mempunyai lima toko cabang roti yang tersebar di Jabodetabek. Beberapa minggu lalu mama disibukkan dengan kegiatannya membuka kembali toko cabang di Depok.
Ketika Mama dan Papa bertengkar, Mama akan melampiaskannya ke adonan kue. Baginya itu membuat harinya semakin baik dan menyenangkan. Tak ada yang mengerti mama termasuk aku, Mama tak pernah mengeluh ketika Papa berulang kali memarahinya yang bekerja terlalu keras. Papa ingin Mama hanya duduk diam di rumah tapi ketika keuangan keluarga berkurang, Mama yang akan disalahkan, jadi Mama bertekad mandiri dengan membuat toko kue kecil-kecilan di rumah yang sekarang sudah memiliki beberapa cabang. Tapi tetap saja Papa tak suka melihat Mama keluar rumah sering-sering. Entah mengapa. Padahal semua biaya rumah sakit nenek yang sekarang masih dirawat di rumah sakit karena koma itu dari Mama sebagian besar. Sebulan Mama bisa menghabiskan biaya sekitar 20-30 juta.
Mama yang sedang mengaduk adonan itu membuatku ingin menanyakan sesuatu perihal Papa.
"Ma ..." panggilku.
"Ya?"
"Mama ketemu Papa di mana?" tanyaku yang membuatnya menoleh ke arahku.
"Saat Kuliah." jawabnya.
"Papa orangnya seperti apa?"
"Seperti apa, ya?" katanya lagi seraya berpikir dengan mendongakkan kepalanya ke atas lalu kembali menatap adonan di tangannya agar adonannya kalis. "Mama dulu gak terlalu kenal Papa, Papa terlalu populer di kampus."
"Karena sangat tampan?"
"Tampan, ramah dan terkenal suka membantu sih... "
"Suka membantu?"
"Bantu nyontekin temen-temennya." kata Mama dengan senyum jahil. "Hayo kenapa tiba-tiba tanya Papa?" tanya Mama menggodaku.
"Tadi Papa ke sekolah."
"Mama tahu."
"Papa bilang aku kurang perhatian, sama dengan apa yang dibilang Bu Rani."
"Oh. Memang kamu kurang perhatian dari siapa?" tanya Mama dengan nada cuek seraya mencetak adonan ke cetakan kecil-kecil yang berbentuk bulan sabit.
"Nggak. Aku cuma... "
"Cuma?"
"Cuma ngerasa aneh di Sekolah. Bisakah kita pindah ke sekolah lain?" tanyaku akhirnya. Aku merasa lelah dengan teror ini.
"Aneh kenapa sayang?" tanya balik Mama.
"Entahlah... " kataku seraya memandang telunjuk tanganku yang terluka.
"Loh? Itu luka sejak kapan?" tanya Mama kaget. Ditariknya tanganku untuk ia amati dengan seksama. "Ayo ke dokter..." kata Mama. Rupanya Papa tidak mengatakan kepada Mama soal tulisan dengan tinta darahku di White Board sekialah.
"Mama benar-benar gak kenal Papa sejak lama? "tanyaku dan matanya memandangku dengan sangat tajam. Tatapan mata itu seolah bukan Mama... "Ma!!" panggilku. Tapi ia tak berkedip sama sekali. Bau anyir darah yang sangat amis tiba-tiba saja tercium sangat kuat oleh hidungku.
"Assalamualaikum!" suara seseorang dari luar. Dian. Aku menoleh sejenak ke arah di mana pintu itu berada, lalu kembali menoleh ke arah mama yang sekarang anehnya masih menguleni adonan agar kalis.
"Mama!" panggilku dan ia menoleh dengan senyum. Bau anyir darah telah hilang dan sesorang diluar mengucapkan salam lagi.
"Bukain pintunya sayang... " kata Mama padaku. Aku tertegun sejenak melihat perubahan sikap Mama yang signifikan dan membuatku ngeri. Aku benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini.
Perlahan aku beranjak dari dapur setelah memerhatikan Mama yang sedang memasukkan adonan ke dalam oven.
Apa mungkin aku berhalusinasi?
Aku berjalan ke arah pintu dan sebelum membukanya aku sudah bisa melihat Dian yang ada di luar. Ia sedang mendongak ke atas dengan wajah yang sedikit agak tegang. Ketika aku membuka pintu, seketika itu pula ia menoleh cepat ke arahku dan menatapku tersenyum tapi senyumnya hilang kala ia tertegun dengan sesuatu di belakangku. Aku mengikuti arah pandangannya dan mendapati Mama sedang berdiri di dekat kamarku dengan wajah yang terlihat sangat kosong.
Dian menarik diriku agar ke arahnya, dan aku gak memprotes aksinya. Mama memang kelihatan aneh hari ini.
Aku dan Dian sudah berdiri di luar rumah. Bau asap dan anyir darah kembali menyeruak di hidungku. Kutatap ke arah langit dan benar kata Dian tempo hari karena kali ini aku melihatnya sendiri, sebuah asap tengah mengembul dari atap rumahku.
"Mama lo dirasuki." kata Dian. Aku menoleh ke arahnya yang tak berkedip sama sekali memandang Mama. Mama juga balik memandangnya tak berkedip.
"Aku tahu. Tapi... "
"Kuat banget setannya, Al... "kata Dian. Ia merapalkan sesuatu entah apa aku tak mengerti. Lalu tiba-tiba saja Mama tertawa dan menjerit menakutkan.
Hari masih sore dan suara Mama yang mengerikan seperti itu mengundang beberapa tetanggaku yang kebetulan sedang berada di luar rumah. Mereka menengok ke arah rumahku dengan wajah yang bertanya-tanya.
Dian menarikku agar mundur ketika Mama maju ke arah kami pelan-pelan. Suara tawanya yang seperti kuntilanak itu membuatku merinding. Aku dan Dian terus berjalan mundur karena Mama terus berjalan maju hingga ketika Mama sudah berada di ambang pintulah para tetangga bisa melihat dengan jelas ada yang aneh dengan Mama.
"Astaghfirulloh!" pekik salah satu tetanggaku, mendengar itu Mama menoleh ke arahnya, begitupun denganku dan Dian. Lalu tak berselang lama salah satu pot tanaman di rumahnya melayang di udara, dan kejadian itu membuat semua orang memandang ngeri ke arah pot itu.
Mataku yang tertegun menangkap hal lain tanpa sengaja. Mobil papa yang berjalan pelan ke arah rumah. Aku senang Papa sudah pulang hingga ia bisa melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi tanpa aku harus ngotot menceritakannya ke Papa yang nantinya membuat Papa semakin marah.
Ketika mobil Papa sudah berhenti dan ia keluar dari mobilnya dengan wajah aneh, Mama langsung menoleh ke arahnya dan pingsan tiba-tiba bersamsan dengan pot bunga yang melayang di udara itu jatuh dan pecah.
"Larita!" pekik Papa memanggil mama yang sudah pingsan di depan rumah..