Delapan

987 Kata
Alya Soraya menepuk bahuku dan aku langsung menoleh ke arahnya yang tersenyum manis ke arahku. Dian dan Kiran juga sudah datang, dan berkata kepadaku kenapa aku tak masuk ke dalam kelas? Ketika aku menoleh kembali ke arah dalam kelas, riuhan tawa dan ocehan teman-teman kelasku memenuhi ruangan. Aku benar-benar terperangah dengan apa yang kulihat di depanku. Bukankah tadi yang kulihat adalah lima orang pria yang kukenal dengan sangat baik sedang bercengkrama satu sama lain dalam usia dan balutan seragam yang sama denganku? Kenapa mendadak bisa berubah secepat ini? "Lo kenapa, Al?" tanya Dian curiga. Matanya menatapku penuh tanya dan aku hanya diam sembari masih bingung dengan situasi yang ada saat ini. Aku benar-benar tak mengerti kenapa semua hal ini mendadak menjadi begini? Kenapa setiap aku pergi ke sekolah selalu merasakan keanehan dan kengerian seorang diri sementara Dian dan Kiran tak merasakan apa-apa sama sekali? Kenapa mesti aku? Tiba-tiba saja Dian langsung menarik tanganku memasuki kelas karena Pak Roni berjalan menuju kelas kami. Dian duduk di sebelahku. Aku menatapnya sejenak, kemudian mengedarkan pandanganku ke sekeliling kelasku. Tak ada yang aneh dari kelasku. Semua teman-teman kelas yang kutemui sebelum ini masih sama. Pak Roni memulai pelajaran Kimianya. Ia menjelaskan tentang materi senyawa hidrokarbon. Tetapi segala penjelasannya itu seolah hanya dengungan di telingaku. Aku tak bisa berkonsentrasi sama sekali. Kengerian yang kurasakan tadi pagi hingga memasuki kelas, masih sangat jelas sekali rasanya. Bulu kuduku masih berdiri entah mengapa, padahal aku tak melihat sosok aneh ada di kelasku. Sesuatu menipuk kepalaku, lalu aku melihat lipatan kertas kecil menggelinding jatuh di bawah meja. Aku menoleh ke arah Dian dan ia sebelum kembali melihat ke arah pak Roni, menataku tajam sekali lagi. Aku memungut kertas itu dan membaca pesan yang ada di dalamnya. "Konsentrasi! Pak Roni terkenal tak punya ampun sama sekali!" aku menoleh ke arah Dian dengan sangat cepat lalu memanggil-manggilnya pelan tapi ia tak mengubris sama sekali panggilanku. "Alya!Alya!" panggil pak Roni. Aku cukup terkesiap saat guru yang tak pernah tersenyum dan terkenal killer itu memanggilku. Pak Roni menatapku tajam dari balik kacamata minusnya. Aku cukup ketakutan dan dadaku berdebar-debar. Bisa kurasakan beberapa teman-temanku menatapku kasihan tapi mereka tak bisa berbuat banyak. "Kerjakan soal di depan!" kata Pak Roni tegas dengan sorot mata yang sangat tajam. Aku berkeringat dingin ketika berdiri. Bagaimana bisa aku mengerjakan soal itu sedangkan aku saja tak mendengarkan penjelasan pak Roni sama sekali? Aku maju pelan-pelan dengan langkah kaki yang sangat berat. Sampai di depan pak Roni, aku menerima spidol snownan white board dari tangan pak Roni. Ketika aku sudah berada di depan white board, aku menoleh ragu ke arah Dian yang menatapku dengan tatapan iba. Kembali aku menoleh ke arah white board dan melayangkan tanganku ke udara. Tiba-tiba saja tanganku terasa sangat berat untuk kukendalikan tapi sangat ringan ketika menjawab soal-soal di white board. Aku tak mengerti kekuatan mana yang membantuku untuk menggerakkan tanganku hingga begitu ringan dan lihai sekali menjawab tujuh soal itu. Tak butuh waktu lima menit untuk menyelesaikan semua soal itu, padahal Pak Roni hanya memintaku mengerjakan satu soal saja, soal nomer lima. Tapi, bagaimana bisa tanganku mengerjakan seluruh soal tersebut? Aku menatap white board itu dengan kengerian yang tak bisa lagi aku definisikan. Aku memandang lengan kananku yang memegang bulpoin snowman dan baru menyadari bahwa di atas tangan kananku terdapat tangan pucat lainnya dengan kuku-kuku tajam yang menghitam. Dadaku berdebar-debar. Keringat dingin mengucur begitu deras di dahiku. Suara panggilan pak Roni tak kuhiraukan sama sekali. Aku terlampau terpaku dengan tangan lain yang menyentuh tanganku. Tangan yang sangat menyeramkan. Jadi apakah setan itu yang membantuku menyelesaikan soal-soal dari pak Roni? "Alya!" bentak Dian yang sudah berdiri di depanku. Kedua tangannya berada di bahuku, entah sudah berapa lama ia di sana. Aku memandang lagi tanganku tadi dan jejak tangan yang lain yang telah memegang tanganku sudah tak lagi ada di sana. Aku yang masih melongo dengan Dian yang menatapku cemas itu akhirnya melemparkan pandanganku yang mengedar seluruh ruangan. Teman-temanku telah berputar mengerumuniku dengan tatapan heran dan bertanya-tanya perihal apa yang mengangguku. "Kenapa kalian mengelilingiku?" tanyaku pelan. "Lo gak pa-pa, Al?" tanya Raya cemas. "Ke UKS aja ya...." tawar Kiran seraya membopongku keluar kelas. Aku yang masih bingung menurut saja digiring keluar kelas, tapi langkahku terhenti saat tanpa sengaja mataku menatap white board kelasku. Otomatis aku ternganga kaget membaca tulisan di sini. 'DI SINI AKU MATI. AKU AKAN MENUNTASKAN DENDAM." Tulisan besar di samping jawaban soal dari pak Roni. Tulisan yang berbau amis dan kental. Tulisan itu seperti berasal dari darah atau cat air. "Ran... " panggilku bergetar. "Kita obatin luka di jari lo dulu, Al..." kata Kiran seraya menatap tanganku. Aku mengikuti arah pandangannya dan cukup tercengang kaget ada luka yang cukup besar di telunjukku. "Bagaimana aku bisa terluka?" tanyaku heran. Kiran diam, ia seolah juga tak mengerti kenapa hal mengerikan itu bisa terjadi padaku? "Kita ke UKS dulu." kata Kiran pasti dan aku mengangguk. "Aku ingin ditemani." jawabku mantap. "Ada Aku. " jawab Kiran, aku menggeleng ke arahnya. Ia mengerti maksud gelenganku barusan lalu memanggil Soraya, Ardi dan Dian. Kami berlima menuju UKS. Sepertinya aku perlu menceritakan apa yang sudah kulihat sejak tadi pagi kepada teman-temanku. UKS itu terletak cukup jauh dari kelasku dan letaknya yang berada di ujung, salah satu sudut sekolahku ini membuatku merasa sedikit ngeri saat berjalan melewati lapangan basket. Aku kembali teringat bagaimana mengerikannya mimpiku tentang mayat-mayat yang berserakan di lapangan. Bulu kuduku kembali merinding. Aku memejamkan mataku saat perasaan tak enak kembali muncul. Kali ini aku memilih bersholawat sebanyak mungkin agar perasaanku menjadi lebih tenang. "Al!" panggil Kiran sedikit keras. Aku membuka mataku dan langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Kita sudah sampai. Ada tangga, jangan merem!" katanya lagi dan aku mengangguk kecil kepadanya. Aku memasuki ruang UKS disusul oleh beberapa teman-temanku yang mengekor di belakangku. Beberapa bayangan muncul di UKS tapi bukan sosok yang menyeramka seperti sebelumnya. Aku menoleh ke arah Dian dan Kiran dan keduanya mengangguk, tandanya mereka juga bisa merasakan kehadiran makhluk halus tersebuy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN