A Suggestion

1039 Kata
Hawa semilir dan angin sepoi-sepoi itu, rasanya masih terasa di sekitar Rangga. Di bawah pohon rindang, yang sejuk itu, rasanya masih sangat berkesan bagi Rangga. Tentu saja bukan karena suasananya. Tapi, karena saat itu, ia sedang duduk bersama Nabila. Menghabiskan sekian waktu bersama, untuk saling bercerita. "Bahkan sampai saat ini, saya masih benar-benar tidak tahu, kenapa dia pergi meninggalkan saya dan anaknya." "Apa mungkin, kalian baru saja bertengkar?" "Satu hari sebelum dia pergi, saya pikir semuanya masih sangat baik-baik saja. Selama ini, dia juga tidak pernah bercerita jika dia sedang dalam kesulitan." Mengingat raut sedih wajah Nabila. Cerita pilunya, juga betapa tegarnya Nabila menghadapi semua ini, tidak bisa hilang begitu saja di kepala Rangga. Dalam hatinya, Rangga hanya merasa simpati yang besar pada Nabila. Bagaimana bisa, gadis sebaik dan sepolos Nabila itu, dimanfaatkan justru oleh orang terdekatnya? Suaminya sendiri? Rangga memang tidak bisa menghakimi seseorang hanya dari salah satu sudut pandang saja. Semuanya masih abu-abu. Tapi, ia hanya memiliki keyakinan bahwa Nabila tidak sedang berbohong. "Apa, kamu bersedia berteman denganku?" Nabila merasa setengah kaget mendengar tawaran Rangga itu. Ia merasa ragu. Namun, ia yakin jika ia tidak salah dengar. Ia hanya kembali mengalihkan wajahnya ke arah Vano, anaknya. "Terima kasih banyak, Pak. Sejauh ini, Pak Rangga, adalah orang yang sangat baik dan banyak membantu saya. Tapi, pak Rangga masih tetap atasan saya." "Nabila. Di kantor, kita memang hanya rekan kerja. Tapi, aku yakin kita bisa menjadi teman yang cocok. Maksudku, lihatlah sejauh ini. Kita masih belum berselisih pendapat, bukan? Bahkan dalam hal di luar pekerjaan." Nabila tidak segera menjawabnya. Ia hanya mengamati wajah Rangga. Sejujurnya, Nabila tidak tahu apa yang akan ia katakan pada Rangga. "Nabila? Aku memaksamu. Dan ini perintah seorang atasan." Rangga menaikkan salah satu alisnya, dengan nada canda. Nabila pikir, Rangga cukup tulus untuk mengatakan hal itu padanya. Dan akhirnya, Nabila bisa tersenyum manis. "Siapa yang tidak ingin menjadi teman seorang yang baik dan murah hati seperti pak Rangga?" "Rangga?!" Rangga menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Wajahnya yang tadinya setengah melamun dan menerawang, tersadar oleh sesuatu yang nampaknya penting. "Apa kau tidak mendengarku?" tanya seorang laki-laki tengah baya, berjas hitam dan berdiri di depan proyektor yang tengah memperhatikannya. Itulah Pak Bagas. Direktur utama, perusahaan ini. Diikuti semua mata yang akhirnya juga memperhatikannya. Rangga baru sadar jika semua orang ikut memperhatikannya. Pikirannya sedikit kalut karena perbincangannya dengan Nabila kemarin. "Maaf pak," kata Rangga membenarkan posisi duduknya. "Aku memanggilmu sampai dua kali," ucap laki-laki berjas tadi, yang merupakan pimpinan rapat, sekaligus pemimpin perusahaan ini. "Maaf sekali lagi, saya tadi masih memikirkan hal lain," ujar Rangga. "Audit tinggal beberapa bulan lagi, dan pikiranmu tidak disini. Memangnya apa yang lebih penting dari itu?" ujar direktur dengan nada bercanda. "Jadi, apa aku harus mengulanginya sekali lagi dari awal?" Pak direktur masih dengan nada bercanda. Semua karyawan tertawa, kecuali Tyas. Rangga ikut tersenyum karena malu. "Tidak perlu, Pak," kata rangga singkat. "Saya masih dengan jelas mendengarkan pak Bagas," lanjutnya yakin. Pak Bagas lalu menaikkan kedua bahu dan tangannya. Ia diam dan kembali duduk. Rangga menegakkan duduknya. Sedang pak Bagas, memperhatikannya. Mencoba kembali memberikan kesempatan pada Rangga. "Saya akan memberikan sedikit saran," kata Rangga pada direktur pimpinan rapat tersebut. Sekaligus, pimpinan perusahaan ini. Tentunya juga pada semua staff yang sudah menghadiri rapat. "Menurut saya, seharusnya kita perlu menambah staff administrasi." Rangga mengeluarkan usulnya. Rangga masih paham dengan jalannya rapat ini. Semuanya kembali fokus. "Ekspor kita meningkat, karyawan kita bertambah, tapi administrasi kita tidak ada kemajuan. Tentu tidak ada progres." Kali ini Rangga berdiri. "Bukannya saya menyalahkan kinerja para admin di sini, kita hanya kekurangan orang pak," jelas Rangga yang melihat ke arah pegawai administrasi, kemudian ia beralih pada direktur kembali. "Jika kita pikir, hanya karena menunggu data yang sudah siap, apa kerja kita harus terhambat juga?" Kembali Rangga melihat keseluruhan karyawan yang mengikuti rapat. "Pekerjaan semakin banyak, data-data produksi semakin menumpuk. Untuk bisa menganalisisnya kita butuh administrasi yang tangkas. Jadi akan ada keseimbangan antara produksi maupun data administrasi." "Apa kau ingin merekrut seorang admin baru? Membuka lowongan kerja?" tanya pak Bagas menebaknya. "Tidak pak," jawab Rangga tegas. Semuanya mengkerutkan alis dan bertanya-tanya sebenarnya apa maksud dan keinginan Rangga. "Admin baru hanya akan menambah pekerjaan. Walaupun mereka berpengalaman bekerja di perusahaan yang berbasis sama, tentu secara lapang maupun teknis bisa berbeda. Belum lagi adaptasi yang mungkin justru memusingkan kita sendiri. Karena nyatanya banyak sekali para pelamar yang keluar masuk perusahaan ini." Pembicaraan semakin serius. Rangga memperhatikan para staff lain yang masih berkonsentrasi padanya. Rangga bisa melanjutkan usulannya. "Kita memiliki ratusan karyawan produksi di sini. Dan karyawan-karyawan tersebut ada yang berpuluh-puluh tahun bekerja disini. Mereka sangat tahu tempat ini, mereka tahu semua proses dan semua perubahan yang pernah terjadi." "Maksudmu, kau ingin mengambil salah satu dari karyawan untuk dijadikan seorang administrasi?" "Pak direkturlah yang akan mengambilnya." "Apa maksudmu?" "Saya akan mengadakan tes. Tes untuk beberapa ide yang mungkin tidak tersalurkan. Mungkin saja sebenarnya justru merekalah yang harusnya tahu bagaimana proses itu harus berjalan." Rangga menaikkan kedua tangannya. Rasa percaya dirinya meningkat. Ia melihat direktur mengangguk-angguk dan memikirkan pendapatnya. Selama ini usulan Rangga tidak pernah ditolaknya, karena memang belum pernah gagal. "Saya tidak setuju!" Tiba-tiba Tyas menunjukkan batang hidungnya. Tyas segera berdiri. "Mereka memang lebih lama bekerja dibandingkan kita, tapi kebanyakan dari mereka sudah terbiasa menerima perintah. Mereka hanya bekerja sesuai perintah para staff." Tyas memperhatikan direktur dan staff lain di sana. "Karena mereka diperintahkan seperti itu," sanggah Rangga. "Coba saja jika mereka diberi kesempatan untuk bersuara? Mungkin mereka bisa lebih baik?" "Tunggu Tyas," cegah direktur utama. "Mungkin saja pendapat Rangga ini bisa kita coba," kata pak direktur nampak membela Rangga. Saat direktur sudah melontarkan kalimat seperti itu, tidak mungkin lagi Tyas menyanggahnya. Tyas hanya tidak habis pikir. Ia melihat ke arah Rangga yang terlihat sangat senang. Ia kembali duduk dengan berat. "Mungkin ada usul lain?" tanya direktur pada yang lain. Staff yang lain seperti mengikuti kata-kata Rangga. "Menurut saya itu ada benarnya pak." Salah satu staff ikut menyuarakan aspirasinya. "Kita sudah kenal dengan beberapa karyawan produksi, untuk mengajari sesuatu hal bisa dibilang lebih gampang karena kita tahu banyak karakter dari mereka." Satu poin lagi untuk Rangga. Diikuti dengan staff-staff yang lain mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya keputusan telah mufakat. Rapat ditutup dan Rangga bisa kembali dengan senyum lebarnya. Rencana yang ia pikirkan semalaman ini, nampaknya berhasil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN