Thingking of Nabila

1039 Kata
Rangga keluar dari ruangan rapat. Tentu saja, Rangga melakukan rapat dengan para supervisor atas konsep yang baru saja ia sarankan ke pak direktur. Ia terlihat cepat-cepat saat keluar tadi. Tyas yang juga ada di dalam rapat, ingin menyusulnya namun Rangga nampaknya sudah tidak terlihat lagi. Ia sudah pergi menjauh dari tempatnya. Karena terlalu lama rapat berjalan, Rangga jadi terlambat kembali ke kantornya. Ia melihat jam tangannya. Sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Ia khawatir, jangan-jangan Nabila sudah pulang? Rangga buru-buru menuju kantornya agar bisa bertemu Nabila. Namun sayang, saat ia sudah sampai di kantor, tentu saja Nabila sudah tidak ada di sana. Rangga menghela nafasnya. Ia memejamkan matanya dengan merasa menyesal. Rangga kemudian berjalan menuju mejanya dengan lemas. Ia melihat hanya ada kertas laporan yang dikerjakan Nabila hari ini. Nabila tidak menunggunya. Juga tidak mengatakan apa-apa. Apa yang dipikirkan Nabila tentangnya? Rangga segera menghubungi Nabila melalui ponselnya. Satu kali panggilan nada sambung terdengar, tapi Nabila tidak mengangkatnya. Rangga menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia tidak menyerah. Mulai lagi menghubungi Nabila. Tapi, sampai beberapa kali panggilan dilakukan, Nabila tetap tidak mengangkat ponselnya. Apa mungkin Nabila masih dalam perjalanan? Tapi, Rangga sendiri tidak tahu kapan Nabila pulang? Rangga ingin kembali menghubungi Nabila. "Rangga?" Tiba-tiba terdengar suara Tyas dari balik pintu Rangga. Rangga mengangkat kepalanya melihat ke arah Tyas. Saat melihat Tyas sudah masuk ke dalam kantornya, ia mengurungkan niatnya untuk menghubungi Nabila. Rangga meletakkan ponselnya kembali di meja kerjanya. Ia juga segera merapikan kertas-kertas hasil kerjaan Nabila di mejanya itu. Tyas berjalan mendekat ke arahnya. "Kenapa kamu pergi begitu saja tadi? Apa kamu mau meninggalkanku lagi?" tanya Tyas pada Rangga yang sudah berdiri di depan Rangga. "Maaf, aku tadi sedikit buru-buru karena harus memberikan laporan pada papamu," jawab Rangga. Tyas nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jangan lupa. Kalau nanti kamu akan pergi makan malam di rumahku. Aku sudah memberitahu semua asisten di rumahku, jika akan ada tamu. Jadi, pastikan kalau kamu nanti benar-benar datang," pinta Tyas. "Ya. Aku akan datang," kata Rangga dengan tersenyum terpaksa. "Oh iya. Besok, apa kamu bisa mengantarku ke toko buku? Besok ada buku yang harus aku beli. Kita bisa memilihnya bersama," ujar Tyas lagi. Rangga terdiam tidak segera menjawab. Ia merasa kikuk. Tyas masih menunggunya. "Rangga! Aku berbicara padamu!" panggil Tyas karena melihat Rangga yang setengah melamun. "Ya, kita lihat saja besok," kata Rangga yang sebenarnya tidak memberi kepastian janjinya pada Tyas. "Baiklah kalau begitu. Aku besok akan menagihnya. Jangan lupa ya," ujar Tyas lagi yang setengah memaksa. Tyas lalu berbalik dari Rangga. Kemudian, ia melangkah menjauh dari Rangga. Saat Tyas pergi, Rangga kembali merasa resah. Ia segera kembali ingin menghubungi Nabila. Saat Rangga sudah menempelkan kembali ponsel ke telinganya ia mengernyitkan wajahnya. Kali ini, justru tidak ada nada sambung. Mendadak, ponsel Nabila menjadi tidak aktif. Rangga bingung. Ia lalu menjauhkan kembali ponselnya. Memandangi ponselnya dengan masih mengkerutkan keningnya. Ada apa dengan Nabila kali ini? Rangga menjadi gelisah sekali. Ia ingin pergi ke kos Nabila malam ini, tapi ia sudah terlanjur berjanji pada Tyas dan pak direktur. Ia merasa bersalah pada Nabila. Semoga saja Nabila tidak berpikir buruk tentangnya. *** Rangga sampai di depan rumah ibunya. Saat perjalanan menuju rumahnya tadi, Rangga masih terbayang wajah Nabila yang merasa tidak dihargai di depan direktur. Benar-benar sangat mengganggunya. Rangga tidak pulang ke apartemennya. Karena ia harus mengejar waktu untuk makan malam di rumah Tyas. Ia sudah menghubungi Chris untuk tidak pulang malam ini. Ada urusan mendesak. Begitulah pesan yang dituliskan Rangga pada Chris. Rangga yang baru saja memarkir mobilnya, segera mematikan mesinnya. Kemudian, ia turun dari mobilnya. Ia berjalan sampai ada di depan rumahnya. Rangga berjalan lagi melewati teras, sampai berada di depan pintu rumahnya. Rangga masuk rumah dan mendapati seorang wanita setengah baya dengan dress warna hitam. Wanita itu berambut panjang hitam terurai dengan memakai kacamata elegan. Wanita itu sedang duduk di kursi dan terlihat sedang merajut, di mana depannya ada televisi yang menyala. Dialah ibu Rangga. Walaupun usianya sudah mencapai kepala lima, namun dandanannya masih modis dan elegan. Mendengar ada seseorang masuk, ibunya segera berdiri dan menyambutnya. "Rangga? Tumben sekali kamu pulang di hari kerja? Kamu juga tidak menelfon ibu dulu?" tanya ibu Rangga yang setengah terkejut itu. Rangga tersenyum mendengarnya. Kemudian, ia berjalan mendekat ke arah ibunya. Rangga lalu duduk di dekat ibunya yang tengah merajut. "Iya Bu. Aku ada urusan. Apa ibu sudah makan?" tanya Rangga. "Belum," jawab ibunya. "Kebetulan. Hari ini, kita diundang pak Bagas untuk makan malam di rumahnya," kata Rangga segera. Ibunya mengkerutkan alisnya tanda bingung. "Pak Bagas? Memangnya ada acara apa?" tanya ibunya. "Tidak ada. Hanya saja, mereka ingin mengundang kita ke sana," ujar Rangga. Ibunya mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Rangga sekali lagi tersenyum pada ibunya. Kemudian, ia berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Rangga tidak sadar, saat ia berjalan ia memberikan ekspresi lemas dan nampak tidak bersemangat. Ibunya yang memperhatikan Rangga, menyadari ada sesuatu yang aneh pada anak semata wayangnya. Ibunya lalu meletakkan rajutannya di meja yang ada di depannya. Kemudian, ia mengikuti Rangga ke dalam kamar. Ibunya memperhatikan Rangga sedang melinting tangan kemeja panjangnya dan melepaskan satu kancing atas di kemejanya. Ia kemudian duduk di ranjangnya. Pandangan Rangga seolah sedang menerawang ke depan. "Rangga?" sapa ibu Rangga. Rangga yang menyadari ibunya berada di kamarnya merasa terkejut. Rangga lalu berbalik melihat ke arah ibunya. Sejak kapan ibunya ikut masuk? "Ada apa, Bu?" tanya Rangga pada ibunya. "Kamu terlihat murung. Apa kamu ada masalah?" tanya ibunya. Rangga tersenyum sebentar. "Sebenarnya, malam ini aku ingin pergi ke suatu tempat, Bu. Tapi, aku sudah terlanjur berjanji pada Tyas dan pak Bagas." kata Rangga. "Benarkah? Memangnya, kamu mau pergi kemana?" Ibu Rangga terlihat khawatir. Rangga nampak terdiam setelah ibunya bertanya. Ia ragu bagaimana harus menjelaskannya pada ibunya. Ibunya, semakin merasa aneh melihat sikap anaknya itu. "Apa urusanmu itu lebih penting?" tanya ibu Rangga lagi. "Tidak bisa dibilang lebih penting, hanya saja itu mengganggu pikiranku. Dan ini bukan masalah pekerjaan, Bu," jelas Rangga dengan nada halus dan santun. Ibunya mendekati Rangga yang sudah terduduk di ranjangnya. Ia berdiri di depan Rangga. Kemudian, memegang pundak Rangga. "Kamu memilih keputusan yang tepat nak. Kamu baiknya lebih memilih menemui perjamuan pak Bagas. Karena kita sudah berhutang budi banyak padanya," kata ibunya mengingatkan Rangga pada sesuatu. Rangga awalnya diam. Namun, kemudian ia tersenyum yang dipaksakan. Tanda bahwa memang membenarkan ungkapan ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN