Inner Voice

1073 Kata
Tyas masuk ke dalam mobil dan menutupnya. Ia melihat jam tangannya, pukul empat tepat. Ia sudah bilang ke ayahnya untuk pulang terlebih dulu. “Mau langsung ke rumah non?” tanya supir Tyas yang sudah menunggu. Ia melihat Tyas dari spion kaca depannya. Tyas terlihat mendengku dagunya dengan salah satu tangannya dan menatap keluar jendela dengan pikiran kosong. Tyas terdiam sesaat dan tidak langsung menjawab. Ia masih merasa kesal. “Antarkan aku ke salon langganan ku," ujar Tyas kemudian dengan nada malas. “Baik non," kata supirnya mematuhi perintah Tyas. Kemudian, mobilnya perlahan melaju meninggalkan pabrik. Dalam perjalanan, Tyas terus termenung dan masih merasa kesal dengan hari ini. Apalagi, yang teringat di kepalanya adalah saat melihat Nabila dan Rangga semakin lama semakin dekat. Ada keanehan disana. Kenapa tiba-tiba Rangga mengangkat Nabila yang hanya seorang pegawai sanitasi limbah, atau bisa dibilang dari karyawan bawahan bisa langsung menjadi pendampingnya di kantor? Dirinya sendiri yang dulu sebagai atasan Nabila saja menaruhnya dari pegawai kupas ke pegawai kebersihan karena kerjanya yang tidak begitu cepat. Tapi, bukan itu yang membuatnya lebih kesal. Saat ini, ia merasa Rangga jauh lebih dekat dengan Nabila dibandingkan dirinya. Jika hanya sekedar cantik, masih banyak perempuan-perempuan cantik yang jauh lebih berkelas dibandingkan Nabila. Kenapa harus Nabila yang menjadi saingannya? Tidak. Rangga bukanlah tipe orang yang mudah tertarik dengan perempuan. Selama ia berteman dengan Rangga, Rangga tidak pernah sekalipun dekat dengan perempuan lain selain dirinya. Rangga hanya fokus dan ter-obsesi dengan pekerjaan dan keluarganya saja selama ini. Lalu, kenapa Nabila bisa sedekat itu dengannya? Apa sebenarnya yang dilakukan Nabila ini? Tangan Tyas mengepal mengingat kejadian siang tadi kembali. Ia menggigit bibirnya dengan kesal. Rangga tidak boleh dekat dengan perempuan lain selain dirinya. Selama ini, Rangga adalah teman yang sangat baik untuknya. Selalu menjaganya dan selalu mau menemaninya kemanapun disaat ia membutuhkan Rangga. Ini tidak boleh terjadi. Pikirnya. Supir Tyas berhenti sejenak karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Tyas kembali melihat ke arah jalanan melalui kaca jendela mobilnya. Kemudian, matanya terhenti mengitari jalan ketika melihat seorang perempuan. Perempuan itu menggendong anak kecil. Tyas membelalakkan matanya mencoba menerangkan pandangannya dan terus mengamati perempuan itu. Mungkin bisa saja ia salah lihat. Saat ia memperhatikan dengan seksama... Tidak salah lagi. Ia bisa mengambil kesimpulan bahwa yang dilihatnya adalah Nabila. Perempuan yang membuat pikirannya kacau seharian ini. Tyas memperhatikan Nabila baru saja keluar dari sebuah tempat. Ia terus melihat Nabila berjalan dengan anak kecil di gendongannya tersebut, lalu naik angkutan umum. Saat itu, bersamaan dengan lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi hijau. Supir Tyas mulai melaju pelan. “Pak...pak...pak! Berhentilah di depan tempat itu.” Tyas dengan segera menyuruh supirnya berhenti di depan di mana Nabila baru saja keluar. “Baik non," jawab supirnya patuh. Perlahan supir Tyas memarkir mobilnya di tempat Tyas ingin berhenti. Tyas keluar dari mobilnya dan memperhatikan plang nama tempat itu. Ada tulisan ‘Tempat Penitipan Anak Wila Dharma'. Tyas mengkerutkan alisnya melihat tempat tersebut. Ia akan masuk ke dalam untuk mencari tahu. Saat Tyas berjalan melewati pintu masuk, ada seorang wanita yang menyambutnya. “Maaf, mbak. Kami akan tutup, apa mbak mau daftar?” tanya wanita tersebut pada Tyas. Tyas sedikit bingung harus mencari alasan apa. Ia hanya sekedar memastikan saja, apa yang baru saja Nabila lakukan dari tempat penitipan anak ini? Kemudian, ia mendapat sebuah alasan agar bisa diterima. “Tidak. Saya hanya mencari teman saya," ujar Tyas membalas sapaan wanita itu. “Katanya, dia tadi menunggu disini. Tapi saya cari tidak ada. Namanya Nabila.” Tyas mencari alasan agar terlihat masuk akal. Karena ia ingin mencari tahu sebuah kebenaran. “Oh... Mbak Nabila baru saja keluar dengan anaknya," jelas wanita itu lagi. “Oh... Begitu.” Tyas manggut-manggut. “Terima kasih kalau begitu," ujar Tyas dengan nada puas. Tyas kemudian pamit keluar. Ia kembali ke mobilnya lalu berpikir. Jadi, Nabila adalah wanita yang sudah menikah dan memiliki seorang anak? Seolah ada sebuah rahasia yang terkuak. Tyas mencoba memikirkan kembali apa yang akan dilakukannya. Sekian detik kemudian, ia tahu harus berbuat apa. Lalu ia tersenyum licik. *** Nabila memperhatikan anaknya yang sudah pulas. Biasanya setelah melihat malaikat kecilnya tertidur, ia pun ikut mengantuk. Namun ada yang sangat mengganjal pikirannya. Sikap, pandangan dan kalimat Tyas tadi siang pada Rangga. Mau tidak mau, ia harus mendengarkan secara tidak sengaja juga walaupun ia tidak bermaksud untuk menguping. Kata 'asisten baru' yang diungkapkan Tyas pada Rangga, sudah tentu dirinya. Ya, sejak awal ia hanya takut jika ini membuat masalah untuknya, juga untuk Rangga. Kenapa pembicaraan itu harus melekat dipikirannya? Seharusnya ia membiarkan itu hilang begitu saja. Ia-pun jadi tanpa sengaja berpikir, hubungan Rangga dan Tyas sangat dekat, bukan? Tunggu! Kenapa ini harus mengganggu pikirannya? Nabila melihat Tyas adalah perempuan cantik, memiliki kedudukan tinggi dan berwibawa. Dengar-dengar Tyas adalah anak dari big bos perusahaan tempat ia kerja. Akan sangat cocok dengan Rangga, seorang manajer muda dan tampan dengan segudang prestasi. Sedangkan apalah dirinya saat ini? Ia hanya seorang janda ber-anak satu dan bekerja hanya sebagai karyawan bawahan. Aduh! Kenapa pikirannya melayang kemana-mana? Kenapa ia harus memikirkan hal yang tidak perlu seperti itu? Jika memang Tyas dan Rangga adalah sepasang kekasih, apa salahnya? Pikirannya kacau dan sangat rumit saat ini. Ditambah, hatinya yang mendadak merasa bergejolak. "Mbak Nabila!!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari arah luar kos Nabila. Membuat Nabila terkejut sesaat. Nabila mengenal suara itu. Perlahan-lahan Nabila berdiri agar Vano tidak terbangun. Nabila yang sudah bangun, berjalan keluar kamar. Nabila membukakan pintu. Ada seorang wanita tengah baya, yang memakai daster berdiri di depan pintu Nabila. Wanita itu menyedekapkan tangannya karena kedinginan. Nabila mempersilahkannya masuk dan duduk. Nabila tahu maksud tujuannya datang kemari. "Sudah lebih dari tiga bulan mbak. Apa saya bisa minta uang kos?" kata wanita itu tanpa perlu bertele-tele. Bahkan saat Nabila belum bertanya apa tujuannya. Nabila tidak bisa langsung menjawabnya. Ia harus memilih kalimat yang tepat untuk menjawabnya. "Maaf Bu Pipit, tolong beri saya waktu sebentar lagi. Saya pasti akan melunasinya," ujar Nabila tulus. "Sudah berkali-kali mbak. Sebenarnya ada yang mau nge-kos disini dan bersedia membayar lima bulan ke depan, cuma saya kasihan sama mbak." "Dua minggu lagi, saya akan melunasinya Bu." Tidak ada sanggahan lagi untuk Nabila. Nabila merasa bersalah. Apa boleh buat, gaji sebelumnya ia pakai untuk menutup tanggung jawabnya kredit dari suaminya dulu atas nama dirinya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena sebenarnya ia tahu kalau Bu Pipit adalah orang baik. Bu Pipit pulang dan Nabila semakin tidak mengantuk. Pikirannya melayang tak terelakkan. Hal apa yang bisa ia lakukan selanjutnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN