Aku, Dian, Kiran, Ardi bersama bu Rima dan lima teman kelas kami yang lainnya sedang berada di lift untuk menjenguk Alya. Saat pintu lift terbuka, aku melihat ada Papa dan Mama yang sudah mau pulang.
"Papa? Mama?" panggilku.
"Halo Pak, Bu, saya Rima, wali kelas Alya." kata Bu Rima seraya mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh Papa dan Mama. Bu Rima menjelaskan maksud kedatangannya ke rumah sakit bersama kami ini untuk menjenguk Soraya lalu Mama dan Papa mempersilahkan kami. Mereka juga bilang ada orang tua Soraya yang menjaga Soraya.
Ketika semuanya sudah jalan di depanku, Papa mendekatiku yang berjalan paling belakang.
"Jangan pulang malam-malam!" seru Papa padaku dan aku hanya mengangguk kecil sembari menatap Mama yang tersenyum seraya mengangguk penuh arti padaku.
Aku menunggu pintu lift sampai tertutup baru aku menyusul teman-temanku yang sudah hilang karena masuk ke dalam kamar Soraya. Aku menghela napas berat lalu kembali melangkah masuk ke kamar Soraya.
Begitu masuk kulihat Soraya telah sadar dan ia duduk bersandar di kasurnya. Syukurlah. Aku sempat khawatir kalau ia belum juga sadar. Soraya tersenyum kecil ke arahku lalu pandangannya kembali ke arah teman-teman dan Bu Rima yang mengelilinginya.
"Jangan buru-buru sekolah ya, Soraya, kamu harus benar-benar sembuh total terlebih dahulu." kata Bu Rima bijak.
"Gimana kalau nanti Soraya nilainya turun karena ketinggalan pelajaran?"
"Rangking 1 turun sekali-kali ke rangking tiga gak masalah kaleee." kata Kiran yang dianggap lelucon oleh yang lainnya. Kami pun tertawa mendengar ucapannya, begitu pun dengan Soraya.
"Kalau yang geser posisi gue elo sih gak masalah, Ran... "
"Aduh lo tahu banget gue ini matematikanya gimana Ray, andai saja mata pelajaran itu dihapus, gue pasti juara nol. " kata Kiran melucu yang ditanggapi dengan deraian tawa teman-temanku yang lainnya. "Lah bener kan? Sebelum rangking satu kan lebih dulu nol, pinter banget kan gue?"
"Terserah lo deh, terserah... " kata Soraya dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Keadaan Soraya yang kelihatan membaik membuat aku sangat lega. Bu Rima dan temanku yang lainnya minta undur diri setengah jam kemudian, hanya menyisakan aku, Dian, Kiran dan Ardi. Papa dan Mama Soraya mengantar Bu Rima dan temanku yang lainnya sampai pintu keluar rumah sakit rencananya.
"Al... " panggil Soraya pelan. Aku menoleh ke arahnya. "Lo gak pa-pa?" tanyanya aneh. Semua mata memandangku bingung dan bertanya-tanya. "Luka di tangan lo sama kayak luka di tangan gue." katanya seraya menunjuk lengannya. "Gue inget banget ada yang narik tangan gue ke tengah jalan, cewek rambut panjang." katanya. "Pake seragam sekolah yang sama kayak kita." imbuhnya.
"Siapa yang udah kurang ajar buat elo kecelakaan, Ray?" tanya Kiran geram.
"Gue gak tahu, Ran, yang jelas dia bukan manusia." kata Raya seraya menerawang jauh ke depan. "Dan gue tahu kalau dia ada di sekitar kita kapanpun ia mau." imbuh Raya.
"Lo bikin gue merinding, Ray!" seru Ardi.
"Lo tahu sesuatu kan, Al?" tanya Raya seraya menoleh ke arahku. Tapi aku menggeleng ke arahnya.
"Gue masih belum tahu apa-apa Ray, semuanya membingungkan." kataku.
"Tapi lo tahu kan kalau gue mau kecelakaan?" tanya Raya dan aku mengangguk.
"Gue gak tahu harus cerita dari mana dulu ke lo, Ray, tapi yang jelas, beberapa menit sebelum lo kecelakaan itu gue udah ngelihat lo kecelakaan di depan mata gue."
"Hah?" Kiran melongo. "Kok bisa?" tanyanya dan aku hanya bisa menggeleng lemah.
"Kalian semua hati-hati ya, firasatku gak enak." kata Soraya.
"Kenapa emang Ray?" tanya Ardi.
"Gue gak ngerti. Tapi mungkin jika kita cari tahu, kita akan ngerti." kata Raya seraya menoleh ke arahku. "Kalian tentu inget kan apa yang ditulis oleh Alya di white board kelas kita?" lanjutnya Raya. "Gue pikir ini pasti ada hubungannya dengan itu." katanya menarik kesimpulan.
Lalu pintu kamar terbuka dan muncullah kedua orang tua Soraya. Kami semua mendadak bungkam karena tak ingin kesimpulan dari Soraya ini dan spekulasi-spekulasinya membuatnya kelihatan aneh di depan mata orang tuanya, sepertiku yang kelihatan aneh di depan Mama dan Papa.
Aku dan ke empat temanku yang lainnya memutuskan untuk pamit. Kami perlu bicara secara personal tanpa diketahui oleh orang tua kami. Saat akan keluar dari kamar Soraya, ia menatapku dan mengatakan 'hati-hati' dengan sangat pelan. Aku hanya memandangnya dan mengangguk kecil kemudian.
"Gue ngeri banget." kata Kiran.
"Gue bahkan merinding." timpal Ardi.
Tiba-tiba langkah kaki Dian terhenti. Aku menoleh ke arahnya yang memandang lurus ke depan.
"Kenapa, An?" tanyaku. Ia menoleh ke arahku dalam diam lalu menengok ke belakang kami. Aku mengikuti arah pandangannya ke belakang dan tak mendapati hal aneh selain para perawat , dokter, staf dan keluarga pasien yang ada di sepanjag lorong itu
"Lo gak denger sesuatu?" tanyanya.
"Denger apa emangnya?" tanyaku balik.
Dian diam, ia seolah menajamkan telinganya baik-baik. "Mungkin cuma halusinasi gue aja." kata Dian lagi. Kami kemudian kembali melangkah dan lagi-lagi Dian kembali berhenti.
"Soraya!" kata Dian lalu berbalik dan berlari kembali ke kamar Soraya.
Aku terhenyak kaget.
"Kiran!" panggilku karena Kiran dan Ardi sudah hampir sampai ke lift, Kiran menoleh. "Soraya!" kataku seraya berlari pergi mengikuti jejak Dian.
Anehnya, lagi-lagi rasanya rumah sakit terlalu jauh dari jangkauan kakiku. Aku bisa melihat kalau Dian sudah masuk ke dalam kamar Soraya tapi langkah kakiku kembali hanya bergerak dan berlari di tempat.
Kupikir hanya di sekolah saja aku bisa melintasi lorong waktu dan kembali ke masa lalu, nyatanya di rumah sakit tempat Soraya di rawatpun aku kembali berada di waktu yang berbeda.
Suasana rumah sakit yang masih sangat dulu sekali, perawat dan dokter yang penampilannya sangat jadul, hingga pengunjung rumah sakit yang penampilannya tak kalah kuno.
Di dekatku sebelah kiri aku menemukan Papa sedang memapah gadis itu, nama yang sama dengan namaku, Alya menuju ruangan putih saat nama gadis itu dipanggil. Gadis itu berulang kali memegang kepalanya dan menoleh ke arah Papa diam-diam. Aku mengikuti keduanya di belakang dan masuk ke sebuah ruangan yang di dalamnya sudah ada dokter lelaki sekitar usia tiga puluh tahunan yang menyambut mereka dengan senyum di wajahnya.
Aku memerhatikan ruangan tempat Papa dan Alya masuk, ruangan yang sama dengan yang Soraya pakai menginap, cuma bedanya hanya fungsi ruangan itu dan warna temboknya saja.
Dokter itu melakukan pemeriksan kepada Alya dengan seksama, kemudian menuliskan sesuatu di atas kertas dan memberikannya kepada Papa. Sebuah resep sepertinya.
Sepeninggalan Papa dan dokter itu keluar ruangan, ada perawat lelaki yang masuk. Ia meletakkan sesuatu di atas meja dokter dan melirik ke Alya yang tengah terbaring di ruang pemeriksaan.
Perlahan, perawat itu berjalan ke arah pintu dan memutar kenop pintu dengan sangat pelan dan menguncinya. Dadaku berdebar-debar, perasaanku tak enak, dan benar saja dugaanku, perawat itu mendekati Alya yang sedang terbaring memunggunginya, lalu tiba-tiba saja perawat lelaki itu naik dengan cepat ke kasur Alya dan mencoba melakukan pelecehan kepadanya.
Alya berteriak-teriak dan meronta-ronta saat lelaki itu berusaha menuntaskan keinginannya. Aku geram sekali melihatnya, dan mulai bergerak maju dan berusaha melerai lelaki itu dan Alya, tapi usahaku sia-sia.
Lelaki itu dengan kekuatannya telah berhasil melepaskan salah satu pakaian Alya, bersamaan dengan hal itu pintu ruangan terbuka secara kasar hingga rusak dan tergeletak di lantai. Suaranyapun berdentum dengan sangat keras di lantai.
Papa
Aku bisa melihat kemarahan yang terpancar dari mata Papa. Bahkan napas Papa naik turun. Detik berikutnya, Papa berjalan cepat ke lelaki perawat itu, meraih kerah bajunya dan memukulinya secara membabi buta. Orang-orang berdatangan untuk melerai Papa dan lelaki itu. Lelaki itu telah berdarah-darah di bagian wajahnya, terkejut Papa bisa memukulinya.
Alya-gadis yang bersama Papa-itu masih menangis dengan wajah yang ketakutan. Ia bahkan belum memakai seragamnya dan hanya menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan selimut.
"Alya! Alya!" panggil Kiran seolah menyadarkanku. Aku menatapnya dengan tatapan bingung dan melihat ke arah sekelilingku yang sudah berubah menjadi waktu seperti sedia kala lagi.
Aku mendengar suara jeritan dan menatap di hadapanku, Soraya sedang menjerit-jerit saat Papanya berusaha menyadarkannya. Mata Soraya tertutup rapat dan ia meronta-ronta seperti Alya di masa lalu.
Aku terhenyak kaget dan berlari menuju Soraya sesegera mungkin.
"Raya! Raya!"
"Jangan! Lepaskan!"
"Raya! Sadar!"
"Lepaskan! Jangan! Kumohon!"
Aku menamparnya "Kamu Raya! Bukan Alya! Pergi kamu dari tubuh Raya!" kataku memerintah kemudian Raya yang wajahnya ke samping karena kutampar dan wajahnya yang tertutup rambut itu perlahan menoleh ke arahku.
Soraya lalu tertawa mengerikan. Aku menguatkan hatiku dan kembali merapalkan doa-doa yang pernah imam besar ajarkan. Soraya menjerit-jerit, ia hampir mencekikku jika saja Ardi dan Dian tak memeganginya dengan kuat.
"Alya! Pergi!" kataku.
"Nggak! Nggak! Lepaskan!"
"Pergi Alya! Ini bukan duniamu!" kataku lagi. Soraya menjerit-jerit dengan sangat kencang dan aku masih sibuk merapalkan doa-doa untuknya.
Perlahan, Soraya lemas dan sudah tak lagi meronta-ronta dan berteriak-teriak. Saat aku menyudahi doaku, bayangan hitam keluar dari tubuhnya dan melayang ke udara lalu lenyap, Soraya langsung lemas dan kembali pingsan.
Ardi dan Dian menidurkannya di kasur kembali. Aku menghela napas lega.