“Hei, lagi ngapain di sini sendirian?” tanya seseorang ketika Syifa sedang duduk di bangku taman.
Gadis itu menoleh, mendongak menatap sosok jangkung yang berdiri di hadapannya. Dia mengernyit, silau karena sinar matahari. Sosok itu berdiri membelakangi sinar matahari, membuat bayangan gelap di atas tanah. Syifa tersenyum, menatapnya dengan wajah senang.
“Nggak ngapa-ngapain. Lagi duduk-duduk aja,” balasnya.
Ingin sekali dia menepuk bangku di sampingnya untuk mengajak sosok itu duduk bersama.
Tapi tanpa isyarat apapun, cowok jangkung itu langsung duduk di sisi Syifa. Sikapnya sangat wajar, tak ada tanda-tanda istimewa.
“Jangan suka melamun. Nanti kesambet loh!” ucapnya dengan nada bergurau.
Syifa tersenyum lebar. Senang menanggapi ucapan Angga.
“Aku nggak takut hantu,” kata Syifa seakan ingin menonjolkan dirinya.
“Oh ya? Kukira semua cewek itu penakut.”
“Kecuali aku, mungkin?”
Angga tersenyum. Meski dia tidak memandang langsung pada wajah Syifa, tetapi Syifa tahu bahwa dia tersenyum kepadanya. Sementara kedua tangannya sibuk memainkan bola basket di tangan.
“Kamu emang berbeda dengan yang lain,” kata Angga.
Syifa merasa wajahnya merona merah. Dia malu atas pujian itu. Dia berharap ucapan Angga memang suatu pujian baginya. Akan memalukan sekali kalau terjyata Angga bermaksud untuk mengolok-olok dirinya sementara dia merasa bangga dan senang karenanya. Tetapi, biar dilihat dari sudut manapun juga, Angga bukanlah tipe sosok yang suka memperolok seseorang, termasuk dirinya. Jadi, wajar saja jika Syifa menganggap sikap cowok itu manis.
“Gimana kabarnya OSIS?” tanya Syifa sekedar untuk melanjutkan percakapan saja.
Dia sama sekali tidak paham soal OSIS. Meski dia ingin tergabung di dalamnya, tetapi menyadari bahwa struktur organisasi itu hanya terdiri dari anak-anak populer yang berpengaruh, maka niat itu sudah lama dia kubur dalam-dalam. Bahkan di mimpi pun dia tak akan berani membayangkan dirinya menjadi bagian dari organisasi keren itu.
“Bagus. Semuanya berjalan baik-baik saja,” ucap Angga secara otomatis, seolah jawabannya sudah dipersiapkan.
“Dengar-dengar OSIS sedang mempersiapkan kegiatan pensi?” pancing Syifa lagi.
Kali ini dia bukan hanya sekedar basa-basi saja. Dia memang ingin tahu sudah sejauh apa persiapan kegiatan yang menghebohkan itu. Mungkin saja Angga akan mengacuhkan pertanyaannya dan menganggapnya tak penting, tapi selagi duduk di sana dengan sang ketua OSIS, kenapa dia tidak bertanya saja?
“Yah ... Semuanya berjalan cukup bagus.”
Jawaban yang absurd. Tidak jelas. Sepertinya Angga tidak ingin mengatakan rencana OSIS secara mendetil. Syifa dapat memahami hal itu. Lagipula dirinya hanyalah seorang asing, anak yang bukan anggota organisasi. Jadi wajar jika Angga enggan untuk berbagi dengannya.
“Kuharap semuanya berjalan dengan baik,” ucap Syifa agak simpatik.
Dia memang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu, tapi setidaknya dia ingin mengucapkan sesuatu untuk Angga.
“Trims,” kata Angga. Dia tersenyum kecil. “Kamu mau ikutan acaranya kalau gitu?”
Syifa tidak tahu. Dia belum membuat rencana apa-apa.
“Entahlah. Tapi yang jelas, aku akan sangat mendukung kegiatan itu.”
“Hanya untuk menghargai para panitia?” ucap Angga dengan nada ironis.
Syifa agak terkejut mendapati nada bicara cowok itu. Dia menoleh mengamati wajah Angga. Cowok tampan itu nampak semakin macho dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Dia menunduk menatap bola basket yang dia pantulkan di tanah.
Nampak macho dan polos. Image yang sedikit bertentangan. Tapi sangat imut di mata Syifa. Rasanya dia ingin sekali merengkuh cowok itu ke dalam pelukannya dan tak pernah melepasnya lagi.
“Aku ... Bukan tipe yang suka dengan kegiatan semacam itu. Tapi, demi panitia yang sudah bersusah payah, yah ... Aku akan menghargai acaranya.”
Ucapan itu menimbulkan sebersit senyuman lagi di wajah Angga.
“Kau baik sekali. Aku sangat menghargainya.”
“Apa terjadi kesulitan?” terka Syifa dengan mengamati ekspresi wajah Angga.
Cowok tampan itu mengangkat bahunya dengan ringan, berusaha menampilkan kesan cuek. Tapi rupanya gagal, sebab Syifa dapat melihat bahwa ada kesan rapuh di sana.
“Beragam kesulitan itu pasti ada. Tapi aku rasa semuanya masih di bawah kendali. Selama aku ada, kurasa semuanya akan baik-baik saja.”
Syifa mengangkat tangannya untuk meraih Angga. Kemudian dia ragu di tengah jalan. Mendadak ditariknya kembali tangan itu, urung menyentuh lengan Angga yang bersandar di bangku.
“Semangat! Aku yakin kau bisa melalui semua ini.”
Angga mengangguk seperti anak kecil yang patuh.
“Trims, Syifa.”
Syifa senang bukan main mendengar namanya disebut oleh cowok itu. Entah mengapa, nada suaranya, melodinya, kata-katanya, caranya mengucapkannya terasa begitu syahdu dan merdu di telinga. Dia tak pernah merasa seperti itu sebelumnya.
Suara-suara dari kejauhan menyadarkan dirinya. Dia dan Angga menoleh serempak. Di sana ada gerombolan teman cowok Angga yang melambai padanya, memanggil. Angga mengangguk singkat pada Syifa, lalu berpamitan singkat. Syifa hanya balas mengangguk. Sosok Angga yang jangkung itu bangkit pergi dengan teman-temannya, kemudian menghilang di balik tikungan.
Benak Syifa kemudian dipenuhi oleh bayangan Angga bahkan ketika dia berjalan di koridor sekolah menuju ruang kelasnya. Bayangan senyuman Angga, aroma tubuhnya, nada bicaranya. Semua hal itu seolah terpatri di kepalanya seperti sebuah film yang diputar terus-menerus.
“Dasar cewek aneh!” umpat Tania seraya keluar kelas.
Di saat bersamaan Syifa tak mampu menghentikan laju kakinya. Dia terkejut mendapati wajah Tania sedejat itu dengannya. Tak dapat dihindari, kedua gadis itu bertubrukan. Syifa berjengit mundur seketika, bersamaan dengan tubuh rapuh Tania yang nyaris membentur pintu.
Raut muka Tania nampak berang, merah menahan marah. Kedua matanya melotot tajam.
“Minggir, cewek sialan!” bentaknya pada Syifa yang berdiri mematung.
Sontak saja Syifa menyingkir memberi jalan. Dia tak mengerti apa yang terjadi dengan Tania. Dia kelihatan begitu marah. Di belakangnya tidak nampak Rere maupun Clara. Tumben, pikir Syifa. Padahal biasanya mereka bertiga selalu ke mana-mana bersama.
Syifa melongok ke dalam kelas yang masih sepi. Hanya ada satu orang di sana. Di tempat duduk pojok, sendirian. Amaya.
Syifa berjalan mendekatinya dengan perasaan heran. Dia bertanya-tanya sendiri apa yang telah terjadi sampai Tania begitu marah. Dia sudah pasti melakukan sesuatu dengan Amaya. Tak ada orang lain lagi di dalam ruang itu. Sudah jelas keduanya bertengkar karena sesuatu. Entah apa.
Apa Amaya menentangnya seperti biasa, sehingga membuat Tania mencak-mencak? Lalu ke mana Rere dan Clara yang biasanya bersama Tania?
Ini tidak biasa, pikir Syifa.
Dia berhenti melangkah di depan Amaya. Gadis itu sibuk menggambar. Gerakan tangannya terhenti ketika menyadari dirinya diawasi. Dia mendongak menatap Syifa dengan tajam.
“Apa?” ucapnya dengan sinis.
Syifa menghela napas panjang dan berbalik. Dia duduk di tempatnya sendiri. Meski ingin tahu, tapi dia memilih untuk diam dari pada harus memulai suatu konfrontasi dengan Amaya. Dia muak selalu bertengkar dengan gadis itu. Andai saja dia bisa membaca pikiran, maka dia akan dengan senang hati membaca pikiran Amaya. Membuka tabir misteri di balik sosok misteriusnya dan menguak segala rahasia yang dia sembunyikan. Ia tak yakin ia benar-brnar ingin tahu.