Announcement about Test

1086 Kata
Nabila menghadap laptopnya, sudah sekitar dua jam yang lalu. Matanya terus menatap tulisan-tulisan kecil yang terpampang rapi di layar yang menyala itu. Tapi, pikirannya tidak ada di sana. Soal, tatapan aneh Tyas padanya kemarin. Soal ibu kos yang menagihnya karena sangat-sangat terlambat membayar kos-kosan? Dan tentu tentang kehidupannya yang dirasa semakin berat saja. Nabila tidak pernah menyangka, jika kehidupan setelah menikah dan bercerai, akan seberat ini. Salah pilih saat menikah, benar-benar berakibat fatal. Jika ini hanya menyangkut dirinya, mungkin Nabila bisa tahan. Tapi, ini soal anaknya yang menjadi korban juga. Tak terasa, air mata Nabila menggenang di sudut matanya. Merasa tidak kuat menopang beban hidupnya sendirian. Nabila lalu menyeka air matanya sesaat. Sedangkan, Rangga yang juga ada di sana, tengah mencetak kertas atas sebuah pengumuman yang ia kerjakan. Tentang keputusan rapat untuk pengadaan tes yang langsung dinilai oleh direktur. Rangga sangat antusias ingin segera menjalankannya. Satu kertas hasil print out, sudah keluar. Rangga mengambilnya dan membacanya. Ia bisa tersenyum lebar ketika membaca pengumuman yang dibuatnya sekitar dua puluh menit yang lalu. Rangga harap, ia bisa menjalankan keputusan rapat ini dengan baik. Satu-satunya tujuan ia menginginkan hal ini adalah hanya karena Nabila. Rangga yang masih tersenyum lebar, melihat ke arah Nabila dengan cepat. Saat itu, ternyata Nabila sedang menangis. Rangga yang secara tidak sengaja melihatnya, terkejut saat Nabila mengusap air matanya itu. Rangga yang berwajah senang di awal, mendadak merubah seratus delapan puluh derajat ekspresinya. Rangga lalu mengernyitkan wajah melihat Nabila yang tengah menangis itu. Rangga kemudian melihat kertas yang baru saja ia cetak tersebut. Apa saat ini yang sedang dipikirkan Nabila? Ia rasa, ia memang harus segera melakukan sesuatu untuk perempuan malang ini. Pikirnya. "Nabila?" panggil Rangga pelan. Nabila yang masih belum selesai menghapus air matanya itu, segera cepat-cepat menyekanya agar Rangga tidak tahu. Tapi, nyatanya Rangga sudah tahu lebih dulu. "Iya, Pak?" jawab Nabila yang menoleh ke arah Rangga dengan terburu-buru. Ia tidak lupa mengulas satu senyum palsunya. "Apa kamu menangis?" tanya Rangga lembut. Nabila terkejut mendengar pertanyaan Rangga. "Tidak, Pak." Nabila menggeleng dengan cepat. Ia merasa malu karena Rangga ternyata sudah tahu lebih dulu. "Saya hanya sedikit mengantuk," lanjut Nabila lagi. Masih dengan tersenyum yang dipaksakan. "Tidak perlu berbohong. Aku bisa langsung melihatnya," kata Rangga. Nabila yang tersenyum tipis itu, mendadak memudarkan senyumannya. Ia pasrah sudah ketahuan. Ia lalu menundukkan pandangannya perlahan. Lagi-lagi, Rangga merasa suara kecil terdengar dari dalam hatinya. Baiklah. Rangga akan mencoba mengalihkan perhatian sedih dari Nabila sesaat. "Apa, kamu bisa kemari?" pinta Rangga menyuruh Nabila untuk duduk di kursi yang berhadapan langsung dengannya. Nabila mengangkat kepalanya melihat ke aran Rangga. Ia juga memandang ke kursi yang ditunjuk Rangga dengan ragu. Tapi, akhirnya Nabila hanya bisa pasrah menuruti permintaan Rangga. Ia berdiri, lalu berjalan pelan dan duduk di hadapan kursi Rangga tersebut. "Ini tempat kerja. Apa kamu bisa lebih konsentrasi mengerjakan pekerjaanmu di sini?" tanya Rangga yang membuat sebuah ungkapan ambigu pada Nabila. Nabila merasa semakin menundukkan pandangannya dan merasa bersalah. "Maafkan saya, Pak. Selanjutnya saya janji, akan lebih berkonsentrasi lagi," jawab Nabila. Rangga masih memperhatikanya. Kemudian, hening sesaat di antara mereka. Rangga lalu memberikan kertas hasil cetakan dengan mesin printer tadi, pada Nabila. "Ini suatu kompetisi yang aku adakan. Ikutilah," ujar Rangga sembari langsung memberikannya pada Nabila. Sejak awal, Rangga memang ingin segera memberikannya. Nabila langsung menerima kertas itu. Ia melihat ke arah Rangga sejenak. Rangga hanya memberikan kode melalui matanya, untuk Nabila agar segera membacanya. Nabila yang awalnya ragu, akhirnya membacanya juga. Ia mulai fokus untuk membaca dalam hati. "Tes untuk jadi administrasi data produksi?" tanya Nabila setelah selesai membaca semuanya. Rangga mengangguk beberapa kali, menjawab pertanyaan Nabila situ. "Kenapa pak Rangga memberikannya pada saya?" tanya Nabila. "Untuk siapa tes ini, Pak?" lanjut pertanyaan Nabila. "Untuk semua karyawan produksi," jawab Rangga singkat dan cepat. Nabila kembali membaca kertas tersebut agar ia lebih paham. “Tidak ada syarat apapun selain bekerja disini. Semuanya bisa mengikuti tes ini," ujar Rangga lagi. "Tunggu pak." Nabila memberikan tatapan aneh pada kertas itu. Rasa-rasanya ada sesuatu yang janggal dengan kertas pengumuman ini. Nabila ingin segera bertanya akan hal itu. "Sepertinya kurang masuk akal, kenapa tidak merekrut staff baru dengan pendidikan yang lebih tinggi?" tanya Nabila. "Kesempatan ini memang ditujukan untuk karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun di sini. Karena memang mereka sudah paham betul soal tempat ini," jelas Rangga. "Tapi, Pak. Lama tidaknya mereka di sini, bukan berarti mereka langsung bisa paham dengan data produksi. Lagipula, pekerjaan manajemen data dan pekerjaan di lapang sangat jauh berbeda. Saya mengatakan ini tidak bermaksud kalau saya sedang meremehkan pekerja para produksi. Tapi, saya hanya tidak ingin Pak Rangga sia-sia melakukan ini semua, Pak," kata Nabila. Rangga tersenyum dalam hati. Tentu saja, pemikiran Nabila yang kritis. Namun, sangat polos dan baik hati. Lagipula, memang kertas pengumuman ini hanya tertuju pada Nabila saja, bagi Rangga. "Tidak mudah mencari karyawan dengan kualitas yang bagus. Dua bulan belakangan sudah dilakukan, tapi mereka datang silih berganti. Aku lelah jika harus bolak balik mengajari mereka," jelas Rangga. Nabila mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Kalau begitu, apa keuntungannya pak?" tanya Nabila yang mulai teralihkan fokusnya. "Masalah gaji dan pekerjaan, tentu saja berbeda. Kamu pasti tahu tugas seorang administrasi untuk sebuah perusahaan?" tanya Rangga. Nabila yang mengkerutkan keningnya tanda berpikir itu, mendadak menghilangkan kerutan keningnya. "Jadi, saya juga bisa ikut tes ini Pak?" tanya Nabila. "Tentu saja. Aku sudah bilang dari awal, bukan? Siapa saja bisa ikut. Aku juga sudah menyuruhmu dari awal," kata Rangga lagi. Mendengar Rangga yang meyakinkannya itu, Nabila segera mengulas senyumannya. Saat melihatnya, Rangga berpikir Nabila semakin manis. Selama ini, sangat jarang sekali Nabila memberikan senyum tulus seperti itu. Rangga ikut senang karena ia merasa sudah membantu Nabila. "Oh iya. Tolong kamu bantu aku untuk menempelkan pengumuman ini di masing-masing papan pengumuman untuk karyawan produksi ya," pinta Rangga. "Baik pak," jawab Nabila menganggukkan kepalanya satu kali. Mendadak, Nabila merasa bersemangat. "Kamu sedang tidak sibuk hari ini, kan?" tanya Rangga lagi. "Tidak, Pak." "Kalau begitu, sekarang juga kamu sudah bisa menempelkannya. Karena, semakin cepat kita menempelkan pengumuman ini, semakin cepat pula aku memulai tes itu," jelas Rangga lagi. "Baik, Pak. Kalau begitu, sekarang saya akan mulai menempelkannya," ujar Nabila yang sembari berdiri. Kemudian, ia membalikkan badannya dari Rangga. Nabila berjalan keluar kantor. Dalam pikirannya, ia merasa ada jalan yang lebih baik untuk kehidupannya. Jika ia bisa lolos, maka ia juga bisa akan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Vano. Mengingat saat ini ia tidak bisa melamar pekerjaan yang lebih baik karena ijasahnya tertahan oleh mantan suaminya. Dengan penuh semangat dan tekad yang tinggi, Nabila berniat akan mengikuti tes itu dengan sepenuh hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN