“Apa kamu sedang bercanda?” bisik Syifa dengan nada suara tak percaya.
Gadis itu sedang berpandangan dengan Amaya. Keduanya salih tatap dengan sorot mata tajam. Nampaknya tak satupun ada tanda-tanda bahwa Amaya sedang bercanda.
“Aku serius. Sama sepertimu,” jawab Amaya dengan datar.
Syifa berusaha mencerna fakta baru yang didengarnya dari pengakuan Amaya. Ceritanya yang berakhir dengan sebuah kalimat bahwa dirinyalah orang yang pergi menolong Syifa. Hal ini sulit untum diterima oleh akal sehat Syifa, betapapun dia mencoba.
“Tapi, itu tidak mungkin ... Aku melihat sendiri bagaimana orang itu menyerang si pria sampai mati!”
Syifa membelalakkan matanya dengan lebar. Bayangan mengerikan itu kembali lagi.
Amaya menaikkan sebelah alisnya dengan sinis. “Kalau gitu, kamu kan melihat sendiri bagaimana aku membantumu lepas.”
Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. “Tidak mungkin itu kamu. Waktu itu aku mendengar bagaimana dia menyerang pria itu hingga dia menjerit kesakitan. Itu tak mungkin kamu.”
“Jadi, kamu yang sebenarnya nggak melihat. Kamu tidak menyaksikannya?” balas Amaya membalik keadaan.
Kini Syifa duduk dengan mulut menganga lebar. Dia terlalu bingung untuk segera menanggapi. Otaknya bekerja dengan lambat, berusaha merangkai potongan kejadian waktu itu.
“A-aku melihatnya kok.”
“Kamu tidak melihatnya secara langsung bukan?” balas Amaya dengan suatu senyuman licik di wajahnya. “Aku tahu, kamu sedang bersembunyi di sana dan tak berani melongok keluar. Kamu mungkin hanya mendengar, tapi kamu tidak melihatnya langsung.”
Syifa hanya melongo dibalas seperti itu oleh Amaya. Dia memang hanya duduk di sudut sana sembari mendengar peristiwa mengerikan itu terjadi. Dia tak sanggup membuka mata apalagi sampai melongok keluar. Tapi, bagaimana Amaya bisa tahu juga akan hal ini?
“Jadi, kamulah yang melawan pria itu?”
Amaya mengangguk dengan singkat tetapi tegas.
“Sungguh?”
“Ya.”
“Bagaimana bisa aku tahu bahwa kamu berkata jujur?” tanya Syifa dengan keraguan.
Amaya berjengit tak peduli. “Terserah kamulah. Aku sudah berbicara jujur.”
“Andai aku percaya ... Maka, kamulah yang sebenarnya telah membunuh pria itu?”
Kali ini ada keraguan sebelum Amaya memberikan jawabannya. Nampak bahwa gadis itu tengah berpikir. Apakah dia seharusnya menjawab terus terang ataukah dia perlu melompati pertanyaan yang satu ini?
Sikap diam Amaya yang mengambil jeda terlalu lama itu membuat pikiran Syifa terjaga lebih was-was. Mendasak saja ada sebuah alarm peringatan di dalam otaknya yang memaksa dia agar mengamati temannnya itu.
“Benarkah itu, Amaya? Apa kamu yang membunuh pria itu dengan begitu mengenaskan?”
Amaya menelan ludah dengan susah payah.
“Amaya?”
Tatapan Amaya mulai mengendur secara perlahan. Gadis itu nampak kalah.
“Ehm ... Ya.”
Syifa membuka mulutnya untuk merangkai kata, tetapi dia sendiri kebingungan. Tak tahu harus berkata apa, disebabkan oleh jawaban Amaya yang mengejutkan ini.
“Kamu beneran membunuhnya?” desak Syifa dengan mata melotot lebar tak percaya.
Amaya mengangguk pelan. Jawaban itu jelas tidak diharapkan olehnya. Syifa dapat merasakan degup jantungnya bertalu-talu, seakan ingin melawan kata-kata yang keluar.
“Kamu gila,” ucap Syifa setelah sekian lama duduk diam menatap temannya. “Ini hal yang serius, May. Jangan bercanda!”
Amaya balas menatapnya dengan heran. Keningnya berkerut menatap Syifa.
“Aku tidak bercanda. Kamu bertanya serius. Dan aku sudah memberikan jawaban serius pula. Ini yang kamu inginkan, bukan?”
Tidak. Sejujurnya Syifa sama sekali tidak mengharapkan ending seperti ini. Tidak mungkin. Si penolong misterius itu pasti tidak mungkin Amaya. Tidak masuk akal!
“Tapi, bagaimana bisa? Aku tak melihatmu di sana. Aku tak percaya kaulah yang membunuh orang itu!” bantah Syifa keras.
Jauh di lubuk hatinya dia tak ingin mendengar jawaban dari Amaya. Dia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa pendapatnya-lah yang benar. Hanya saja, perasaannya entah mengapa mengatakan untuk percaya pada ucapan Amaya.
“Andai kamu melongok keluar, maka kamu pasti akan melihatku di sana.”
Syifa merasa dirinya sedang berada di sebuah persimpangan. Dia tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang. Membantah Amaya dan terus menyangkalnya atau mempercayai ucapan gadis itu dan menelan bulat-bulat semua jawabannya?
Mana yang benar-benar dia percayai? Syifa tidak tahu. Dia betul-betul bingung mengapa pikirannya seolah tak mau diajak bekerja sama. Di satu sisi dia begitu getol ingin mendesak Amaya menjawab pertanyaannya dengan jujur. Tetapi, di sisi lain, dirinya justru menolak untuk percaya pada ucapan Amaya. Dia tak ingin mendengar bahwa Amaya telah menyelamatkan dirinya dan membunuh pria jahat itu. Itu benar-benar tidak bisa diterima akal.
“Tolong katakan bahwa kamu bercanda,” pinta Syifa pada akhirnya.
Raut muka gadis itu sudah setengah lemas. Dia tak mampu mempercayai bahwa gadis di hadapannya ini adalah seorang pembunuh keji.
“Kenapa? Kamu takut padaku?” ucap Amaya seolah dapat membaca pikiran Syifa.
Syifa mengerjap, merasa degup jantungnya berdetak semakin kencang.
Amaya tersenyum, makin lama makin lebar. Sekarang gadis itu malah menyeringai tanpa wajah berdosa.
“Kena kau! Apa kamu pikir aku sehebat itu?” ucap Amaya dengan sebuah senyuman lebar di wajahnya.
Syifa merasakan jantungnya melorot ke atas lantai. Gadis itu merasakan angin segar meniup pergi rasa resahnya. Dia dapat bernapas dengan lega kembali.
“Astaga, jadi kamu beneran bercanda kan?”
Amaya mengangguk, masih dengan tersenyum lebar.
“Aku kira sejak tadi kita bicara serius. Aku nggak nyangka kalau kamu malah mengerjai aku!” protes Syifa dengan nada sebal.
Amaya diam saja tak merespon. Kedua matanya yang awas mengamati ekspresi Syifa.
“Jadi, bagaimana kejadian yang sebenarnya terjadi?”
Masih sama saja. Syifa masih digeluti rasa ingin tahunya yang besar. Amaya mengangkat bahunya dengan ringan.
“Aku tidak lewat sana. Aku hanya mendengar cerita itu dari orang-orang. Jadi, mana aku tahu!” jawabnya dengan enteng.
Jawaban ini jauh lebih masuk akal dan mudah diterima. Tentu saja hal ini membuat Syifa jauh lebih lega dari sebelumnya.
“Aku—“
Ucapan Syufa disela oleh dering bel masuk kelas yang berdering nyaring. Sontak saja kedua gadis itu menatap ke arah pintu kelas, di mana gerombolan siswa mulai berdatangan.
“Cepat pergi, sebentar lagi guru masuk,” usir Amaya.
Syifa bangkit dan mengembalikan kursi ke tempatnya semula. Dia sendiri kembali duduk di tempatnya. Dia masih sempat menoleh ke arah Amaya yang sudah sibuk dengan bukunya.
Benarkah dia hanya bercanda? Batin Syifa sedikit ragu. Tapi, itulah jawaban yang dia inginkan. Lagipula, untuk apa dia terus mendesak Amaya? Semua itu toh tidak ada gunanya. Jawaban dari pertanyaan itu hanya akan menjadi beban mental baginya. Dia merasa tak akan sanggup memikulnya seandainya dia mengetahui yang sebenarnya.
Maka dia membiarkan saja semua berjalan seperti itu dulu untuk sementara waktu. Setidaknya sampai dia sendiri cukup siap pada waktunya ....