Tyas's Anger

1272 Kata
Pak direktur Bagas, kembali ke dalam ruangannya seusai rapat. Saat sudah duduk di tempatnya, beliau memeriksa data produksi yang dijalankan di proses untuk hari ini. Saat itu, pak Bagas memeriksanya secara fokus. Ketika Pak Bagas melihat datanya dengan jumlah produk dan keuntungan yang sudah di ekspor, rasanya memang sama sekali tidak cocok. Padahal, input bahan baku banyak sekali, tapi outputnya benar-benar kacau. Jadi dia pikir bahwa memang ungkapan Agra itu, ada benarnya. "Mungkin memang harus dicoba, usul Rangga itu," gumam direktur berbicara sendiri. Tiba-tiba seseorang masuk ke ruangan direktur, tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Seorang perempuan dengan wajah agak marah. Pak Bagas melihat ke arah pintunya dan heran dengan salah satu staffnya masuk ke ruangannya. "Ada apa Tyas?" tanya pak Bagas pada perempuan itu. "Bukankah kamu harus kembali ke produksi?" lanjut pak Bagas kembali. "Menurutku, kali ini usul Rangga tidak benar," ucap Tyas tanpa basa basi. Ia berbicara dengan menyedekapkan kedua tangannya dan terus berjalan mendekat ke arah direkturnya itu. "Memangnya kenapa?" tanya direktur dengan lembut. Direktur juga merasa aneh pada Tyas yang merasa marah tersebut. Tyas hanya merasa, bahwa dari usul Rangga saat rapat tadi, jelas-jelas ini semua Rangga tujukan untuk pegawai sanitasi perempuan yang dibawanya itu. Hanya saja, Tyas tidak mungkin berbicara secara terang-terangan. "Biasanya, setiap kali Rangga usul kamu yang pertama kali mendukungnya, bukan?" tanya pak Bagas. Tyas masih terdiam. "Lalu, apa kamu punya usul yang lebih bagus?" tanya direktur masih dengan lembut. Mencoba memberikan Tyas alasannya. Tyas memutar-mutar bola matanya, tidak dapat menjawab pertanyaan direktur. "Tyas, semua sudah sepakat untuk menjalankan usul Rangga. Kalau tidak berhasil, kita hanya perlu mencari solusi lain, bukan?" ujar pak direktur pada Tyas tersebut. "Papa!" rengek Tyas memanggil pak direktur dengan sebutan lain di kantor ini. "Kali ini, aku benar-benar tidak setuju dengan Rangga," ungkap Tyas kembali. "Sebenarnya, kamu ada masalah apa?” tanya direktur lagi. "Aku..." Tyas terhenti saat akan mengeluarkan kalimatnya. Sejujurnya ia sendiri tidak tahu apa yang diinginkannya. "Sudahlah Tyas, memangnya apa masalahnya? Lagipula, jika papa membatalkan keputusan yang sudah mufakat ini, sangat tidak bijaksana sekali," tutur direktur memberikan pengertian kepada putri kesayangannya. "Papa tidak akan mengerti alasannya," kata Tyas dengan masih memberikan ekspresi yang tidak tenang. Tyas lalu keluar dengan wajah penuh kecewa dan tanpa berpamitan. Pak direktur yang menjadi seorang ayah, bingung bagaimana harus bersikap pada putri kesayangannya. Dari kecil, semua keinginan Tyas tidak pernah terabaikan. Semuanya terpenuhi. Lantas, apa diinginkan putrinya kali ini? *** Tyas berjalan ke arah kantor Rangga. Tyas masih merasa tidak puas dengan apa yang sudah terjadi. Ia membuka pintu dan terhenti saat melihat sesuatu. Saat Tyas berada di ambang pintu, ia melihat Rangga duduk di tempatnya dan Nabila berdiri di sampingnya. Mereka terlihat sangat akrab dan dekat sekali. Tyas melihat wajah Rangga yang nampak sumringah, membuatnya kesal. Rangga yang tiba-tiba menyadari ada seseorang masuk ke dalam kantornya. Ia segera mengalihkan perhatiannya dari Nabila ke Tyas. "Ah, Tyas. Ada apa?" tanya Rangga masih dengan nada baik. Tyas tidak langsung menjawab pertanyaan Rangga. Ia melihat ke arah Nabila dengan tatapan aneh. Nabila merasa dirinya salah tingkah. Rangga bisa sadar akan tatapan Tyas pada Nabila. Tyas masuk ke ruangan Rangga. Rangga berdiri dan memberikan secarik kertas pada Nabila. "Ini data terakhir dari laporan produksi. Tolong kerjakanlah sebentar," pinta Rangga pada Nabila sekejap. Nabila mengangguk dan berjalan menjauh dari meja Rangga. Ia beralih ke komputer lama yang sudah difungsikan kembali. Tyas masih tetap memperhatikan Nabila. "Duduklah Tyas," kata Rangga mempersilahkan Tyas. Tyas tidak mengikuti permintaan Rangga untuk duduk. Dia tetap berdiri dan akan mengatakan sesuatu. "Sepertinya, kamu sudah memiliki asisten pribadi. Untuk apa kamu mengadakan tes?" Tiba-tiba kalimat Tyas membuat canggung diantara mereka. Rangga yang akan duduk, segera mengurungkan niatnya. Ia tidak jadi duduk mendengar pernyataan Tyas. Walaupun Nabila tidak memahami maksud Tyas, tapi ia merasa Tyas sedang membicarakannya. "Tyas, kenapa kita harus membahas sesuatu yang sudah menjadi keputusan rapat?" kata Rangga menjelaskan. "Baiklah. Lupakanlah!" kata Tyas dengan mengibaskan tangannya. Ia kemudian, duduk. Rangga yang melihatnya, awalnya masih merasa aneh, tapi kemudian ia ikit duduk di depan Tyas. "Aku kesini meminta data produksi. Aku dengar, audit kali ini erat dengan data, bukan?" tanya Rangga. "Ya. Akan aku usahakan," jawab Rangga. "Jika kamu perlu apa-apa, panggil aku saja. Aku sudah menyuruh karyawan yang menghitung data di proses untuk segera membawa datanya kemari, sesuai perintahmu," ujar Tyas. "Terima kasih. Kamu sangat membantu," jawab Rangga mencoba memberi apresiasi pada Tyas. Ia tidak tahu, kenapa Tyas bisa berubah baik seperti itu. Pasti, Tyas sedang merencanakan sesuatu. "Kamu tidak perlu berkata seperti itu Rangga. Kita sudah dekat sejak kuliah kan?" lanjut Tyas. "Oh iya, akhir-akhir ini sepertinya kamu sibuk sekali? Tidak seperti sebelumnya saat kita sering keluar malam berdua," kata Tyas kembali dengan sedikit memberi penekanan di akhir kalimatnya. Mendengar Tyas, Rangga melihat ke arah Nabila. Bersamaan dengan itu, Nabila juga menoleh ke arah Rangga secara refleks. Mereka berpandangan selama sekian detik, lalu Nabila segera mengalihkan pandangannya dari Rangga dan kembali fokus pada komputernya. Tyas bisa merasakan itu. Memang ada sesuatu di antata mereka berdua. Tyas segera menoleh ke arah Nabila. "Oh iya, Nabila? Apa kamu bisa keluar sebentar? Tidak bisakah kamu melihat aku dan Rangga sedang membicarakan hal pribadi? Kamu seharusnya langsung peka dan keluar," pinta Tyas dengan nada halus, namun menusuk. Membuat Nabila canggung. Nabila segera berdiri dan memohon ijin. "Ma... Maafkan saya. Saya permisi sebentar," kata Nabila, lalu ia keluar. Rangga yang melihat Nabila, merasa bersalah pada Nabila. Ia kasihan pada Nabila. Padahal, Nabila ada di sini adalah karena kemauannya. "Tyas. Apa maksudmu?" tanya Rangga pada Tyas segera setelah Nabila sudah berada di luar ruangan. "Memang benar kan? Nyatanya selama ini kamu tidak ada waktu untukku!" tukas Tyas dengan sedikit meninggikan nadanya. "Aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Aku melakukan ini juga demi perusahaan ayahmu," ujar Rangga. "Tyas, kita tidak ada hubungan apa-apa selain teman. Tolonglah mengerti." “Itulah yang kumaksud. Kamu sudah tidak pernah bisa menemaniku keluar. Kamu berubah total sejak kenal pegawai sanitasi bernama Nabila itu. Apa kamu sudah memutuskan pertemanan kita? Apa yang Nabila lakukan hingga dia berhasil mencurimu dariku?!" kata Tyas dengan nada yang agak tinggi. Rangga menghela nafas berat lalu membalikkan badannya. Ia merasa serba salah. Rangga berjalan ke arah jendela dan melihat pemandangan. Ia memijit pelipisnya dengan tangan kanannya. "Tyas tolonglah, aku yang meminta Nabila untuk kesini, jangan menyalahkannya," kata Rangga masih dengan berat. Ia tahu Tyas akan bilang apa setelah ini. "Kamu terus akan membelanya, bukan?" gerutu Tyas dengan kesal, sama seperti dugaan Rangga. “Bagaimana cara dia menggodamu sehingga kamu berubah seperti ini?" kata Tyas seolah berbicara dengan nada sangat santai. Rangga terkejut akan kalimat Tyas tersebut. Ia segera menoleh ke arah Tyas dengan tatapan tajamnya. “Nabila bukan orang seperti itu!" seru Rangga dengan dinginnya pada Tyas. Sejujurnya, Tyas nampak terkejut akan sikap Rangga baru saja. "Lihatlah. Sekarang, kamu bahkan membentakku hanya demi dia?" kaya Tyas masih santai dengan menaikkan salah satu alisnya. Rangga kembali menghela nafas panjangnya. Ia memang tidak sadar, jika ia baru saja membentak sahabatnya itu. Rangga kemudian, menurunkan kembali temperamennya. "Tyas, tolong mengertilah. Aku sedang tidak membela siapapun." Rangga mencoba menurunkan nada bicaranya. Tyas tidak habis pikir dengan kalimat Rangga. Ia hanya mendengus kesal. "Apa kamu sadar kalau kamu sudah menyakitiku?!" Tanpa mendengar kalimat balas Rangga, Tyas segera berdiri. Rangga yang tadinya duduk, juga ikut berdiri mencoba mencegah kemarahan Tyas. Tapi, ia rasa ia akan gagal. Jadi, Rangga hanya akan membiarkannya saja dulu. Tyas berbalik arah. Ia berjalan keluar kantor. Saat ia membuka pintu kantor, ada Nabila disana. Nabila benar-benar serba salah dan tidak tahu harus berbuat apa. Nabila terus saja menunduk bingung. Tyas sekali lagi memperhatikan Nabila dengan tatapan sinisnya. Dengan menyedekapkan kedua tangannya. Setelah puas memberikan tatapan tajam sebagai tanda, Tyas lalu pergi begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN