Soraya yang mengambil ekstrakulikuler PMI mengobati tangan Alya dengan sangat teliti seolah-olah tangan Alya akan mengalami cedera parah bila ia biarkan.
"Katakan, kenapa gue sampek terluka?" tanyaku kepada semua teman-temanku yang mengelilingiku. Dari mulai Dian, Kiran, Ardi dan Raya, semuanya diam. "Kenapa?" tanyaku lagi penasaran.
"Setelah lo nyelesain semua tugas dari Pak Roni, Al, lo gigit jari lo dan nulis di papan tulis dengan darah di tangan lo." kata Kiran akhirnya. Dian melotot marah ke arahnya, seolah tak terima dengan apa yang baru saja Dian katakan. "Cepat atau lambat, Alya akan tahu, banyak temen kita di kelas ngerekam kejadian itu di ponsel mereka." kata Kiran pada Dian saat tatapan Dian mengintimidasinya.
'Tapi lo gak harus ngomong sekarang?" protes Dian. Kiran menghela napas frustasi.
"Dia tanya. Lo kayak gak tahu aja kerasa kepalanya Alya gimana!" seru Kiran tak mau kalah.
"Kenapa kalian jadi malah tengkar, sih?" tanya Ardi jengah. "Di sini yang jadi korban itu Alya! Bukan kalian berdua!" tambahnya sedikit marah. "Lo gak inget apa-apa, Al?" tanya Ardi prihatin dan aku menggeleng kuat-kuat.
"Gue gak ngerti Al, kenapa hanya lo yang diteror? Kenapa Dian dan Kiran bahkan gak bisa ngelihat tuh makhluk?" tanya Soraya seraya menatapku sangat dalam. Seolah mencoba mencari tahu apa yang ada di dalam mataku.
"Gue juga gak ngerti, Ray..."
"Kita harus cari tahu. Masak iya lo mau kayak gini terus, Al?" katanya lagi dengan wajah prihatin. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke arah teman-teman kami. Tapi tak satupun bersuara, seolah hal ini menjadi masalah yang sangat pelik.
Pintu ruang UKS terbuka dan pak Roni muncul bersamaan dengan guru konseling yang tak kalah judes, Bu Rina. Pak Roni dan Bu Rina berjalan ke arah kami. Mata mereka memandang satu persatu kami dengan sangat teliti, seolah kami adalah mangsa yang siap mereka kuliti satu per satu.
"Kalian semua sakit?" tanya Bu Rina sinis seraya memandang Dian, Kiran, Raya dan Ardi bebarengan.
"Nggak bu... "
"Trus ngapain di sini? Gak ada mata pelajaran lagi, apa?" tanya Bu Rani dengan mata mendelik sempurna dan tatapan yang sangat tajam. Siap mengintimidasi siapapun yang melawannya.
"Kami kuatir sama Alya, Bu, jadi kami menemaninya...." jawab Kiran.
"Harus ber- empat menemani?" tanyanya lagi. "Sudah, sudah, jangan alasan! Cepet sana pergi ke kelas kalian masing-masing!" kata Bu Rani mengusir.
Dengan langkah kaki yang sangat berat, satu per satu temanku meninggalkanku sendirian bersama Pak Roni dan Bu Rani. Firasatku tak enak, mata Bu Rani seolah menatapku dengan tatapan yang tak bisa kukatakan.
Setelah semua teman-temanku lenyap dari UKS ini, bu Rani menatapku dengan tajam dan tegas.
"Katakan Alya, sandiwara apa yang sedang kau mainkan?" tanya Bu Rani to the point. Aku menaikkan satu alisku dengan menatapnya heran. 'Sandiwara?' ia bilang 'Sandiwara, kan?', aku tak salah dengar, kan?
"Sandiwara?" ulangku bertanya. Pak Roni juga heran dengan pertanyaan Bu Rani hingga kerutan di dahinya mengerut dengan jelas.
"Iya! Apa lagi! Sudah jelas kau cari perhatian, Alya!" kata Bu Rani.
"Untungku apa cari perhatian, bu?" tanyaku padanya. Bu Rani tersenyum sinis.
"Entahlah. Anak-anak bermasalah sepertimu selalu tak punya alasan pasti untuk hal-hal konyol yang mereka lakukan, mereka menyebutnya hobi?" kata Bu Rani sinis.
Aku mengepalkan tangan mendengarnya mengatakan kalimat tersebut. Bagaimana mungkin ia sebagai guru konseling mengatakan hal itu kepada muridnya?
"Hobi melukai diri sendiri? Apa saya segila itu, Bu?" tanyaku heran.
"Kubilang, untuk cari perhatian..." katanya. Tawaku berderai akhirnya, tawa yang lebih terkesan mengejek.
"Aku? Cari perhatian? Apa yang kurang dari hidupku? Mama dan Papaku masih hidup dan rumah tangganya harmonis, aku anak tunggal, selain itu Ayahku termasuk donatur terbesar di sekolah ini." kataku yang membuatnya heran. "Ohhh, jangan-jangan ibu lupa siapa saya? Atau gak tahu siapa saya? Saya Alya, Alya Handiwijaya, putri Bagas Handiwijaya." Bu Rani menoleh ke arah Pak Roni. "Ibu pikir saya Alya Anyata?" tanyaku heran. "Oh. Jadi anda pikir saya Alya Anyata, gadis broken home yang mencoba bunuh diri sebulan yang lalu?" tanyaku lagi. Raut wajahnya semakin pucat.
"Al... "
"Alya Handiwijaya bukan Alya Anyata." kataku kesal seraya bangkit dari kasur dan berlalu pergi. "Kau boleh panggil Papa setelah ini!" imbuhku seraya membanting pintu UKS dengan sangat kasar.
Aku tak ingin kembali ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran selanjutnya. Moodku sudah hilang dan otakku tak siap menerima pelajaran hari ini. Terlalu banyak kejanggalan dan keanehan yang terjadi padaku, dan aku perlu menenangkan diri terlebih dahulu.
Riuhan tawa, percakapan dan ocehan teman-teman kelasku terdengar olehku yang tak jauh lagi menuju kelas. Saat aku sudah sampai dan berdiri di ambang pintu, perlahan riuhan tawa itu mereda. Mataku mengedar, memandang satu persatu teman-temanku yang menatapku aneh dan ngeri. Kulihat papan white board itu telah bersih dari tulisan mengerikan. Ketika aku mencoba melangkah masuk ke dalam kelas, refleks beberapa temanku yang tengah berdiri mundur beberapa langkah ke belakang.
Apa mereka takut padaku?
Aku segera menuju mejaku dan mengambil semua barang-barangku yang berserakan di meja lalu meletakkannya dengan segera ke tasku. Desas desus, bisik-bisik mulai mengusik telingaku. Ada yang mengatakan aku kesurupan. Ada yang mengatakan aku broken home, ada yang mengatakan aku gila dan parahnya ada yang mengatakan aku manusia setengah siluman. Sontak aku menoleh ke siswi yang mengatakan aku manusia setengah siluman dan menatapnya sangat tajam. Rupanya ia tak merasa bersalah telah mengataiku manusia setengah siluman terbukti dari bagaimana ia menatapku saat ini. Sangat tajam dan tak suka.
Namanya Neli, siswi yang terkenal cantik dan suka membully siapapun yang lemah. Aku berjalan ke arahnya dengan tenang, beberapa temanku yang masih takut denganku mundur beberapa langkah, kecuali Neli yang tak gentar sama sekali.
"Lo bilang apa barusan?" tanyaku serius.
"Lo emang denger apa?" baliknya bertanya. Aku tertawa sumbang mendengar pertanyaan baliknya.
"Gue denger lo nyebut gue manusia setengah siluman?"tanyaku dan ia hanya berdecak sebelah saja. Seolah ia siap menerimaku yang akan merisaknya.
"Trus?" tanya Neli berlagak pilon.
"Mungkin kalo emang gue setengah siluman..." aku diam lalu mendekatkan diri ke telinganya. "Lo harus bener-bener waspada sama gue. Karena gue sebenarnya tahu apa arti liontin kalung lo... Dan berapa banyak makhluk yang bersemayam di dalamnya buat jagain lo, itukan yang dikatakan nenek lo sebelum beliau wafat?" kataku pelan sekali. Neli mendelik kaget dan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Sedangkan aku tersenyum penuh kemenangan padanya....