Aku menarik napas dalam-dalam kala aku sudah berdiri di depan gerbang sekolah. Berulang kali aku mengamati sekitarku dan memandang apa yang ada di hadapanku. Hanya untuk memastikan bahwa aku berada di sekolah dengan siswa-siswi yang ada pada masaku.
"Gak masuk?" tanya Ardi tiba-tiba yang sudah berdiri tak jauh dariku. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. Ardi melepaskan headsetnya dan memandangku dengan tatapan datar.
"Kalau lo jadi gue dan datang ke sekolah tapi tiba-tiba ada banyak kejadian aneh terjadi, lo masih tetep mau sekolah apa gak?"
"Yaa, gimana ya? Hmmm, bolos aja kah?"
"Ya masak tiap hari bolos, gak sekolah sekalian itu namanya." kataku.
"Pindah sekolah?"
"Dengan sikap bokap yang pemarah?"
"Ngenes banget sih hidup lo!" kata Ardi dan aku hanya mengangkat bahu menanggapinya.
"Yuk masuk!" kata Kiran yang tiba-tiba datang.
"Soraya mana, ya? Gue hubungi dari tadi kok gak dibales WA gue." kata Ardi seraya mengecek ponselnya.
"Gaess... Soraya kecelakaan." kataku. Sontak Kiran dan Ardi menoleh ke arahku bebarengan.
"What? Serius?" tanya Kiran dan aku mengangguk.
"Kapan?" tanya Ardi panik.
"Semalem." kataku
"Kok lo tahu? Kok lo baru ngabarin kita-kita sih?!" protes Kiran.
"Gue gak mau bikin kalian panik dan gak bisa tidur semaleman."
"Ntar kita ke rumah sakit yuk." kata Ardi.
"Iya, ayok, nanti palingan juga wali kelas kita ngumumin soal Soraya." kataku dan keduanya mengangguk.
"Eh, tangan lo kenapa Al?" tanya Kiran tiba-tiba seraya memerhatikan tanganku yang masih ada bekas tangan seseorang yang mencengkram.
"Panjang ceritanya... "
"Sampek hitam gitu, ya?" kata Kiran prihatin sembari memegang tanganku dan mengamatinya dengan sangat teliti.
Bel sekolah berbunyi, mau tak mau aku menuruti Kiran untuk masuk, karena ia menarik tanganku.
Kupikir Dian sudah ada di dalam kelas, nyatanya sampai aku duduk di bangkuku, Dian tak jua muncul. Aku meraih ponselku dan mengiriminya pesan.
'Lo di mana? Udah bel masuk loh!'
Pesanku terkirim tapi tak ia baca sampai wali kelasku dan guru Biologi datang. Bu Rima menyampaikan kabar buruk soal apa yang terjadi pada Soraya semalam dan mengajak perwakilan teman-teman untuk menjenguk di rumah sakit hari ini. Kiran dan Ardi menoleh ke arahku dan aku mengangguk ke arah mereka. Wajah mereka pias saat mendengar ucapan Bu Rima kalau sampai saat ini Soraya belum juga sadarkan diri.
Setelah bu Rima keluar kelas, kusempatkan untuk mengecek ponselku, melihat pesan yang telah kukirimkan ke Dian, masih sama seperti beberapa detik lalu, tak terbaca.
"Eh! Itu Dian!" kata seseorang. Aku mendongak dan melihat dua siswi yang duduk di dekat jendela melihat ke arah luar. "Eh? Kenapa tuh?" tanya siswi yang lainnya.
Penasaran dengan apa yang sedang terjadi aku berdiri dan berjalan ke sisi jendela. Dari lantai dua kelasku ini aku bisa melihat dengan sangat Jelas, Dian beserta sekitar sepuluh atau lima belas siswa terkena guru BK. Mereka datang terlambat sekolah.
Dian dan para siswa yang lainnya kini meletakkan tas mereka di buk tribun lapangan basket dan mulai berlari mengitari lapangan basket. Aku tersenyum kecil dan berbalik. Tapi aku berhenti, aku seperti melihat sesuatu yang terlewatkan, kembali aku menoleh ke arah lapangan basket dan mendapati Dian masih berlari mengitari bola basket.
Sosok siswi berambut panjang tengah berada di tengah-tengah lapangan basket. Perlahan ia berjalan ke arah Dian dan mulai memajukan satu kakinya saat Dian mendekat lalu otomatis Dian terjauh dan mengadu kesakitan. Beberapa siswi dan siswa lainnya berhenti dan melihat kondisi Dian.
Aku segera berlari turun ke bawah menuju lapangan basket. Saat sudah sampai di sana aku melihat Dian tengah dipapah oleh dua orang siswa laki-laki menuju tribun. Berulang kali Dian terlihat memijit kaki kirinya yang mungkin terasa ngilu baginya.
Saat aku hendak berjalan menghampiri Dian, lagi-lagi langkah kakiku berhenti dan lagi-lagi suasana di depanku juga berubah.
Lapangan basket yang rame karena siswa terlambat masuk kelas kini malah penuh. Sisi tribun di sebelah kanan dan kiri penuh. Riuhan tawa dan semangat dielu-elulkan, teriakan nama dikumandangkan.
"Bagas! Bagas! Bagas!" nama itu dielu-elukan terus menerus, bukan hanya oleh tim cheerleaders yang usai menari-nari menyemangati seluruh anggota pemain bola basket sekolahnya tapi karena mungkin mereka suka dengan Bagas maksudku mengidolakan Papa.
Bunyi peluit dan bola yang terlempar ke udara menandakan kalau pertandingan akan segera dimulai.
"Bagas! Bagas!" nama Papa terus menerus dielu-elukan oleh para siswi. Aku baru tahu kalau Papa handal bermain basket. Papa mulai mendrible bola, melewati lawan beberapa kali dan akhirnya berhasil memasukkan bola ke ring. Suara riuhan semakin jelas terdengar saat Papa berhasil memasukkan bola ke ring, tanpa sadar aku juga ikut tersenyum.
Kali ini lawan Papa dari sekolah yang berbedalah yang menguasai bola basket. Papa berusaha merebutnya berkali-kali tapi tak berhasil, bola itu semakin dikuasai oleh lawan Papa dan kali ini lawan Papa berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
Riuhan kecewa terdengar dari suara para penonton yang mendukung Papa, aku pun begitu.
Papa mulai melakukan serangan kembali. Mata Papa sangat teliti mengawasi pergerakan bola, tubuh Papa bergerak ke kanan dan kiri mengikuti ke arah mana bola itu di drible oleh lawan mainnya. Satu dua tiga dan akhirnya Papa berhasil meraih bola itu dari tangan lawannya dan mulai menggiringnya dengan segera lalu dengan sangat cepat Papa loncat dan melemparkan bola ke dalam ring.
Riuhan tawa penonton kembali membahana. Nama Papa kembali dieli-elukan dan aku ikut juga berteriak senang sekali.
Pertandingan berakhir dengan kemenangan Papa. Skor telak telah berhasil di raih oleh Papa. Ketika keluar dari lapangan basket, Papa diikuti oleh puluhan siswi yang terus menerus memanggil-manggil namanya.
'Siapa yang bisa dapat bola ini saat kulempar, boleh makan malam denganku!' seru Papa yang lalu disambut dengan teriakan genit oleh para siswi. Salah satu teman Papa yang kuyakini adalah ayah dari teman-temanku mulai menghitung mundur.
Papa menoleh kembali ke arah lapangan bola basket, lalu melemparnya dengan sekuat tenaga, sialnya saat Papa melempar tersebut ada satu siswi yang sedang mengejar kucing. Bola itu melayang ke arahnya dan semua siswa dan siswi sedang menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
'Buggg!' Bola basket itu tepat mengenai siswi tersebut di kepalanya. Seketika itu pula siswi tersebut limbung di lapangan basket. Wajah Papa dan semua siswa yang menyaksikan hal itu terkejut bukan main.
Papa dan ke empat kawannya langsung berlari menuju lapangan basket. Papa memeriksa siswi tersebut, lalu tak lama kemudian Papa menggendongnya dan berlari keluar dari lapangan.
Mendadak tubuhku menghilang dan aku kembali memasuki lorong waktu. Kali ini aku berada di ruangan serba putih. Ada lima tempat tidur. Antara satu tempat tidur dengan yang lainnya hanya dibatasi oleh tirai saja.
Blak!
Pintu ruangan UKS terbuka dan terlihat oleh kedua mataku Papa sedang membopong siswi yang terkena bola basketnya tadi. Aku berjalan mendekat dan melihat bagaimana wajah perempuan tersebut.
Aku terhenyak kaget.
Kenapa selalu wajah siswi ini yang terlihat jelas? Siapa sebenarnya dia? Dan kenapa namanya sama denganku?
Siapa sebenarnya Alya Putri Ningrum?
Papa terlihat panik saat siswi itu masih belum sadarkan diri. Beberapa siswi ekskul PMI mencoba memeriksanya dan mencoba menyadarkannya, tapi siswi itu belum sadarkan diri juga.
Tak lama kemudian setelah hidung gadis itu dilumuri oleh minyak kayu putih ia bergerak ke sana ke mari kepalanya. Saat matanya terbuka, tangannya langsung memegang kepalanya.
"Kepalaku pusing sekali." kata gadis itu.
"Maafkan aku, aku tak sengaja." kata Papa. Gadis itu menoleh ke arah Papa dengan tatapan yang tak bisa aku definisikan.
"Bolehkah aku pulang?" tanya gadis itu.
"Aku akan ijinkan kamu pulang. Tunggu di sini." kata Papa seraya keluar UKS dengan tergesa-gesa. Gadis di hadapanku berulang kali memijit-mijit kepalanya dengan mata yang menahan rasa sakit. Tiba-tiba saja ia langsung duduk kala pintu ruang UKS terbuka dan terlihat lima orang genk siswi datang dan berjalan dengan angkuh ke tempat tidurnya.
"Gue denger lo pingsan?" tanya salah seorang siswi yang kuyakini ia adalah Bu Rani guru BK ku sekarang ini. Si gadis di hadapannya hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Bu Rani. "Kok bisa sih lo yang ketipuk bola basketnya Bagas!" serunya kesal.
"Lo sengaja, ya?" tanya yang lainnya menimpal, siswi dengan badan dua kali lipat dari gadis yang baru pingsan, Alya. Alya menggelengkan kepalanya sembari menatap takut pada gadis berbadan sumo itu.
"Halah! Ngaku aja!" kata yang lainnya seraya mendorong-dorong bahu Alya sekenanya. Aku jadi sangat geram. Perisakan, apapun itu aku sangat tak peduli dan sangat membenci pelaku perisakan.
"Jangan sampai gue denger lagi lo digendong sama Bagas apalagi deket-deket sama Bagas!" kata Rani seraya sedikit membungkuk ke arah Alya. Alya hanya mengangguk pasrah dan ketakutan, seolah-olah mereka semua akan beneran melakukan hal buruk kepada mereka.
Tak lama kemudian Papa dan teman-temannya datang, Papa segera berjalan ke kamar tidur Alya setelah melirik sekilas ke gerombolan para siswi yang tiba-tiba saja melempar senyum terbaik mereka ke arah papa
"Kamu sudah diijinkan untuk pulang." kata Papa ke gadis itu. Gadis itu melirik ke arah para genk siswi itu dengan sembunyi-sembunyi. Para genk siswi itu hanya bermuka datar. "Ayo aku antar kamu pulang." kata Papa lagi yang membuat para genk siswi itu mendelik lebar dan kaget ke arah gadis itu. Begitupun dengan gadis itu yang kaget dan merasa takut saat melihat tatapan tajam para genk itu kepadanya.
"Ngg... Nggak, aku bi-bisa sendiri." kata gadis itu terbata-bata. Papa menggeleng.
"Aku anter kamu pulang, aku sudah ijin ke guru kok." kata Papa seraya membantu gadis itu berdiri dari tempatnya duduk. Gadis itu tak bisa menolak lagi. Papa memapahnya dan para gadis kecewa melihtanya.
Sekali lagi aku seolah kembali di seret oleh lorong waktu. Aku melihat Dian tengah berjalan tertatih-tatih sembari terus memegang kakinya yang terkilir itu, aku berlari menghampirinya.
"Alya? " panggil Dian kaget.
"sini gue bantuin!"
"Gue bisa sendiri Al.. "
"Dilarang menolak!" kataku seraya memapahnya.