Acara pensi yang direncakan oleh OSIS itu rupanya menjadi topik hangat selama beberapa hari.
Semua anak tanpa terkecuali selalu membahas topik ini. Bagaimana acara akan berjalan, apa saja yang dipersiapkan oleh panitia, bagaimana keseruannya nanti, adakah bintang tamu yang diundang, dan sebagainya. Topik ini jelas memicu kehebohan di sekolah itu.
Para remaja belasan tahun itu sangat antusias dengan rencana itu, sehingga nampaknya mustahil bagi Angga sang ketua OSIS untuk membatalkan rencana kegiatan itu meski terkendala dengan biaya dan beberapa jadwal kegiatan yang berbenturan. Semua orang sudah pasti akan berbisik-bisik menyalahkan dirinya jika dia mengambil keputusan untuk meniadakan acara pensi tahun ini. Dan itu tak baik, bagi reputasinya untuk dicoreng begitu saja hanya karena hal ini. Untuk itulah, dia bekerja lebih keras belakangan ini. Mengadakan beragam rapat OSIS dan berbicara dengan para guru terutama kepala sekolah.
Cowok itu sudah sangat sibuk dan letih. Hal itu terlihat sekali di wajahnya yang tampan namun muram. Syifa sesekali memerhatikan dia dari balik pilar, ketika cowok itu sedang berjalan melintasi lapangan. Atau ketika dia bermain basket dengan timnya, serta ketika dia secara tak sengaja berpapasan dengan Angga di jalan.
Namun, tak seperti biasanya, Angga tak lagi menyapa dirinya. Cowok itu selalu memperlihatkan raut muka serius dan berkonsentrasi, seakan seluruh pikirannya sudah tersita oleh hal-hal yang jauh lebih penting ketimbang sekedar menyapa cewek cupu dan tidak populer seperti dirinya.
Syifa dapat memahami hal itu. Dia sendiri tak sanggup membayangkan betapa sibuknya Angga. Tapi tetap saja, ada rasa kehilangan di dasar hatinya. Sesuatu yang selama ini seakan menjadi pelengkap dan penyemangat harinya kini menghilang. Dia menjadi semakin murung juga, seiring semakin menjauhnya Angga. Tapi itu bukan apa-apa. Dia hanya menjadi semakin kesepian. Tak ada teman.
Beberapa kali dalam sehari dia menyadari dirinya secara tak sengaja menoleh ke belakang, ke tempat duduk Amaya. Sebuah pandangan singkat sudah cukup untuk membuat hatinya terasa lebih berat. Andai saja dia dan Amaya masih berteman, pikirnya. Semua ini tidak akan terlalu sulit.
Syifa memang sudah terbiasa sendirian selama dua tahun sebelum kedatangan Amaya. Dia toh tak pernah memiliki seorang pun teman kecuali Reza. Setelah mereka pisah kelas, kedekatan mereka berkurang dan dia menjadi sosok yang kesepian. Tapi, itu tak berlangsung lama, karena kedatangan Amaya di sekolah ini. Sekarang, dia menyadari betapa jenuhnya dia dengan rasa kesepian. Dia ingin melakukan sesuatu bersama dengan seseorang. Dia ingin menghabiskan waktu dengan seorang teman, bercanda tawa seperti yang lainnya juga.
Tapi dengan siapa? Jika saja Amaya mau maju dan meminta maaf duluan, maka Syifa akan menyerah dan menyambut kembali gadis itu menjadi temannya.
Namun sikap Amaya akhir-akhir ini juga kurang baik padanya. Mungkin seharusnya dialah yang minta maaf. Atau tidak sama sekali. Syifa mendesah panjang.
“Itu dia anaknya,” ucap seseorang di ambang pintu kelas.
Syifa mendongak dan mengenali wajah kesal Tania menunjuk ke arahnya. Syifa tersentak kaget. Untuk sesaat, dia mengira dirinya sedang dalam masalah. Sosok Rere dan Clara berdiri tegang di sisinya, nampak menatapnya dengan tajam. Lalu ketiga gadis itu melangkah mendekat, membuat Syifa duduk dengan tidak tenang di tempatnya.
Tapi langkah kaki mereka tidak berhenti di depan mejanya. Mereka terus melangkah ke belakangnya. Barulah saat itu Syifa sadar bahwa yang ditunjuk oleh Tania bukan dirinya, melainkan Amaya.
“Hei!” bentak Rere dengan kasar disertai sebuah gebrakan keras di meja Amaya.
“Lo udah ngomong macem-macem sama Tania?” ucap Rere dengan nada menggertak.
Kalimat itu lebih tepat berupa pernyataan dari pada pertanyaan.
“Apa?” sahut Amaya dengan secuek biasanya.
“Apa yang udah lo omongin sama Tania kemarin?” desak Rere masih dengan emosi.
Syifa berusaha keras untuk tidak terlibat dalam persoalan itu, tetapi tak urung dirinya tak bisa menahan rasa ingin tahu.
“Apa yang udah lo bilang ke temen gue, hah?!” bentak Rere lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
“Bahwa kamu hanya memanfaatkan dia saja seperti kacung?” ucap Amaya nyaris menahan tawa.
“b******k! Siapa yang ngomong begitu sama elo?” sahut Rere tersinggung. “Gue nggak pernah menganggap Tania maupun Clara sebagai kacung. Jangan asal ngomong lo!”
Amaya nampak tersenyum janggal. Dia kelihatan puas dengan efek dari kata-katanya. Syifa kini tahu, apa yang terjadi tempo hari ketika Tania mendatangi Amaya seorang diri. Pantas saja dia begitu marah waktu itu.
“Bukannya bener? Mereka mengikuti kamu ke mana-mana seperti hewan peliharaan,” ucap Amaya lagi, sengaja memancing emosi.
Kali ini kedua tangan Tania tak tinggal diam. Dia mencengkeram kerah seragam Amaya dan mencekalnya kuat.
“Gue bukan hewan! Dasar cewek kurang ajar!” bentak Tania dengan luapan kemarahan.
Rere berusaha menenangkan Tania meski dirinya sendiri nampak kesulitan menahan emosi.
“Jaga mulut lo itu, cewek aneh! Bisa-bisa lo kehilangan kemampuan lo untuk bicara kalau lo berani ngomong yang macem-macem lagi!” ancam Rere dengan jari telunjuk yang ditudingkan ke wajah Amaya.
“Terserah,” kata Amaya dingin.
“Gue nggak main-main, Amaya! Gue akan merobek mulut lo dari sisi ke sisi kalau lo masih suka ngomong sembarangan! Lihat aja nanti!” tegas Rere dengan penuh penekanan.
Clara berdiri diam saja di sisi Rere, nampak agak aneh dan lain dari biasanya. Syifa tak terlalu memperhatikan dia lagi, sebab waktu itu Tania terlihat seperti ingin mencekik leher Amaya dengan satu tangannya, sementara Rere berusaha melepaskan dia.
Syifa yang menyadari situasi bahaya itu segera mendekat, tanpa ragu-ragu lagi ikut melerai kondisi itu. Tania nampak makin berang mengetahui bahwa tangan Syifa mencengkeram seragamnya.
“Lepasin gue, cupu! Jangan berani-berani nyentuh gue!” bentaknya pada Syifa.
Syifa melepaskannya setelah gadis itu agak tenang, menjauh dari Amaya dan melepaskan cekikannya.
“Kita cabut aja sekarang, Tan. Nggak ada gunanya lagi kita di sini,” ajak Rere. Clara berusaha meraih Tania dan mengajaknya pergi.
Tania berdiri dengan napas yang setengah-setengah, saking emosinya. Mungkin juga karena penyakit asmanya. Semua orang sudah tahu bagaimana dia menjadi penderita asma sejak kecelakaan dengan pohon tumbang itu terjadi. Akibat paru-parunya yang terjepit itu, maka dia tak pernah bisa lepas dari inhaler.
Saat itupun, Rere dengan perhatian merogoh saku rok Tania dan menyodorkan inhaler kepadanya.
“Ayo, Tan!” desak Rere dengan sedikit memaksa.
Akhirnya gadis itu pun menurut pergi setelah melemparkan sebuah lirikan tajam sekali lagi pada mereka, Amaya dan Syifa.
Sekarang Syifa yakin, bahwa dirinya juga menjadi sosok yang dibenci oleh Tania karena membela Amaya. Tapi dia hanya menghembuskan napas pasrah. Mau bagaimana lagi.