Phone Number

1019 Kata
Rangga masih tercekat dan justru merasa tangannya kaku. Nabila hanya mengerjap. Sekian detik berlalu, mereka masih belum bisa mengontrol pergerakan fisik masing-masing. Nabila yang baru saja menyadarinya segera menarik tangannya dari tangan Rangga. Saat itu, Rangga pun ikut tersadar. Nabila segera menegakkan tubuhnya dengan cepat, menjauh dari laptop Rangga. Rangga juga ikut mengalihkan pandangannya dari Nabila. Ia mencoba mengontrol kembali jantungnya dengan menarik nafasnya dalam-dalam tanpa sepengetahuan Nabila. Mereka saling salah tingkah. Atmosfer ruangan tiba-tiba serasa aneh dan canggung. Mereka berdua merasa berada di suatu tempat yang sangat jauh. Dan mereka harus beradaptasi kembali dengan tempat itu. "Emm... Saya akan menginput datanya sekarang pak," kata Nabila berusaha memecahkan kecanggungan itu. Rangga berdehem beberapa kali. "Ya...ya... Inputlah. Kalau sudah selesai segera kirimkan ke emailku," ucap Rangga yang juga menutupi salah tingkahnya. "Kalau begitu, saya ambil datanya ya, Pak," ijin Nabila untuk kedua kalinya. "Tentu. Ambillah," kata Rangga. Rangga lalu mengambil sepucuk kertas yang menjadi masalah itu. Kertas yang merupakan data di bulan November. Ia segera memberikannya pada Nabila. Nabila menerimanya. "Jangan lupa, pastikan data ini benar dulu, baru kamu kirim ke emailku," tutur Rangga kembali. "Baik," jawab Nabila mengangguk pelan. Setelah mendapatkan kertas data itu, Nabila menjauh dari kursi Rangga dan kembali ke mejanya. Saat Nabila berjalan membelakangi Rangga, Rangga tanpa sadar memperhatikan Nabila. Nabila sudah sampai di tempatnya. Ia sendiri secara refleks juga melihat ke arah Rangga. Rangga segera menolehkan kepalanya lagi ke laptopnya agar ia tidak ketahuan saat melihat Nabila tadi. Rangga berusaha keras untuk tetap terlihat stay cool. Meskipun kenyataannya, debaran jantungnya tidak normal. Berpacu puluhan kali lebih kencang. Nabila sendiri, juga berusaha keras menenangkan hatinya yang saat ini sedikit tidak karuan dengan sesuatu yang aneh di dalam perutnya. Ia tidak bisa menjelaskannya, soal apa itu. Ia berusaha kembali konsentrasi pada data yang ia bawa dan mencoba mengolah data tersebut di komputernya. Setelah kejadian tadi, Rangga maupun Nabila sama-sama sesering mungkin bertemu pandang tanpa sengaja. Mereka melakukan kontak mata seolah hati mereka menyuruhnya seperti itu. Suasana semakin aneh diantara mereka. Semakin canggung dan kaku. Nabila berharap, istirahat siang segera datang dan ia ingin ke toilet untuk membasuh mukanya yang nampak tegang. Nabila bolak balik melihat jam dinding. Tapi rasanya, waktu malah seperti berjalan lambat? Apa yang harus ia lakukan untuk menutupi rasa salah tingkahnya ini? Tiba-tiba suara ponsel Rangga berbunyi. Rangga melihat ponselnya yang ia letakkan di meja dekat laptopnya. Rangga lalu segera mengambilnya. Ia melihat layar ponselnya. Ada nama Chris tertera di sana. Kenapa Chris menelfon saat ia bekerja? Pikir Rangga. Rangga lalu menggeser kursor hijau di dalam ponselnya dan menempelkan ponselnya di telinganya. "Ada apa?" sapa Rangga terdengar tidak suka. Rangga berbicara dengan Chris, tentu saja dengan menggunakan bahasa Inggris. Terdengar suara Chris yang tidak jelas, sedang mengatakan sesuatu pada Rangga dari dalam ponselnya. "Aku pikir, ada masalah serius kau menghubungiku di jam kerja. Ternyata, masalah tidak penting." Rangga terus berbicara dengan lafal Inggrisnya. Terdapat balasan dari Chris yang semakin meninggikan nadanya. Rangga sampai menjauhkan ponselnya dari telinganya sebentar, kemudian kembali mendekatkan di telinganya. Nabila memperhatikannya sebentar, kemudian ia kembali memeriksa datanya. "Ya...ya... Terserah kau saja!" kata Rangga pada Chris. Tanpa menunggu konfirmasi dari Chris, Rangga segera mematikan panggilannya. Ia lalu melihat layar ponselnya yang sudah mati. Kemudian, Rangga hanya menggelengkan kepalanya pelan. Nabila masih hanya diam. Ia sama sekali tidak berani untuk bertanya hanya untuk sekedar mengakrabkan diri. Ia tahu siapa dirinya, dan apa posisinya sekarang. Nabila hanya memilih untuk kembali fokus pada komputernya. Tapi Rangga, diam-diam melihat ke arah Nabila. Ia berusaha untuk memulai percakapan dengan Nabila. "Ee.... Nabila?" panggil Rangga dengan ragu-ragu dan setengah memberanikan diri. "Iya pak?" jawab Nabila seraya menoleh ke arah Rangga. “Apa kamu pernah memasak pasta sendiri?" tanya Rangga. Nabila tidak segera menjawabnya. Ia hanya terdiam menunggu Rangga menyelesaikan kalimatnya. "Ini..." Rangga menunjuk ke arah ponselnya. Dengan kata lain, menunjuk orang yang baru saja memanggilnya. "Temanku, yang sekarang menumpang di apartemenku, ingin membuatkan pasta untukku untuk makan malam nanti. Tapi, dia tidak tahu resepnya. Jadi, dia bertanya padaku," jelas Rangga. "Pasta?" ulang Nabila. "Ya." Rangga menganggukkan kepalanya satu kali dengan mantap. "Karena aku suka pasta. Padahal, tadi aku suruh dia membelinya, tapi dia bersikukuh untuk tetap membuatnya," tambah Rangga. Nabila tampak memutar bola matanya ke atas. Mencoba mengingat-ingat resep yang pernah ia buat. Rangga masih memperhatikannya. "Saya sendiri sebenarnya tidak sering membuat pasta. Tapi, paling tidak, saya pernah beberapa kali membuatnya, Pak," ujar Nabila. "Iyakah?" tanya Rangga sumringah. Rasa-rasanya ia berhasil menciptakan suasana yang ramah bagi Nabila di sini. "Bagaimana caranya membuat pasta yang enak?" tanya Rangga lagi. "Kalau menurut saya pribadi, pasta yang enak adalah yang bumbunya lengkap, Pak," jawab Nabila. "Tapi, aku laki-laki yang jarang sekali memasak. Aku tidak punya banyak bumbu di dapurku," ujar Rangga. "Sekarang, banyak bumbu-bumbu yang tersedia secara instan kok, Pak. Pak Rangga bisa membelinya di supermarket," jelas Nabila. "Benarkah?" tanya Rangga dengan ekspresi yang sama dengan sebelumnya. "Iya, Pak. Ada bawang putih bubuk, merica dan lainnya," terang Nabila. "Oh iya, kalau pastanya ditambah oregano kering, pasti rasanya akan semakin kuat. Karena oregano, memang biasanya pelengkap pasta, Pak," lanjut Nabila. "Wah, sepertinya kamu memang tahu banyak, ya?" tanya Rangga yang sedikit terkagum. Nabila kembali hanya tersenyum tipis. "Kalau begitu, apa kamu bisa memberitahu apa saja resepnya untukku?" tanya Rangga lagi. "Baik, Pak," jawab Nabila tanpa ragu-ragu. "Sekarang, tolong kirimkan resepmu ke ponselku," kata Rangga lagi. Mendengar pernyataan Rangga, Nabila mengkerutkan keningnya sesaat. "Ponsel?" tanya Nabila bingung. “Ya." Rangga menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat. "Berapa nomormu, akan kusimpan dan kirimkanlah resepnya padaku," kata Rangga sekali lagi dengan ekspresi yang sama. Nampak keraguan sebentar pada Nabila. Tapi kemudian, ia hanya bisa menganggukkan kepalanya. Nabila lalu mendekte Rangga, untuk memberitahu nomor ponselnya. "Terima kasih," ujar Rangga segera menyimpan nomor ponsel Nabila. Rangga lalu segera mengirimkan pesan pada Nabila. Tidak lama kemudian, Nabila menerima pesan dari Rangga. Ia melihat ada nomor Rangga yang sudah tersimpan di layar ponselnya. "Sama-sama, Pak. Saya akan mengirimkan resepnya untuk pak Rangga nanti kalau sudah selesai mencarinya," kata Nabila. "Ya. Aku tunggu," ujar Rangga. "Baik pak," jawab Nabila akhirnya. Dibalik itu, Rangga merasa sangat senang luar biasa. Ia berhasil mendapatkan nomor Nabila tanpa disengaja. Entah kenapa Rangga begitu antusias.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN