Become A Friend

1230 Kata
Mayonaise, pasta, saus tomat, air mineral dan sabun cuci muka sudah masuk ke keranjang belanja. Rangga hanya tinggal membawanya ke kasir. Kebiasaan Rangga setiap hari libur, selain ia pulang kerumah ibunya adalah berbelanja. Baik makanan instan atau kebutuhannya sehari-hari. Dia juga bisa saja menghabiskan waktunya untuk mengajak ibunya menonton bioskop bersama. Karena hari ini Chris baru saja datang dari Los Angeles, dan ingin membicarakan masalah bisnis, ia tidak pulang ke rumah ibunya. Rumah ibunya agak jauh dari kantornya. Mangkanya, ia lebih memilih menyewa sebuah apartemen di dekat perusahaan tempat ia bekerja. Ia pulang satu minggu sekali, kadang jika ia merindukan ibunya atau sebaliknya, ia juga bisa pulang kapan saja. Saat menuju kasir, ia melihat beberapa botol-botol kecil berjajar rapi di salah satu rak yang ia lewati. Botol-botol ini berisikan bumbu-bumbu dapur instan. Rangga terhenti seketika. Ia mendadak masih ingin menelusurinya, dan tidak segera berlalu. Kemudian, ia memperhatikan ada satu botol yang berisi daun-daun kering. Rangga mengambil dan membacanya. Oregano kering. Nama untuk satu bumbu dapur instan itu. "Jika ingin membuat spaghetti lebih enak, tambahkan oregano kering. Maka rasanya akan semakin kuat." Tiba-tiba hadir suara Nabila di kepala Rangga saat melihat bubuk oregano kering di botol salah satu rak bumbu didepannya. Rangga tersenyum sesaat. Ternyata memang benar kata Nabila. Tunggu! Kenapa ia jadi memikirkan Nabila di tengah-tengah ia sedang belanja? Rangga merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia lalu menggelengkan kepala pelan. Kemudian, akan kembali fokus untuk berbelanja lagi. Sudah dua Minggu lebih, Nabila bekerja di kantor Rangga. Memang, selama ini, ia merasa banyak sekali bertukar pikiran dengan Nabila, baik dalam hal pekerjaan, kehidupan sehari-hari bahkan candaan. Rangga berpikir, semakin lama Nabila semakin menarik. Sangat nyambung jika berbicara dengan Nabila. Pikirnya. Tunggu! Kenapa ia kembali memikirkan Nabila tanpa sadar? Ah... Sudahlah! Rangga akan kembali fokus menyelesaikan belanjaannya. Ia akan mengambil bumbu-bumbu dapur instan yang diperlukannya. Juga, tentu saja mengambil satu botol bubuk oregano itu. Saat ia akan memasukkan botol itu ke dalam keranjangnya, ia merasa ada yang menarik celana bagian bawah tepat di dekat sepatunya. Rangga menengok ke bawah. Ia melihat balita laki-laki sedang berusaha berdiri dengan berpegangan pada sepatu dan celananya. Rangga terkejut sesaat. Kemudian, ia memperhatikan sekitar dan tidak ada orang disana. Rangga membungkuk dan akhirnya menggendong balita itu. "Apa kamu tersesat, jagoan kecil?" tanya Rangga menimangnya dengan lembut. Rangga melihat anak ini sangat lucu. Anak itu memainkan wajah Rangga. Rangga hanya tersenyum melihat balita itu juga ikut tertawa riang. "Apa kamu kehilangan ibumu? Aku akan mengantarmu ke bagian informasi," ujar Rangga kembali. Balita itu kembali tertawa mendengarkan Rangga. "Vano!" Tiba-tiba suara seorang perempuan yang sepertinya gelisah terdengar di sekitar Rangga. Dari balik rak sebelahnya. Rangga bisa mendengarnya. Semakin lama, suaranya semakin dekat. "Vano!?" panggil perempuan itu untuk kedua kalinya. Tiba-tiba, perempuan itu muncul dari balik rak yang menghalanginya dengan Rangga. Perempuan itu terhenti serta terkejut melihat anaknya digendong Rangga. Ternyata Rangga juga berekspresi hal yang sama seperti ibu anak yang sedang digendongnya. "Pak Rangga?" sapa perempuan tersebut, pada Rangga. Rangga terdiam sesaat. Ia mengetahui sebuah kebenaran. Rangga melihat balita yang masih digendongnya sebentar, lalu kembali menengok perempuan itu. "Nabila?" Rangga balik menyapa. *** Hawa sejuk mengelilingi pemandangan sekitar. Hening suasana mengikutinya. Damai sejenak menyelimuti dari beragam aktifitas sehari-hari yang membuat penat. Jika pagi hari embun berserakan di sekitar, siang hari hembusan angin sepoi menggantinya. Nabila memandangi anaknya tertidur pulas di pangkuannya. Tenang rasanya melihat wajah anaknya yang polos. Ada segurat kesedihan di matanya. Rangga yang sedang duduk disampingnya, memperhatikan Nabila. Ia sudah bisa langsung tahu Nabila sedang bersedih, dengan hanya melihat matanya sekilas. Rangga merasa bersimpati dan seolah bisa merasakan itu. "Umur berapa anakmu ini?" Kalimat Rangga membuyarkan lamunan Nabila sejenak. Nabila menengok ke arah Rangga sebentar dan kembali melihat anaknya. "Sembilan bulan," jawab Nabila dengan mengulas satu senyum manisnya. Rangga hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Suasana hening kembali. Rangga mencoba membangun percakapan. "Namanya, Vano?" tanya Rangga pada Nabila. Nabila hanya mengangguk dua kali dengan mengulas senyumnya. Kemudian, ia menatap ke arah anaknya. "Dia sepertinya lelah karena belum tidur dari pagi," ungkap Nabila yang masih memperhatikan anaknya. Rangga yang juga duduk di samping Nabila, ikut memperhatikannya. "Dia, mirip sekali denganmu," kata Rangga tiba-tiba. Nabila menengok ke arah Rangga, lalu tersenyum tipis. Namun ada kegetiran di senyumnya. Ia mengalihkan kembali pandangannya ke arah anaknya. "Orang-orang bilang, Vano mirip sekali dengan ayahnya. Saat ia lahir, saya kira dia akan menjadi potret ayahnya." Kesedihan bisa Rangga rasakan dari setiap kalimat Nabila. Nabila mendadak berwajah murung. Rangga masih memperhatikannya. Rangga ragu, apakah ia pantas untuk bertanya hal ini? Namun ia memutuskan untuk tetap bertanya. "Kalau boleh tahu, kenapa dia bisa meninggalkan Vano?" tanya Rangga pada Nabila. Nabila melihat ke arah Rangga sebentar. Ia nampak ragu, tapi akhirnya Nabila menceritakannya juga. "Satu tahun yang lalu, waktu saya masih mengandung Vano, dia pergi bersama semua surat-surat yang menempel pada sertifikat rumah. Termasuk... ijazah sarjana saya." Nabila mengambil nafasnya sebentar sebelum menyelesaikan ceritanya. "Saya dikeluarkan dari perusahaan saya, karena suami saya meninggalkan tanggungan kredit atas nama saya yang dibuatkan oleh perusahaan." Kembali Nabila tertunduk. "Jadi, saat kamu melahirkan Vano, suamimu tidak ada di sampingmu?" tanya Rangga penuh keheranan. Nabila menganggukkan kepalanya pelan beberapa kali. "Kenapa kamu tidak berusaha mencarinya?" "Sudah. Tapi hasilnya nihil. Semua nomornya tidak aktif. Semua teman dan keluarganya pun juga tidak tahu dimana dia berada," jelas Nabila. "Apa sampai saat ini kamu masih belum mendapat kabar darinya?" tanya Rangga semakin penasaran. Nabila menggeleng sesaat. "Sat itu, saya khawatir jika saja terjadi hal buruk menimpa ayah Vano. Tapi..." Nabila menghentikan sendiri kalimatnya sejenak. Bola mata Nabila melihat ke arah bawah. "Dua bulan kemudian... ada dua surat datang kerl rumah saya. Pertama, surat yang menyatakan hak kepemilikan rumah telah berpindah ke orang lain. Orang yang membeli rumah dari sertifikat asli rumah yang sudah dijual ayah Vano. Dan yang kedua..." Nabila memberi sedikit jeda pada kalimatnya. "Surat gugat cerai dari pengadilan." Ada genangan air di sudut mata Nabila. Rangga seketika terdiam. Ia menunggu kalimat Nabila yang sebenarnya masih berjalan. Ia benar-benar penasaran dengan kisah Nabila selanjutnya. "Saya mengabaikan kedua surat itu. Tak lama, saya justru mendapat surat sah cerai dari pengadilan. Dan saya segera disuruh pindah dari rumah saya." Kali ini, Nabila tidak bisa menahan titik air yang keluar dari kelopak bawah matanya. Rangga mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada Nabila. Nabila melihat Rangga dan menerima sapu tangan itu. "Terima kasih," ujar Nabila yang tersadar jika ia baru saja menangis. "Hanya karena harta? Seharusnya laki-laki seperti itu bisa dihukum seumur hidupnya, dan tidak pantas untuk dinantikan," ujar Rangga yang juga merasa ingin marah. Sebaliknya, Rangga merasakan empati yang sangat dalam untuk Nabila. "Saya sudah merelakannya," kata Nabila pelan. “Suamimu?” tanya Rangga spontan. “Ah! Maafkan aku. Maksudku… mantan suamimu?” Rangga mengulang pertanyaannya dengan kalimat berbeda. Nabila tidak segera menjawab. Ia masih berpikir dan memilih kalimat, takut jika salah berkata. "Harta yang dijual oleh ayah Vano," jawab Nabila. "Lalu mantan suamimu? Apa, kamu masih mencintainya?" ujar Rangga yang memberanikan dirinya bertanya karena rasa penasarannya. Nabila terdiam. Ia melihat ke arah Vano yang masih tertidur. Nabila tidak mengatakan apapun. Dari sana, Rangga sudah bisa menerka jawaban Nabila. Nabila yang terdiam dan pandangannya menerawang, tiba-tiba terhenyak. Ia segera menghapus kembali air matanya. Ia baru sadar jika saat ini ia sedang duduk bersama atasannya. “Maafkan saya pak. Saya tidak bermaksud sedih di depan pak Rangga," ujar Nabila canggung. “Tidak apa-apa Nabila. Anggaplah aku teman sekarang. Apa kamu bersedia?” tanya Rangga pada Nabila yang memperhatikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN