Pengakuan Amaya

1093 Kata
Keesokan paginya, Syifa kembali mencegat Amaya di pintu gerbang sekolah. Gadis itu berdiri di sana seperti security yang hendak melakukan razia. Meski tempo hari dia telah melakukan hal ini dengan sia-sia, namun kali ini dia tetap melakukannya lagi dengan alasan yang sama. Kali ini, Syifa sengaja berangkat jauh lebih pagi dari pada biasanya, sehingga tak mungkin Amaya dapat menghindar. Ketika Syifa datang beberapa menit yang lalu, satpam sekolah bahkan belum membuka kunci gerbang, yang artinya dialah orang pertama selain satpam yang tiba di tempat ini. Amaya tak mungkin sudah masuk ke dalam. Pemikiran ini membuat Syifa terjaga dengan was-was. Tatapannya tajam terarah ke jalan menuju sekolah, menantikan sosok yang dikenalnya datang. Syifa bertekad bahwa kali ini dia tidak akan membiarkan Amaya lolos begitu saja dari interogasinya. Dia harus menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di hati dan mendapatkan jawaban yang jelas. Jika tidak, maka Syifa tak akan pernah bisa merasa puas. Ketenangan hidupnya akan terus terusik oleh kenyataan ini. Syifa melirik ke jam tangannya yang mungil, baru pukul enam lewat sedikit. Mestinya Amaya sudah berangkat sekolah. Entah dia sudah keluar rumah atau masih baru akan pergi, pokoknya Syifa akan terus duduk di dekat gerbang sambil mengawasi. Penantian panjang Syifa akhirnya berbuah manis. Dari kejauhan dia dapat melihat sosok Amaya berjalan mendekat. Dia lekas berdiri dan mencegat Amaya tepat ketka gadis itu memasuki gerbang. Raut wajahnya yang kaget tak dapat disembunyikan. Dia menatap Syifa dengan ekspresi terkejut yang murni. “Amaya, kita harus bicara lagi.” Tetapi bukan Amaya namanya jika tidak mampu mengendalikan emosinya sedemikian rupa. Dalam waktu sedetik saja dia sudah dapat mengembalikan ekspresi datarnya yang biasa. “Mau apa?” sahutnya sedingin es. “Melanjutkan pembicaraan kita tempo hari,” kata Syifa. “Aku sibuk,” kilah Amaya berusaha berkelit. Syifa lantas berdiri di hadapan gadis itu ketika dia berusaha melepaskan diri. “Kamu tak bisa memghindari dari aku selamanya, May! Kalau kamu tidak mau bicara denganku hari ini, maka aku akan mencoba lagi besok. Dan jika besok aku gagal lagi, masih ada besoknya lagi. Aku tak akan menyerah.” Ucapan yang penuh tekad itu membuat Amaya berhenti. Dia menatap wajah Syifa dengan jengkel. Seolah dia telah membuat mood Amaya menjadi jelek. “Usaha yang bagus,” komentarnya ringan dan bernada tak peduli. “Silakan saja mencoba terus.” “Amaya!” Syifa memegang lengan Amaya dengan kuat, mencegahnya berjalan menjauh. Amaya balas menatap sorot mata Syifa dengan tajam. Kali ini moodnya benar-benar tak baik. Dengan gangguan semacam ini, bagaimana dia bisa mengabaikannya? “Apa lagi?” “Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kamu harus mau bicara denganku. Jelaskan apa yang masih menggantung. Kalau tidak, aku tidak akan melepaskanmu. Aku tidak akan membiarkau hidup dengan tenang,” ancam Syifa dengan menantang. Kedua gadis itu berdiri sama-sama melotot. Keduanya saling teguh dengan pendirian masing-masing. Terutama Syifa yang telah mengorbankan waktu setengah jamnya yang berharga untuk berangkat pagi, demi mencegat Amaya dan mendesaknya memberi penjelasan. “Baiklah,” ucap Amaya sembari menghela napas panjang. “Ayo kita bicara.” “Tapi tidak di sini. Kita pergi ke kelas saja,” ajak Syifa. Dia tak ingin pembicaraan mereka didengarkan maupun diganggu oleh orang lain. Amaya mengangguk. Maka mereka pun masuk ke dalam ruang kelas yang masih sepi. Bahkan hantupun masih belum menampakkan diri. Syifa menyeret kursinya sendiri berhadapan dengan kursi Amaya di kelas. Keduanya lantas duduk saling berhadapan. “Jadi, apa yang ingin kamu tahu?” “Tentang kejadian itu seluruhnya. Dan kali ini, aku ingin kamu menceritakan kejadian itu versi dirimu. Aku ingin tahu di mana posisimu waktu itu.” Amaya nampak enggan, tetapi dia tak punya pilihan lain lagi. Dia harus menuruti ucapan Syifa agar gadis itu tak mengganggunya lagi. “Dimulai dari mana?” gumam Amaya. Syifa mengangkat bahunya dengan cuek. “Dari mana saja yang kamu ingin. Aku akan duduk mendengarkan.” Maka Amaya pun mulai bercerita. “Hari itu aku pulang sekolah sendirian seperti biasa. Melewati jalanan yang sepi itu seorang diri. Sama seperti kamu.” “Tunggu dulu,” sela Syifa menginterupsi. “Di mana kamu berjalan? Kok aku tidak melihatmu waktu itu?” “Sayangnya kamu berjalan dengan setengah melamun. Langkahmu juga cepat dan tergesa-gesa seperti sedang dikejar setan!” Penjelasan itu membuat Syifa berdecak sebal. Jika diingat-ingat memang betul sih, dia berjalan dengan melamun waktu itu. “Oke, lanjutkan!” “Kemudian, tak lama ada seseorang yang berjalan di belakangmu, menguntit. Dia terus menggodamu. Dia membuat kamu ketakutan. Kamu mulai berjalan lebih cepat lagi, bahkan nyaris berlari. Kamu ingin mengecek apakah orang itu berniat jahat atau tidak. Lalu, kamu berhenti tiba-tiba.” Syifa menunggu jeda itu dengan sabar. Dia sendiri memutar kembali ingatannya akan hari itu. “Kamu pasti merasa lega ketika mengetahui bahwa orang itu terus berjalan dan tidak ikut berhenti. Kamu kira dia memang tidak sengaja saja berjalan di belakangmu. Lalu kamu berjalan lagi dengan lega. Kali ini, kamu berjalan lebih santai dengan pikiran yang sepenuhnya terjaga. Kamu awas.” Syifa mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Meski sebenarnya dia tak paham bagaimana Amaya dapat membaca pemikirannya begitu rupa. Apakah gelagatnya begitu jelas terbaca? “Ketika pria itu kembali muncul, kamu kaget setengah mati. Aku bisa melihat dari kejauhan bahwa dia menyergapmu. Kamu meronta-ronta meminta tolong. Jadi, aku datang dan menolongmu. Selesai.” Syifa membuka mulutnya menganga mendengar akhir dari penjelasan itu. Dia tak menyangka Amaya mengakhiri ceritanya begitu saja. “Teruskan, May.” “Apa kau tidak dengar apa yang kukatakan tadi? Selesai. Ceritanya sudah berakhir. Kamu sudah tahu sendiri bagaimana akhirnya.” Syifa menggeleng menolak. “Tidak, lanjutkan ceritamu. Aku ingin mendengar kelanjutannya.” “Apa yang ingin kau dengar dariku?” “Tentang sosok si penolong itu. Tentang apa yang kamu lakukan. Aku masih tidak mengerti.” “Aku datang dan menolongmu. Ingat? Kamu akhirnya terlepas dari cengkeraman pria itu dan berlari sembunyi di balik pilar bangunan terbengkalai. Sementara aku memberi pria jahat itu pelajaran.” Syifa membuka mulutnya namun tak ada kata-kata yang keluar. Dia terlalu bingung dengan kejadian yang tercampur aduk ini. “Kamu? Memberi pelajaran? Tunggu dulu. Di mana posisimu waktu itu?” “Aku menghadapi pria jahatmu itu, Syifa. Untuk menolong dirimu.” Kening Syifa berkerut dalam. Dia terus memutar ulang kepingan kejadian itu dalam benaknya. Dia mencoba untuk merangkai suatu kejadian yang utuh. Dan menarik kesimpulan di baliknya. “Kamu ... Kamu ...,” ucap Syifa tak bisa pulih dari kebingungannya. Amaya mengangguk dengan tenang. “Akulah sosok penolong misterius yang kau cari-cari itu.” Ucapan itu membuat d**a Syifa berdentum-dentum tak karuan. Dia seolah baru saja dihantam menggunakan sebuah palu gada. “Ini tidak mungkin,” bisiknya lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN