Talk Informally

1082 Kata
Pengumuman pengangkatan staff telah tertempel di dinding. Nabila melihat namanya adalah satu-satunya yang terpilih menjadi staff administrasi. Perasaan bahagia dan puas menyelimutinya. Nabila sadar dengan terpilihnya ia, bukan berarti pandangan buruk tentangnya berakhir. Bisa saja menjadi semakin buruk, tapi Nabila sudah berpikir panjang jika terus memikirkan kata-kata orang, maka ia tidak akan maju. Sama seperti nasihat yang pernah Rangga berikan padanya. Saat ini, ia hanya akan fokus pada pekerjaannya dan untuk masa depan Vano. Ia akan berusaha yang terbaik. Juga, ingin membalas kebaikan Rangga. Setelah ini, Nabila bingung harus menghubungi siapa lagi selain Rangga. Kalau dipikir-pikir, Rangga sudah melakukan sesuatu begitu banyaknya untuk hidupnya. Ia berharap bisa membalas budi baik Rangga nantinya. Setelah melihat papan pengumuman, Nabila berjalan ke arah kantor Rangga. Saat ia sampai di depan kantor, ia melihat Rangga sudah sibuk dengan tumpukan kertas di mejanya. Dengan sedikit gugup, Nabila mengetuk pintu beberapa kali. Rangga menengok ke arah suara pintu masuk. Saat ia melihat Nabila di sana, wajahnya yang sedikit tegang mendadak menjadi sumringah. Rangga tersenyum melihat Nabila berdiri disana. "Kenapa formal sekali? Masuklah," pinta Rangga. Nabila mengangguk dengan senyum manisnya dan ia menuruti perintah Rangga. "Ini juga kantormu, kenapa kamu harus meminta ijin untuk masuk ke dalam kantor?" tanya Rangga lagi. Rangga juga berdiri. Kemudian, ia berjalan ke arah Nabila, untuk menyambut kedatangannya. Sekian detik, mereka berdua sudah saling berdiri berhadapan. "Selamat Nabila. Kamu yang menduduki posisi penting ini," kata Rangga dengan gembira. "Apa, Pak Rangga yakin?" tanya Nabila. "Kamu sudah membaca hasil pengumumannya, bukan?" tanya Rangga lagi. "Sudah, Pak." Nabila kembali menganggukkan kepalanya. "Itulah hasil pengumuman tesnya. Kamu yang terpilih, karena pak direktur sendiri yang sudah memilihnya. Jadi, jika kamu menanyakannya, tanya saja pak pak direktur," kata Rangga yang menaikkan kedua tangannya. Ungkapan Rangga yang berbicara dengan pintar. Mendengarnya, Nabila akhirnya tersenyum dan menundukkan kepalanya. "Terima kasih banyak, Pak. Ini semua karena Pak Rangga," balas Nabila ikut senang. "Itulah gunanya teman bukan?" ujar Rangga lagi. Nabila tidak menjawab dan hanya kembali tersenyum terharu. Ia setengah menundukkan kepalanya karena menyembunyikan ekspresi bahagianya. Rangga benar-benar sudah sangat banyak sekali menolongnya. Nabila lalu teringat akan satu hal. Nabila mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang nampak elegan. Bentuknya segi lima dengan ketebalan dua sentimeter. Warnanya putih dan di atasnya terdapat bunga dan daun-daun kering sebagai hiasan yang bernilai artistik. "Ini untuk pak Rangga," kata Nabila, seraya menyerahkan sesuatu itu pada Rangga. Rangga menerimanya dan mendadak memberi wajah heran. "Apa ini?" tanya Rangga yang baru melihat benda bagus dari Nabila, untuk pertama kalinya. "Namanya wax sachet. Semacam lilin aromaterapi, tapi juga bisa dijadikan sebagai hiasan rumah, Pak," jelas Nabila. "Ini untukku?" tanya Rangga nampak begitu senang. Nabila mengangguk pelan. "Itu ucapan terima kasih. Walaupun sebenarnya tidak setimpal dengan bantuan Pak Rangga selama ini," ujar Nabila tulus dan penuh keharuan. Rangga memperhatikannya. Ia bisa melihat Nabila mengatakannya dengan tulus. Rangga pun ikut senang. Ia juga tersenyum. Kemudian, Rangga kembali fokus melihat benda menarik dari Nabila tadi. "Ini bagus sekali," kata Rangga yang tertegun. Rangga memperhatikan benda tersebut. Ia masih membolak-balik benda yang bernama wax sachet itu. Nabila melihatnya dengan tersenyum, merasa bahwa ia melihat wajah kekanak-kanakan dari Rangga untuk pertama kalinya. "Beli dimana?" tanya Rangga kembali. "Saya membuatnya sendiri," jawab Nabila singkat. "Ini?!" Rangga membelalakkan kedua matanya menatap ke arah Nabila. "Kamu?!" Nabila mengangguk dengan tersenyum. "Itu hanyalah hobi saya saat masih sekolah SMA dulu," jelas Nabila lagi. "Tapi, ini benar-benar bagus, Nabila. Ternyata, kamu juga pandai dalam hal seni," puji Rangga lagi. Rangga bukan sekedar memuji di mulut saja. Ia benar-benar mengagumi hasil karya buatan Nabila. Ia pikir Nabila hanya seorang yang pintar secara akademis data saja, tapi ia punya sisi seni yang tidak biasa. Nabila sendiri, juga merasa senang jika hasil karyanya bisa diterima dengan baik. "Aku simpan, ya," kata Rangga pada Nabila. Nabila mengangguk dengan bahagianya. Rangga kemudian, seolah teringat akan suatu hal. Ia memperhatikan Nabila, kemudian ia ingin mengatakan sesuatu padanya. "Oh iya, Nabila, karena kita adalah teman sekarang, bukankah seharusnya kamu memanggilku dengan nama saja. Kamu juga tidak perlu bicara formal padaku? Sekarang posisi kita sudah sama," ujar Rangga menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum. Nabila terkejut mendengarnya. Ia kemudian berpikir sejenak. "Tentu saja berbeda. Pak Rangga kan manajer. Saya hanya karyawan Pak Rangga," sanggah Nabila segera. "Tapi, kita seumuran kan? Lagipula kita sudah menjadi teman. Apa salahnya bersikap akrab dengan sesama teman, bukan?" kata Rangga sekali lagi. Nabila mengernyitkan sedikit wajahnya. Ia benar-benar ragu dengan kalimat dari Rangga itu. "Tapi, itu sangat tidak nyaman bagi saya, Pak," jawab Nabila canggung sambil tertunduk malu. Membuat Rangga gemas melihatnya. "Ayolah Nabila. Kamu bilang selalu ingin berterima kasih padaku. Setidaknya kamu juga harus melakukan sesuatu untukku juga kan?" pinta Rangga. Beberapa detik setelah Nabila berpikir, akhirnya ia menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Rangga," kata Nabila dengan ragu. "Ah, rasanya sungguh aneh, Pak," kata Nabila yang mengenyitkan wajahnya. Rangga tersenyum geli dengan ekspresi Nabila. "Aku mendengarnya sangat wajar. Kamu hanya perlu membiasakan dirimu saja," ungkap Rangga senang. Nabila akhirnya menganggukkan kepalanya menuruti Rangga. "Kalau begitu, apa yang bisa aku lakukan untuk pekerjaan pertamaku?" tanya Nabila yang akhirnya mencoba membiasakan diri berbicara lebih akrab pada Rangga, yang sebenarnya ia malu melakukannya. Rangga tersenyum mendengarnya. Rangga juga merasa bahagia. Entah apa alasannya? Rangga kemudian memejamkan mata. "Hm..." Rangga meletakkan salah satu tangannya di dagu dan yang satu lainnya dimasukkan ke dalam saku celananya sambil berpikir. Matanya terbuka setelah hitungan dua detik. "Dalam waktu dekat-dekat ini, perusahaan akan melakukan audit akreditasi. Jadi, kita harus mempersiapkan semuanya," kata Rangga yang mendadak berwajah serius. Nabila bisa mendengarnya dan akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Selama menyiapkan proses akreditasi nanti, kamu akan terus bersamaku," kata Rangga dengan bangganya. Mendengarnya, Nabila refleks menoleh ke arah Rangga. Seolah ada yang mengetuk ke dalam hatinya. Ia mengerjap-kerjapkan matanya pelan. Tapi, ia sebisanya harus bersikap normal. Nabila hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Lalu, pertama kali apa yang harus saya lakukan, Pak?" tanya Nabila lagi. "Ini bukan pertama kali untukmu, tapi aku akan mengajakmu untuk tour ke proses produksi dan menjelaskannya secara detail. Jadi, kamu bisa belajar secara keseluruhan," jelas Rangga. "Baik, Pak," jawab Nabila. Mendengarnya, Rangga melirik pada Nabila dan menaikkan salah satu alisnya menatap Nabila. Membuat Nabila bingung dan salah tingkah sendiri? "Apa kamu lupa, untuk tidak memanggilku dengan sebutan pak?" pinta Rangga sekali lagi. Nadia lalu tersentum canggung. "Saya, hanya merasa aneh saja, Pak," jawab Nadia dengan salah tingkah. "Ini perintah, Nabila," kata Rangga lagi dengan memberi tekanan pada kalimatnya. "Eemm... baiklah, Rangga," ujar Nabila masih dengan canggungnya. Rangga kembali tersenyum. "Kalau begitu, ikutlah denganku," kata Rangga tetap dengan semangat. Nabila menurut dan mengikuti Rangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN