Weird Feeling

1215 Kata
Rangga membukakan kunci pintu kos Nabila. Nabila tidak bisa membukanya sendiri karena ia sedang menggendong Vano yang tertidur. Vano tertidur pulas saat mereka melakukan perjalanan pulang. Setelah membuka pintu kos Nabila, Rangga menunggu di luar. Nabila langsung masuk ke dalam kos-nya. Ia segera berjalan ke dalam kamar dan menidurkan Vano di dalam kamarnya. Setelah Nabila menyelimuti Vano yang sudah tidur, ia menemui Rangga yang duduk di serambi depan kosnya. Rangga masih duduk di kursi di teras depan kosnya. Mereka melakukan saling tatap sejenak dengan rasa canggung. "Apa, kamu mau kubuatkan teh?" tawar Nabila pada Rangga. Berusaha menghilangkan suasana canggung di antara mereka. Rangga melihat ke arah Nabila. "Boleh juga," jawab Rangga dengan senyum dan menganggukkan kepalanya satu kali. "Kalau begitu, aku akan membuatkannya untukmu sekarang," kata Nabila lagi. Nabila kemudian, kembali masuk ke dalam kosnya. Rangga hanya kembali tersenyum mendengarnya. Beberapa menit, Nabila keluar dengan membawa secangkir teh. Ia meletakkannya di meja kecil di samping tempat duduk Rangga. "Terima kasih," kata Rangga. Nabila hanya tersenyum menanggapi Rangga. Rangga mengambil cangkir itu dan segera menyeduhnya. Saat Rangga menyeduh tehnya, Nabila memperhatikannya sejenak dengan tatapan haru. Rangga yang selesai meminum teh, merasa aneh saat sadar Nabila sedang memandanginya. "Ada apa?" tanya Rangga dengan sedikit melebarkan kedua matanya. "Tehnya enak kok," lanjutnya kembali dengan membawa ke arah depan wajahnya menunjukkannya pada Nabila. Nabila tersenyum melihat sikap Rangga itu. "Terima kasih untuk hari ini," ungkap Nabila tulus. Rangga terdiam mengernyit dan menunggu Nabila yang sepertinya akan mengatakan sesuatu lagi padanya. "Aku benar-benar sangat berterima kasih untuk Vano," lanjut Nabila merasa sangat terharu. Rangga tersenyum dan meletakkan gelas tehnya. "Tidak perlu berterima kasih. Aku sendiri juga senang bisa mengajak Vano. Dan sepertinya, aku ingin bisa menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengannya," ujar Rangga lagi. Nabila kembali tersenyum mendengarnya. Ia lalu menoleh ke arah Rangga, mengalihkan pandangannya ke arah depan. Ia kemudian setengah melamun dan menerawang. "Vano, tidak pernah mendapat kasih sayang dari ayahnya, sejak bayi. Saat Vano lahir, aku masih saja berharap jika ayahnya mau sekedar menanyakan kabar tentang Vano. Meskipun ia telah menceraikanku secara sepihak." Nabila mulai bercerita. Rangga mendengarkannya dengan sepenuh hati. "Makannya, sampai saat ini aku sama sekali tidak mengganti nomor ponselku, berjaga-jaga jika saja ia mau menghubungiku lagi. Paling tidak, dia mau melihat bagaimana wajah anaknya," lanjut Nabila lagi. "Lalu apa hasilnya? Apa dia pernah menghubungimu?" tanya Rangga penasaran. Nabila menggelengkan kepalanya pelan dengan menundukkan pandangannya. Pandangannya terlihat sedih. Rangga bisa mengerti. "Menurutku, kamu tidak perlu mengharapkan orang seperti itu lagi?" ujar Rangga lagi. "Justru sebenarnya, kamu merasa bersyukur sudah berpisah dengannya," tambah Rangga. "Aku tahu," kata Nabila. "Sebenarnya, aku sudah berusaha keras untuk tidak mengharapkannya kembali. Aku rasa, aku sudah baik-baik saja tanpanya, tapi Vano?" ujar Nabila dengan nada tanya. "Vano akan tumbuh besar nantinya. Dia akan menyadari sesuatu yang berbeda dengan anak lain yang memiliki seorang ayah," jelas Nabila. "Karena bagi anak laki-laki, sosok ayah adalah pahlawan pertama di hidupnya, dan...," Mata Nabila mulai berkaca-kaca. Nabila terhenti sejenak. Suaranya bergetar menahan isak kesedihannya. Rangga masih memperhatikannya dengan mendengar kisahnya. "Vano tidak bisa merasakan itu semua," lanjut Nabila lagi. Air matanya menetes juga. Nabila segera menghapusnya cepat. Kemudian, ia menundukkan pandangannya kembali. Rangga menatap Nabila dan berempati padanya. Ada sesuatu yang menyayat hati Rangga melihat Nabila dalam kesedihan seperti itu. Rangga juga ikut merasakan apa yang dirasakan Nabila. Rangga ingin berbicara sesuatu pada Nabila. Rangga lalu mengalihkan pandangannya dari Nabila. Kemudian, ia juga menatap ke arah depan melihat pemandangan gelap yang asri di depan kos Nabila itu. "Ayahku meninggalkan ibuku ketika aku masih berusia delapan tahun," kata Rangga kemudian. Mendengarnya, tentu saja Nabila merasa terkejut. Nabila segera menoleh ke arah Rangga dengan tatapan bingungnya. Benarkah Rangga sedang tidak salah bicara kali ini? Atau dirinya yang tidak salah dengar? Nabila hanya mengerjap. Masih belum bisa merespon kalimat Rangga baru saja. Menunggu Rangga untuk menyelesaikan kalimatnya. "Jadi, aku juga seorang anak yatim dulu," lanjut Rangga. Rangga menoleh ke arah Nabila lagi, dan memberikan penekanan pada kalimatnya. Ternyata benar, Rangga juga seorang yatim. Pikir Nabila. Rangga kembali menghadap ke depan. "Berbeda dengan Vano, saat itu aku sudah tahu siapa ayahku, dan sudah tahu apa arti ayah sebenarnya." Rangga mulai bercerita. "Ayahku, adalah seorang ayah yang sangat baik. Dia selalu mengajariku bermain sepeda, memainkan layangan, dan banyak hal," lanjut Rangga lagi. "Waktu usiaku menginjak enam tahun, ayahku pergi merantau mencari penghidupan yang lebih layak. Beliau mengabari akan kembali lagi setelah dua tahun. Selama itu, aku selalu menunggu kabar dari ayahku setiap hari." "Lalu, ayahmu pulang kan?" tanya Nabila. "Ya. Saat usiaku sudah delapan tahun, aku mendengar kalau ayah akan pulang. Aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Aku berencana akan membagi kesenangan dan prestasi yang kudapat selama ini di sekolah. Tapi ternyata, semua diuar dugaanku. Setelah pulang dari merantau, ayahku menjadi orang yang sangat berbeda." "Sangat berbeda bagaimana maksudnya?" "Ayahku sangat kasar padaku dan ibu, seperti memukul atau menendang." Rangga tertunduk sebentar untuk mengambil nafas. Nabila masih memperhatikannya. Rangga lalu meneruskan kembali ceritanya. Kepalanya kembali tegak. "Pernah suatu ketika, aku pulang sekolah dan aku sedang melihat ibu menangis sendirian di kamar. Saat aku menghampirinya, aku melihat banyak lebam-lebam di wajah dan tubuh ibuku. Lama kelamaan, aku baru tahu jika ternyata alasan ayahku pulang hanya untuk menceraikan ibuku dan meminta sebagian harta yang selama ini diberikan." Nabila semakin fokus mendengarkan Rangga bercerita. Ia penasaran, apa yang terjadi pada Rangga selanjutnya saat itu. Namun Nabila hanya diam mendengarkannya saja. "Ayahku meninggalkan ibuku dengan alasan menemukan wanita lain. Ia tidak bisa mempertahankan dua-duanya dan memilih wanita baru di hidupnya." Nabila tampak terhenyak mendengarnya. Rangga kembali terhenti sejenak mengingat masa berat di hidupnya. Ia merasa masa lalu kelamnya kembali terkuak. "Aku yang mau tidak mau harus menerima keadaan pahit saat itu, awalnya bingung harus berbuat apa untuk ibuku. Aku hanya berusaha menjadi yang terbaik saat sekolah. Karena ekonomi ibu sangat sulit, aku berusaha terus mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan hidup ibuku." Rangga kembali menundukkan kepalanya. Nabila mengamatinya. Ia bisa melihat jika Rangga sedang tersenyum getir. Nabila merasa ingin menghiburnya. "Kamu sudah membuktikannya sekarang," ujar Nabila yang tak sengaja memotong cerita Rangga. Rangga menoleh ke arah Nabila. "Kamu seorang manajer muda yang sangat berprestasi. Siapapun tidak akan menyangka jika masa kecil seorang Rangga ternyata dijalani dengan begitu berat," lanjut Nabila yang sebenarnya juga sudah menyadari suatu kenyataan. Rangga membalas tatapan Nabila. "Maka dari itu Nabila, dengan atau tanpa ayah, seorang anak laki-tetap bisa menjadi anak yang hebat," ujar Rangga pada Nabila. Nabila, awalnya sedikit mengernyitkan wajahnya, tidak paham dengan apa maksud Rangga. "Kamu tidak perlu khawatir tentang Vano. Aku yakin, memiliki ibu sepertimu, Vano pasti akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan baik. Karena selama ini kamu sudah mencerminkannya," tutur Rangga. Nabila tertegun mendengarnya. Ia baru sadar, jika dari tadi Rangga bercerita, itu karena ia hanya ingin mencoba menguatkan Nabila kembali. Rangga masih menatap Nabila. Sedangkan Nabila hanya mengerjap pelan. Namun sedetik kemudian, ia bisa juga tersenyum. "Benar juga," kata Nabila setuju. Nabila menundukkan pandangannya. Ia tersenyum terharu dengan kalimat Rangga. Rangga juga ikut tersenyum melihat Nabila yang sepertinya sudah kembali membaik. Rangga merasa, ia sudah berhasil mengembalikan semangat Nabila lagi. Sehingga, mereka bisa dalam suasana santai. Rangga kemudian kembali menyeduh tehnya. Diam-diam, Nabila memperhatikan Rangga yang sedang menyeduh tehnya. Ada sesuatu yang berputar-putar di kepala Nabila yang tidak ia mengerti saat ini. Perasaanya menjadi hangat. Ia merasakan sesuatu aneh yang tak bisa dijelaskan di hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN