Awkward Relationship

1040 Kata
Rangga baru datang pukul setengah sembilan, pagi ini. Perjalanan dari rumahnya menuju kantornya agak jauh, sehingga ia sedikit telat hari ini. Ia segera menuju kantornya dengan cepat. Ingin segera menemui Nabila. Saat ia sudah di depan pintu kantor, ia melihat ruangannya kosong. Mustahil jika Nabila juga belum datang. Ia memasuki kantornya dan hanya melihat ada tas Nabila di kursi tempat Nabila duduk mengerjakan pekerjaannya. Rangga berjalan mendekati meja Nabila. Komputernya dalam keadaan tidur. Saat ia menggerakkan mouse-nya, layarnya menyala. Rangga membukanya dan terlihat garapan data Nabila yang belum selesai. Mungkin, saat ini Nabila ke proses produksi untuk mencari data pelengkapnya. Rangga lalu berjalan menuju mejanya. Saat ia sudah sampai di mejanya, ia sudah mendapat laporan yang baru untuk hari ini. Rangga duduk di kursinya dan memeriksa laporan Nabila. Rangga menggelengkan kepalanya pelan. Nabila ini, benar-benar perempuan yang cekatan sekali. Pikir Rangga. Ia memeriksa laporan Nabila. Semakin hari, perhitungan datanya semakin baik. Mungkin Nabila sudah mengkoordinir para pencatat data di proses produksi agar mereka lebih teliti lagi. Tanpa perlu menunggu perintahnya, Nabila sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Rangga terkesan dengan Nabila. Rangga tersenyum karena merasa sangat terbantu oleh Nabila. Ia lalu mencoba menghubungi Nabila. Tapi, Nabila masih tidak mengangkatnya sama sekali. Rangga kembali ingin menghubunginya. Namun, hasilnya masih sama. Bahkan, tiga kali Rangga menelponnya, Nabila masih saja tidak mengangkat panggilannya. Rangga jadi cemas dan curiga. Jangan-jangan, Nabila sedang menjauhinya saat ini. Tapi kenapa? Pikiran Rangga merancu kemana-mana. Saat ia sedang berpikir macam-macam, ada seseorang masuk ke kantornya. Dengan cepat Rangga menoleh ke arah pintu masuknya. Ia berharap Nabila masuk, tapi ternyata Tyas yang berada disana. "Hai Rangga. Aku membawakan kopi hangat untukmu," kata Tyas sangat girang. Tentu saja, makan malam tadi malam adalah momen-momen bahagia bagi Tyas. Di mana dua keluarga menjadi lebih dekat. Apalagi ayah Tyas juga menyukai pribadi Rangga. Tyas selalu menceritakan pada ayahnya tentang kedekatan Rangga dengannya. Sehingga secara tidak langsung Tyas mendorong ayahnya untuk menjodohkan dirinya dengan Rangga. Ayah Tyas akan bahagia jika Tyas bahagia. Itu saja prinsipnya saat ini. "Terima kasih," kata Rangga menerima kopi dari Tyas dengan terpaksa. Tyas semakin berbunga-bunga. "Apa kamu akan mengadakan rapat lagi? Aku akan menemanimu." Nada Tyas masih dengan gembira. "Ya. Hari ini, rapat dengan beberapa direksi pemasaran untuk ekspor luar negeri," jelas Rangga. "Sebenarnya Tyas, kamu tidak perlu ikut rapat denganku. Lebih baik kamu konsentrasi pada pekerjaanmu sebagai supervisor." Rangga berusaha berbicara selembut mungkin agar Tyas terbawa perasaannya. "Baiklah jika itu maumu" ujar Tyas dengan menaikkan kedua bahunya. "Oh iya Rangga, apa sepulang kerja nanti, kamu jadi bisa mengantarku ke toko buku, kan?" tanya Tyas dengan nada manja. "Aku ingin membeli sebuah buku. Aku butuh saranmu untuk membeli beberapa buku yang bagus," sambung Tyas lagi. Rangga nampak berpikir sejenak. "Entahlah Tyas, aku tidak bisa janji," kata Rangga. Rangga kemudian berdiri ingin menjauh dari Tyas. Namun Tyas merasa tidak terima. Tyas segera melingkarkan tangannya ke lengan Rangga. "Rangga," cegah Tyas. "Tolonglah..." ucap Tyas dengan memohon. Belum sempat Rangga menjawab, tiba-tiba Nabila masuk ke ruangan. Nabila terhenti sejenak melihat mereka berdua. Rangga yang menyadari ada Nabila masuk segera melepaskan lengannya dari Tyas. "Tyas, kamu kembalilah bekerja," pinta Rangga pada Tyas. Kembali, Tyas merasa kesal dengan sikap Rangga. "Ya sudah, kalau begitu. Aku akan menunggumu saat pulang kerja nanti," kata Tyas seolah memaksa. Kemudian ia berjalan keluar dari kantor Rangga. Tyas melewati Nabila dengan tidak menyapanya. Ia berjalan congkak dan melihat Nabila setengah tertunduk, lalu dengan sengaja mennyenggol pundak Nabila dengan keras. Nabila hanya terkejut dan pasrah walau merasa kesal. Rangga melihatnya. Ia merasa geram semakin mencemaskan Nabila. Saat Tyas sudah pergi, Nabila masuk dengan menyapa ramah Rangga. "Kamu kapan datang?" sapa Nabila dengan tersenyum. Rangga tidak menjawabnya dan melihat keanehan saat Nabila seperti itu. Nabila terkesan ia sedang sedih, namun ia mencoba untuk tersenyum. Rangga masih melihat Nabila seperti itu. "Nabila, apa kamu baik-baik saja?" tanya Rangga. "Apa aku terlihat buruk hari ini?" jawab Nabila terlihat santai. Ia tersenyum lalu berjalan ke arah mejanya dan menyalakan komputernya. "Apa kamu sudah memeriksa laporanku?" tanya Nabila masih dengan nada seolah sedang baik-baik saja. Rangga memperhatikannya justru dengan tatapan aneh. Ia tidak menjawab pertanyaan Nabila. Kemudian, ia mendekat ke arah meja Nabila. "Nabila, kenapa kamu tidak mengangkat teleponku?" tanya Rangga. “Kemarin, dan juga tadi pagi?" lanjut Rangga bertanya pada Nabila. "Oh... kemarin aku sedang menjemput Vano, lalu aku kelelahan dan tertidur. Tadi pagi aku masih sibuk mengurus pencatat data di produksi," jelas Nabila singkat. "Apa ada hal yang penting?" tanya Nabila dengan wajah yang nampak biasa saja. Rangga lagi-lagi tidak menjawab Nabila. Hanya mengamatinya. Nabila yang melihat Rangga nampak tidak menanggapi dirinya, kembali fokus pada komputernya dengan ekspresinya yang biasa dan ia mencoba nampak tetap tersenyum di depan Rangga. "Nabila, apa kamu sedang menghindariku?" tanya Rangga masih dengan wajah serius. "Tidak," jawab Nabila dengan menaikkan kedua bahunya. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Rangga semakin serba tidak enak. Ia merasa hubungan mereka menjadi canggung. Rangga mencoba mengatakan sesuatu pada Nabila. "Nabila, Masalah di ruangan direktur kemarin siang...." "Rangga." Nabila tiba-tiba memotong kalimat Rangga. "Ini sedang jam kerja bukan? Bukannya, katamu tadi kamu sedang ada rapat?" tanya Nabila. "Aku akan rapat. Tapi, tolong jangan ambil hati dengan kalimat Tyas yang ia katakan padamu kemarin," kata Rangga. "Masalah Tyas, menjadi masalah pribadimu. Aku tidak peduli dan aku hanya akan fokus pada pekerjaanku," kata Nabila dengan ekspresi tegas. Rangga sudah bisa menyadari, pasti Nabila sedang tidak baik-baik saja. Pikirnya. Nabila berdiri dan nampak ingin kembali ke proses produksi untuk meneruskan pekerjaannya. "Aku, ke proses produksi lagi," pamit Nabila pada Rangga. Rangga sekali lagi ingin memanggilnya, tapi mulutnya serasa tertahan. Ia ingin menjelaskan sesuatu, tapi hubungan mereka hanya sekedar teman. Ia hanya dapat melihat Nabila pergi kembali menjauh darinya. Rangga merasa bingung dengan perasaannya. Hubungannya dengan Nabila yang tadinya nyaman dan seolah lebih dekat menjadi serba canggung dan kaku. Sekarang, ia harus bersikap seperti apa selanjutnya pada Nabila? Walaupun Nabila mencoba untuk mencairkannya, tapi Rangga masih merasa tidak nyaman. Jika saja Nabila tahu keadaan yang sesungguhnya antara Rangga dengan keluarga Tyas? Tapi, untuk apa ia harus menceritakannya pada Nabila? Namun, jika Nabila tidak tahu, Nabila akan terus menjauhinya dan hubungan mereka akan terus canggung seperti ini. Rangga menghela nafasnya dengan berat. Sebenarnya ini hanya masalah perasaan, tapi ia tidak pernah sebimbang ini sebelumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN