I'll Drive You

1181 Kata
Nabila dan Rangga sudah mengitari keseluruhan proses produksi. Tidak banyak perbedaan dari perusahaan Nabila sebelumnya. Memang ada beberapa alat dan teknik yang sedikit berbeda. Tapi over all, semuanya mirip. Jika Nabila sudah tahu bagaimana proses produksi berjalan, Nabila tinggal melihat titik-titik tempat data di mana proses udang itu dihitung. Rangga tidak terlalu mengeluarkan tenaga untuk menjelaskannya pada Nabila, karena Nabila bisa mengambil inisiatif sendiri untuk mengetahui semua ilmu disana. Sekarang, mereka berdua berada di kantor produksi. "Kita lihat besok. Aku tadi sudah memberitahu pada para pencatat data untuk memberi tanggal dan kode yang tepat. Serta untuk operator, jangan sampai mencampur produk yang sudah diolah. Semoga besok kita bisa menerima sesuai yang kita mau," kata Nabila menjelaskan. Rangga hanya meng-iyakan kalimat Nabila dengan senang. Ia menaikkan kedua bahunya. Rangga merasa benar-benar terbantu untuk masalah data ini. Sehingga, ia bisa berkonsentrasi untuk hal lain. "Jadi, apa ada hal lain yang akan kita bahas?" tanya Rangga pada Nabila. "Aku rasa, tidak," jawab Nabila dengan menggeleng pelan. Rangga mengangguk satu kali. Menerima permintaan Nabila. "Kalau begitu, kita sudah selesai. Ayo kita kembali ke kantor," ajak Rangga. Nabila mengangguk seraya menerima ajakan Rangga. Saat akan keluar, mereka berdua berpapasan dengan Tyas. Situasi, mendadak jadi sangat aneh. Tyas melihat mereka dengan tatapan aneh dan ia hanya melewati mereka. Tyas melihat mereka, namun memilih untuk tidak peduli. Tyas dengan ekspresi kesalnya, memilih untuk melewati mereka. Kemudian, Rangga merasa tidak enak sendiri. Bagaimanapun, Tyas masih sahabatnya. Dan Rangga tidak ingin jika ia terus berada dalam suasana pertengkaran dengan Tyas. "Tyas?" panggil Rangga. Tyas berhenti dan berbalik ke arah Rangga dan Nabila. Masih dengan tatapan kesalnya. "Apa, kamu ada waktu? Aku ingin bicara sebentar," kata Rangga pada Tyas. Rangga merasa, tidak perlu ada lagi kecanggungan di antara mereka. Rangga akan mencoba berbicara baik-baik pada Tyas. Tyas tidak mengatakan apapun. Tapi, sepertinya ia setuju dengan ajakan Rangga itu. "Nabila," panggil Rangga yang menoleh ke arah Nabila. Nabila juga akhirnya menengok pada Rangga. "Kamu kerjakanlah dulu, aku akan menyusulmu setelah ini," kata Rangga pada Nabila. Nabila hanya menganggukkan kepalanya mendengar ungkapan Rangga itu. Rangga kemudian berlalu mengajak Tyas pergi. Nabila ikut berlalu berlawanan arah dari Rangga dan Tyas. Saat Nabila sudah ada di tengah jalan, ia kembali menoleh ke belakang, ke arah Tyas dan Rangga. Nabila masih bisa melihat mereka dengan jelas. Entah, kenapa saat itu, ada perasaan aneh yang ia rasakan? Nabila tidak bisa menjelaskan apa itu? Sebenarnya, sedikit mengganggunya. Tapi, Nabila akhirnya menarik nafasnya dalam-dalam dan memilih untuk melanjutkan jalannya kembali ke kantor. Nabila sampai di mejanya. Tentu saja, masih dalam satu kantor yang sama dengan Rangga. Meja yang sama pula. Berada di sebelah Rangga dengan komputer yang ia pakai biasanya. Nabila duduk di kursi tempat biasanya ia bekerja. Ia sudah mendapatkan hasil data yang ia butuhkan dari proses produksi. Nabila lalu melihat kembali data-data yang ia peroleh tadi. Saat ia membaca dan mencoba menganalisa, tiba-tiba pikirannya melayang ke hal lain. Ternyata otaknya susah sekali berkonsentrasi. Di pikirannya saat ini hanya ada Rangga yang mengajak Tyas menjauh darinya tadi. Tyas dan Rangga tadi, kelihatannya sangat akrab sekali. Saat ia mengingat kejadian tadi, sesuatu yang aneh muncul lagi di dalam hatinya, dan Nabila tidak tahu apa itu? Kenapa bisa terjadi? Nabila hanya mencoba memenuhi kepalanya dengan data-data yang berhasil ia dapatkan hari ini. Dia akan menepati janjinya pada dirinya sendiri untuk memberikan yang terbaik pada pekerjaan baru yang diperolehnya ini. Tentu juga demi masa depan Vano. Waktu berjalan begitu lambat rasanya. Nabila merindukan anaknya. Ia melihat jam dinding. Ternyata jam kerjanya sudah berakhir. Sudah menunjukkan waktunya pulang. Akhirnya, selesai juga. Pikirnya. Nabila lalu segera mengakhiri pekerjaannya. Ia membereskan meja kerjanya dan mematikan komputernya. Ia lalu berkemas. Saat ia berkemas, tepat saat itu, Rangga memasuki kantornya. Mereka saling pandang dalam beberapa detik. Nabila lalu kembali mengalihkan pandangannya dari Rangga. Rangga berjalan mendekatinya. "Kamu sudah mau pulang?" tanya Rangga yang melihat Nabila sudah beres-beres. "Iya, Pak. Waktunya menjemput anak saya," jawab Nabila singkat. Nabila lalu kembali membereskan semua barang-barangnya. Rangga melihatnya dengan sedikit pandangan heran. Rasanya, Nabila memberikan ekspresi wajah yang sedikit acuh padanya. Rangga hanya menebaknya, meskipun bukan berarti itu tidak benar. "Nabila, kamu lagi-lagi lupa, ya? Panggil Rangga saja," pinta Rangga sekali lagi mengingatkan. "Maaf, Pak. Tapi saya pikir itu tetap saja tidak nyaman bagi saya. Bagaimanapun, di kantor ini, Pak Rangga tetap adalah atasan saya," jawab Nabila. Nabila kemudian kembali membereskan data-datanya. Dengan suasana canggung. Rangga bisa merasakan ada yang aneh pada Nabila. Meskipun, ia tidak tahu apa itu. Rangga ingin mencoba membuat atmosfer canggung di antara mereka, menjadi mencair kembali. "Nabila, aku akan mengantarmu pulang," ujar Rangga tiba-tiba. Mendengarnya, tentu saja Nabila merasa sedikit terkejut. Ia refleks segera menolaknya. "Terima kasih, Pak. Tapi saya akan pulang sendiri," tolak Nabila masih dengan sopan. Tapi, ada sesuatu yang berbeda di dalam kediamannya itu. "Tidak...tidak. Ini perintah," kata Rangga dengan tersenyum mantal. Tanpa perlu menunggu balasan Nabila, Rangga berjalan ke arah mejanya. Ia mengambil tas serta kunci mobilnya. Nabila masih memperhatiannya. Sekian detik, Rangga yang kembali berjalan ke arah Nabila itu, sudah sampai di hadapan Nabila. Ia menunggu Nabila untuk pulang bersamanya. Nabila masih terdiam. Ia ragu dan masih bingung untuk menanggapi apa pada Rangga. "Terima kasih atas tawaran Pak Rangga. Tapi, saya benar-benar akan pulang sendiri," ujar Nabila. "Ini bukan tawaran. Aku bilang, ini perintah. Jadi, kamu harus menuruti apa perintah atasanmu bukan? Lagipula, bukankah tadi kamu bilang kalau aku ini atasanmu?" kata Rangga lagi. Nabila kembali hanya diam dan ragu. Rangga mengamatinya. "Nabila, jika kamu masih berbicara formal padaku, maka aku akan terus membuatmu dalam kondisi yang justru tidak nyaman," kata Rangga dengan menaikkan salah satu alisnya. Nabila nampak berpikir sejenak. Lalu, Nabila menghela nafasnya. "Sebenarnya, saya masih canggung memanggil Pak Rangga dengan nama biasa. Karena saya merasa tidak sopan saja sebagai bawahan," ungkap Nabila. "Yang membuat statement tidak sopan, adalah dirimu sendiri, Nabila. Cobalah, sekarang bukalah pikiranmu bahwa di antara kita benar-benar sudah menjadi teman," kata Rangga kembali. Nada Rangga terdengar lembut. Juga terdengar seperti sedikit memohon. Agar Nabila mau mengikuti permintaannya. Nabila berpikir kembali. Rasanya, ia juga terlalu keras pada dirinya. Bukankah selama ini Rangga selalu baik padanya? Apa salahnya hanya menuruti permintaan Rangga dengan hanya memanggilnya secara tidak formal? Nabila akhirnya menatap Rangga. "Baiklah, kalau begitu," ujar Nabila yang sepertinya terpaksa. Namun Rangga sudah cukup puas mendengarnya. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita cepat pulang. Kita akan menjemput Vano," ajak Rangga kembali. "Tunggu!" cegah Nabila tiba-tiba. Ia terdiam sesaat. Nampak berpikir sejenak, sampai akhirnya ia berbicara kembali. "Aku, akan pulang sendiri. Aku tidak mau merepotkanmu," kata Nabila. "Siapa bilang kamu merepotkanku? Aku yang mengajakmu pulang bersama, bukan?" paksa Rangga kembali. Nabila terdiam. Dia masih ragu untuk menerima tawaran Rangga. "Ayolah Nabila. Bukankah tadi kamu setuju kalau kamu akan melakukan sesuatu untukku? Jadi, sekarang kamu harus mau menerima tawaranku." "Tapi..." Nabila masih berpikir. Rangga melihat jam dinding. "Kita sudah kehabisan waktu," potong Rangga yang menunjuk ke arah jam dinding. "Kita harus menjemput Vano, sekarang!" Rangga berjalan ke arah Nabila dan memegangi kedua pundak Nabila dari belakang. Lalu, ia mendorong Nabila untuk mengikutinya. Mau bagaimana lagi? Nabila tidak bisa menolak ajakan Rangga. Untuk pertama kalinya, akhirnya mereka pulang bersama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN