Bab 6

1658 Kata
Arum turun dari kereta api yang berhenti di stasiun Lempuyangan, salah satu stasiun kereta yang ada di Jogja. Hari ini Arum mengambil ijin cuti selama tiga hari kepada Dewi untuk kembali ke Jogja demi merayakan hari ulang tahun anaknya Leo sekaligus menghadiri acara jumpa fans dengan para penggemar n****+-n****+ karyanya. Sebenarnya Arum bukanlah penulis n****+ yang begitu terkenal. Ia hanya memiliki beberapa ribu pengikut di platform MWnovel, namun ia juga memiliki group WA yang berisi beberapa pembaca setianya dari pertama kali ia mulai menulis n****+. Beberapa pembacanya itu kebetulan tinggal di jogja dan sekitaran jawa tengah, sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan meet up di salah satu café di Jogja. Arum berjalan keluar menuju area pintu keluar stasiun bersama para penumpang lainnya. Ia melirik jam di pergelangan tangannya yang ternyata menunjukkan pukul satu siang. Arum memutuskan untuk memesan taxi online saja untuk berangkat dari stasiun ke rumahnya, “Ibu,” panggil seorang bocah yang berlari ke arah Arum. Panggilan seorang bocah membuat Arum segera melihat ke arah sumber suara itu. Ia tersenyum ceria sambil merentangkan tangannya untuk memeluk bocah laki-laki yang begitu sangat ia rindukan selama beberapa bulan ini. “Ya ampun makin ganteng aja anak Ibu,” puji Arum sambil memeluk erat dan mengecup penuh sayang puncak kepala bocah berusia lima tahun dalam pelukannya ini. Ditengah Arum dan anaknya berpelukan, muncul seorang wanita tua yang berjalan dengan langkah pelan ke arah mereka. “Nenek,” panggil Arum melihat neneknya yang ternyata dating bersama anaknya Leo untuk menjemputnya. “Ngapain sih repot-repot datang ke stasiun buat jemput Arum? Kaya Arum nggak tahu aja jalan pulang ke rumah,” ucap Arum sambil menyalim tangan neneknya itu. “Nggak apa-apa nak. Kebetulan Nenek sama Leo lagi jalan-jalan bentar, jadi sekalian aja nyempetin buat jemput kamu,” ucap Neneknya sambil menggenggam tangan Arum dan mengusapnya lembut. Arum tersenyum senang kemudian menatap layar ponselnya begitu ada getaran dari benda pipih tersebut. “Wah, taxi online pesanan aku kayanya udah dateng nih. Kita jalan agak jauh ke dekat flyover yuk,” ujar Arum begitu melihat notifikasi di ponselnya. Ia segera meraih tas koper kecil yang ia bawa, lalu sambil menggandeng Leo anaknya, mereka bertiga berjalan bersama kelar dari area stasiun lempuyangan menuju jalan di bawah flyover untuk naik taxi online pesanan Arum. Perjalanan mereka untuk tiba di rumah memerlukan waktu tiga puluh menit dari stasiun lempuyangan menuju daerah Bantul. Rumah mereka berada di perkampungan dalam kota di daerah bantul yang cukup rapi dan tertata dengan baik. Mobil taxi online yang mereka tumpangi berhenti tepat di sebah rumah sederhana berwarna biru yang memiliki halaman kecil dan cukup berdempetan dengan rumah tetangga lainnya. Setelah Arum membayar ongkos Taxi dan mengucapkan terimakasih pada sopir yang mengantar mereka, barulah ia bersama Neneknya dan Leo keluar dari mobil. Tidak lupa Arum mengambil koper kecil miliknya yang diletakkan di bagasi belakang mobil. “Wah Arum lagi libur ya makanya pulang,” sapa beberapa tetangga yang sedang duduk mengobrol. Sambil menenteng kopernya ke dalam rumah, Arum tersenyum ramah pada para tetangganya. “Iya Bu, kebetulan lagi ada urusan juga makanya pulang,” jawab Arum. Setelah menjawab sapaan tersebut, Arum melanjutkan perjalanannya memasuki rumah sederhana mereka tersebut, menyusul Leo dan Neneknya yang sudah masuk duluan ke dalam rumah. Sampai di dalam rumah Nenek Arum berjalan kea rah dapur untuk menyiapkan makan siang bagi mereka, sedangkan Arum berjalan menuju sofa kecil di tengah rumah mereka dan duduk di sana. Ia mengistirahatkan kakinya yang terasa begitu pegal karena perjalanan dari Jakarta ke Jogja selama tujuh jam lebih. Seorang wanita paru baya berjalan keluar dari salah satu kamar yang ada di rumah mereka menuju ke arah Sofa tempat Arum duduk sambil bercanda bersama anaknya Leo. “Udah dateng kamu. Ibu uang dong,” ucap wanita paru baya yang tidak lain adalah Risa Ibu Arum. Mendengar perkataan wanita yang telah melahirkannya ini membuat Arum memutar bola matanya malas. Ia menatap kesal pada wanita paru baya yang hanya tahu meminta uang padanya saja selama ini. “Arum lagi nggak ada uang Bu. Kan tiga hari yang lalu Arum udah ngasih Ibu uang kan, kemana semuanya?” Tanya Arum dengan nada datar, “Orang kamu Cuma ngasih sedikit doang, ya udah habis dong,” jawab Risa dengan nada kesal pada anaknya itu. Arum menatap tidak percaya mendengar perkataan Ibunya tersebut. “Bu, emang Ibu kira gaji aku berapa Bu? Uang segitu langsung habis dalam sekejap, emang Ibu pikir gampang nyari duit,” ucapnya kesalnya Risa tersenyum meremehkan mendengar keluhan dari anaknya itu. “Siapa suruh mau jadi sok suci dan nyari kerjaan halal kaya sekarang. Padahal Ibu kan udah nawarin ke kamu buat nargetin keluarga kaya lainnya, tapi kamu setelah trauma sama keluarga Mawardi langsung sok mau jadi anak baik. Nyia-nyiain kecantikan kamu aja dasar,” ejek Ibunya tersebut. Arum menahan kesal mendengar perkataan Ibunya tersebut. Ia kemudian menatap ke arah Leo putranya. “Sayang, kamu tolong ambil air minum untuk Ibu ya di dapur. Di sana ada eyang,” pinta Arum. Leo segera mengangguk begitu mendengar perintah Ibunya tersebut. Ia kemudian berjalan perlahan dengan kaki kecilnya menuju dapur untuk mengambil minum bagi Arum Setelah kepergian putranya itu, Arum kembali menatap ke arah wanita paru baya yang melahirkan dirinya ini. “Berhenti mengatakan hal itu lagi Bu. Sampai sekarang bahkan keluarga Mawardi masih membenci aku karena kita yang menipu mereka. Aku udah nggak mau dibenci oleh orang dan melakukan hal-hal licik hanya demi mendapatkan uang,” ucap Arum. “Karena kamu yang sok baik ini makanya kita jadi miskin kaya sekarang. Makan juga seadanya doing,” keluh Risa Ibunya. “Kita nggak miskin sama sekali Bu. Kita hidup berkecukupan dan sederhana Bu, bukan miskin. Aku lebih tenang hidup seperti ini, dibandingkan hidup bergelimangan harta tapi dihantui rasa takut jika ketahuan menipu. Kalau Ibu ngerasa nggak suka hidup sederhana seperti pilihan aku dan Nenek, Ibu bisa pergi mencari keluarga kaya untuk dibohongi sendiri.” Perkataan Arum tentu saja membuat Ibunya terdiam tidak mampu membalas. Ia hanya mendengus kesal lalu berjalan keluar dari rumah mereka. Arum yakin Ibunya itu saat ini sedang pergi berkeliaran di perkampungan untuk mendengarkan gosip-gosip terbaru. “Ibu kamu udah keluar lagi Nak?” Tanya Neneknya yang berjalan keluar dari arah dapur bersama Leo yang membawa gelas berisi air putih untuk Arum. “Makasih sayang,” ucap Arum menerima gelas dari putranya sambil tersenyum lembut. Arum memberikan anggukan pada neneknya sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi sambil meminum air putih yang ada di tangannya saat ini. “Ibu kamu itu masih aja nggak berubah,” gumam Neneknya dengan nada sedih. Arum mengusap lembut bahu neneknya memberikan ketenangan pada wanita lansia yang begitu ia sayangi ini. “Udahlah nek. Sifat Ibu kan emang kaya gitu. Nggak usah terlalu dipikirin,” nasehat Arum. Neneknya mengangguk paham sambil tersenyum pada Arum. “Ya udah ayo ke ruang makan kita makan siang bareng Nak. Nenek masakin kamu telur Balado sama tumis kangkung.” Mendengar hal itu tentu saja membuat raut wajah Arum berubah senang. Ia segera mengangguk dengan semangat karena sudah sangat merindukan masakan Neneknya. Arum segera menggandeng tangan Leo anaknya dan berjalan bersama menuju ruang makan untuk menikmati masakan yang sudah sangat ia rindukan. **** Kegiatan makan siang mereka sudah selesai sekitar dua puluh menit yang lalu. Saat ini Leo sedang nyenyak tertidur di ranjang kamar Arum setelah kekenyangan makan siang tadi. Arum sendiri sibuk merapikan pakaian-pakaian yang ada di dalam kopernya sambil memilih pakaian yang akan ia kenakan di acara Meet Up bersama para pembacanya. Setelah selesai memilih pakaian yang akan ia kenakan, Arum segera menggantung pakaian itu menggunakan hanger untuk nanti ia setrika. Merasa sudah tidak ada hal yang perlu dilakukan Arum berjalan dengan langkah pelan menuju ranjang untuk ikut beristirahat bersama anaknya yang sudah duluan mengunjungi alam mimpi. Arum menatap wajah Leo putranya yang begitu ia sayangi. Ia mengingat kejadian lima tahun yang lalu, dimana keluarga Mawardi akhirnya mengetahui bahwa ia dan Ibunya sudah menipu mereka dengan cara Arum mengaku sebagai anak dari Om nya sendiri yaitu Om Seno hanya agar bisa menikahi putra sulung keluarga Mawardi yaitu Bagas. Kejadian bermula saat Arum pergi bertamasya bersama Om Seno dan istri serta anaknya yang merupakan sepupunya juga. Mereka bertiga mengalami kecelakaan yang menyebabkan satu keluarga tersebut tewas dan menyisakan Arum yang selamat. Ketika Kakek Hendrik Mawardi mencari anak dari Om Seno, Arum dan Ibunya membohongi Kakek Mawardi dengan mengakui Arum sebagai anak Om Seno. Saat itu ia menyadari bahwa usianya yang masih muda membuatnya gampang terpengaruh oleh ajaran dan tingkah licik dari Ibunya. Arum rela menjadi pembohong dan melakukan berbagai hal licik dan tipu muslihat untuk hidup enak dan bergelimangan harta. Jika mengingat lagi sifatnya dahulu, Arum benar-benar sangat menyesalinya. Ia mengadu domba keluarga Mawardi, bahkan membuat Kakek Hendrik membenci keluarganya sendiri ketika ia masih menjadi istri Bagas. Jika mengingat semua hal itu rasanya sangat banyak dosa yang Arum perbuat pada keluarga mantan suaminya dan membuatnya menyadari bahwa ia memang tidak bisa dimaafkan oleh mereka. Setelah keluarga Mawardi mengetahui semua sifat busuk Arum dan dirinya bercerai dengan Bagas barulah Arum mendapati bahwa dirinya sedang mengandung. Mendengar hal itu Ibunya tentu menjadi sangat bahagia dan berencana kembali ke keluarga Mawardi dan menggunakan anak yang ada di dalam kandungan Arum untuk mendapatkan uang dari keluarga Mawardi. Namun, saat itu mendengar nasehat dari Neneknya membuat Arum sadar akan kesalahannya. Ia sudah melakukan hal yang tidak baik selama ini hanya demi mendapatkan uang dan kemewahan dari keluarga Mawardi. Arum memutuskan untuk menolak hasutan Ibunya dan memilih tidak lagi berhubungan dengan keluarga Mawardi. Ia ingin menjadi mandiri dan berjuang sendiri untuk membiayai hidupnya serta anaknya. Arum mengangkat tangannya membelai lembut kepala Leo anaknya yang masih tertidur lelap. Ia tersenyum sambil menatap penuh sayang pada harta yang paling berharga dalam hidupnya ini yaitu Leo. Sekarang Arum hanya ingin hidup bahagia bersama Leo walau harus dalam kesederhanaan. Ia merasa selama lima tahun ini, walau tidak hidup mewah dan banyak uang, tapi Arum merasa hidupnya begitu nyaman karena tidak ada tekanan sama sekali. Selama bisa hidup tenang bersama Leo anaknya, Arum sudah merasa cukup bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN