Lamunan Syifa

1091 Kata
Syifa duduk di samping rumahnya, memandangi beragam tanaman dalam pot bunga miliknya dengan tatapan menerawang. Gadis itu menopang kepalanya dengan tangan kanan, sementar tangan kirinya sibuk membelai-belai daun tanaman dengan melamun. “Syifa, makanannya sudah siap,” ucap sang ayah memberitahu. Gadis itu masih bengong di tempatnya, tak menggubris ucapan ayahnya. “Syifa?” ulang Pak Burhan seraya mendekati anak gadis itu. Dari tatapan hampa anak itu, Pak Burhan dapat menarik kesimpulan bahwa dia sedang melamun memikirkan sesuatu, entah apa. “Nak ....” Pria itu menyentuh lembut bahu anaknya, yang lantas membuat Syifa terlonjak kaget. Tatapannya bingung beralih dari tanaman kepada sang ayah. “Ayah?” “Kamu ngapain ngelamun sendirian di sini? Kalau diculik orang gimana?” tanya ayahnya. “Aku nggak melamun kok, Yah,” kilah Syifa menyangkal. “Halah, dari tadi ayah perhatikan kamu melamum kok. Sampai ayah panggil-panggil kamu nggak menyahut,” sergah Pak Burhan. Kali ini Syifa tak dapat memungkiri lagi. Dia menunduk malu. “Apa sih yang sedang kamu pikirkan, Nak?” Syifa menggeleng pelan. Dia berusaha untuk menyembunyikan raut wajahnya. “Nggak ada, Ayah ....” “Jangan bohong sama ayah. Ayah tahu kok, kamu pasti sedang risau karena sesuatu. Apa ada masalah?” Pertanyaan itu segera dibantah. “Nggak ada masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja.” “Kamu yakin? Sekolahmu baik-baik saja?” Syifa mengangguk dengan mantap. Memang tak ada masalah dengan sekolahnya sejauh ini. Setidaknya, bukan yang berhubungan dengan persoalan akademis maupun biaya. Akan tetapi, Amaya-lah yang membuatnya terus berpikir. Teman sekelasnya itu tadi meninggalkan dirinya begitu saja tanpa ada jawaban yang konkret dan jelas. Syifa menjadi dilema dan merasa terombang-ambing dalam kebimbangan. Dia benar-benar galau memikirkan tentang gadis misterius itu. Dan apa yang sebenarnya terjadi di jalan waktu pembunuhan itu terjadi. “Kalau tak ada masalah di sekolah, berarti ... Apa kamu sedang jatuh cinta?” tebak sang ayah. Kedua bola mata Syifa melebar, terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba ini. “Apa? Tidak, tidak, Ayah. Syifa tidak seperti itu.” “Loh, kenapa? Wajar kok, anak gadis seusia kamu untuk jatuh cinta kepada seseorang. Pasti hormon remajamu sedang aktif-aktifnya. Ayah merasa itu wajar saja jika kamu mulai merasakan adanya suatu ketertarikan secara khusus kepada lawan jenis.” Kalimat itu membuat wajah Syifa merona merah. Mendadak saja Syifa teringat kepada sosok Angga, cowok tampan populer itu. Apalah dirinya sedang jatuh cinta pada Angga? Memang. Tapi, bukan dia yang menghantui pikiran Syifa selama ini. “Apa benar tebakan ayah?” selidik Pak Burhan. Syifa menundukkan wajahnya, ingin berpaling dan menyembunyikan rona merah yang muncul di pipi. “Ayah ini bisa saja! Syifa nggak sedang jatuh cinta kok. Kan kata Ayah sebaiknya jangan cinta-cintaan dulu kalau belum waktunya,” kilah gadis itu. “Yah ... Sebenarnya rasa tertarik itu wajar kok. Ayah tidak bisa melarang kamu untuk tidak tertarik pada lawan jenismu. Ayah hanya ingin mewanti-wanti kamu soal hubungan yang sehat. Agar kamu berhati-hati saja sebelum benar-benar dekat dengan seorang pemuda. Kamu paham kan, betapa berbahayanya kalau sampai kamu terlena pada pergaulan bebas?” Syifa mengangguk. Dia sudah mendengar ceramah tentang hal ini berulang kali. Dari sang ayah, dia hanya mendapatkan beberapa kali ucapan serupa. Setidaknya, Syifa sudah memahami apa maksudnya. Dia sendiri bukan jenis gadis yang mudah dekat dengan seorang cowok sampai harus diperingatkan mengenai hubungan khusus. “Jadi, ini tentang cowok?” selidik Pak Burhan lagi dengan pantang menyerah. Syifa berdecak sebal. “Apa sih, Ayah?” “Kamu sejak tadi duduk melamun di sini memikirkan soal cowok?” desak lelaki itu ingin tahu. “Enggak, Yah. Syifa memikirkan suatu hal yang lain,” jawab Syifa akhirnya terpaksa jujur. “Apa yang menyusahkan hatimu, Nak? Maukah kamu berbagi cerita dengan ayah?” Syifa menimbang tawaran ini. Tetapi, dalam sekejap dia memutuskan untuk tidak usah membebani sang ayah dengan pemikirannya sendiri. Sang ayah sudah cukup pusing dengan berbagai permasalahannya sendiri, tak perlu ditambahi lagi dengan persoalan yang Syifa alami. “Ini bukan masalah penting kok, Ayah. Syifa hanya memikirkan sesuatu saja. Tapi ini tidak terlalu serius.” “Oh ya? Kamu ada masalah?” Sang anak tersenyum menghibur. “Tidak ada masalah. Syifa baik-baik saja kok. Ayah tenang saja.” Pak Burhan menghela napas panjang menyerah. Ternyata usahanya yang begitu getol ini tidak membuahkan hasil. Anaknya yang sudah beranjak remaja ini tak ingin berbagi dengannya. Entah apa yang dipikirkannya itu, yang jelas Pak Burhan tak berhak untuk tahu. Seandainya ada sosok ibu di sisinya, mungkin Syifa akan bersedia mencurahkan isi hati dan pikirannya kepada sang ibu. Itu akan memudahkan tugasnya sebagai orang tua, jika dirinya bisa mengetahui betul apa yang membuat risau putrinya. Tetapi, tak ada gunanya sekarang dia memaksa ataupun mendesak Syifa untuk bercerita. Karena itu, Pak Burhan akhirnya menyerah juga. “Ya sudah, ayo masuk. Kita makan siang bersama,” ajaknya. Syifa mengangguk dan bangkit berdiri menyusul sang ayah masuk ke dalam rumah. Selama makan, kedua orang itu saling diam. Syifa sibuk sendiri berkutat dengan pikirannya. Apakah yang sedang dilakukan Amaya sekarang? Apa dia menjalani aktivitas normal layaknya remaja pada umumnya? Ataukah dia sedang duduk berjongkok di suatu tempat dan mendesis-desis seperti waktu itu? Pemikiran tentang Amaya membuatnya tak bisa tenang. Dia masih penasaran bagaimana Amaya bisa mengetahui kejadian itu. Amaya berkata telah menyaksikan kejadian itu. Tapi dia tak mau menjelaskan bagaimana tepatnya. Dia juga tak mau memberitahu Syifa siapa sosok si penolong misterius yang telah membunuh pria jahat itu. Benar-benar janggal dan aneh, batinnya. Pak Burhan yang terus memperhatikan anaknya tak bisa berhenti merasa cemas. Dia tahu Syifa makan sambil melamun, ketika melihat kening Syifa berkerut dalam tanda berpikir. Pak Burhan bertanya-tanya sendiri, apa yang sebenarnya sedang membuat Syifa demikian galaunya? Jika saja dia tahu, maka mungkin dia akan bisa membantu gadis itu. Tapi, mungkin ada alasan lain di balik sikap tertutup Syifa. Pak Burhan menebak, jika anak itu sedang memikirkan persoalan dengan cowok, maka gadis itu pastinya tak ingin hal ini diketahui oleh sang ayah. Mungkin dia mengira Pak Burhan akan menolak dan melarangnya. Lagipula pasti tak nyaman bagi Syifa untuk curhat soal hatinya kepada sang ayah. Lain halnya jika seandainya dia dekat dengan sosok seorang ibu. Anak gadis memang biasanya lebih dekat dengan orang tua perempuan dibanding orang tua laki-laki. Masalahnya di sini adalah Syifa tak memiliki sosok ibu yang dibutuhkannya. Selama ini Pak Burhan telah menjadi sosok ayah sekaligus ibu baginya. Tetapi itu tak akan bisa menggantikan perasaan yang sama. Jadi, wajar saja jika dia merasa canggung kepada sang ayah. Pak Burhan merasa sedih melihat anaknya seperti ini. Dia merasa bersalah karena kejadian pahit itu telah mempengaruhi kehidupan anaknya. Jika saja dia bisa mengubah keadaan ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN