“Syifa!”
Gadis manis itu menoleh, tersenyum menatap sosok Reza yang melambai dari kejauhan. Cowok itu berlari mendekati Syifa di depan kelasnya.
“Hari ini kamu pulang bareng aku aja ya,” ajaknya seraya mengedikkan kepala ke arah motor matic yang terparkir di parkiran sekolah.
Syifa menggeleng pelan. “Nggak usah, Za. Aku baik-baik saja kok.”
“Baik-baik saja apanya? Kaki kamu kan masih sakit untuk dipakai berjalan. Lebih baik kamu bareng aku aja. Jauh lebih cepat pula sampai di rumah,” bujuk Reza tak mau menyerah.
Syifa memperlihatkan caranya berjalan dengan normal. Dia berlenggak-lenggok di depan Reza dan menunjukkan bahwa kaki kirinya sudah tidak sakit lagi. Reza yang melihat itu hanya bisa bengong.
“Loh, kok kamu sudah bisa jalan normal lagi?”
Syifa tersenyum. “Iya, Za. Kaki kiriku sudah sembuh. Sudah nggak ada rasa sakit lagi.”
“Oh ya? Beneran Syifa?”
“Iya. Sekarang aku bahkan bisa berlari lagi seperti biasa,” sahut Syifa dengan senang.
“Wah, hebat juga ya,” ucap Reza merasa takjub.
“Alhamdulillah, ini keajaiban bagiku,” timpal Syifa.
Tak jauh dari mereka, Amaya sedang berdiri memperhatikan keduanya.
“Yah ... Tetap nggak apa-apa kok kalau kamu mau pulang bareng aku.”
Syifa menggeleng pelan. Dia menoleh ke tempat Amaya berdiri menunggu.
“Aku pulang bareng Amaya aja, Za. Kasihan dia kalau aku tinggal,” tolak Syifa dengan halus.
Reza menatap sosok gadis aneh itu.
“Kamu yakin?”
Syifa mengangguk mantap.
“Kalian berdua akan jalan kaki?”
Lagi-lagi Syifa mengangguk mengiyakan.
“Apa kamu mau aku bonceng kalian berdua aja sekalian?” tawarnya.
Syifa menatapnya dengan mata melebar. “Nggak usah, bahaya. Nanti kalau ada apa-apa di jalan gimana?”
Reza nampak salah tingkah. “Ya udah deh kalau gitu. Kamu hati-hati di jalan ya Syifa. Aku pulang duluan.”
“Iya, kamu juga hati-hati,” balas Syifa.
Reza berlalu pergi lebih dulu ke tempat parkir. Sementara Syifa menghampiri Amaya dan berjalan berdampingan dengannya.
“Lihat tuh, dua anak cupu itu!” gumam Rere dengan tatapan matanya yang tajam.
“Trio, Re,” ralat Clara dengan nada mengejek.
Yang dimaksudnya dengan trio sudah pasti Syifa, Amaya dan Reza.
Rere tersenyum kecil mendengarnya.
“Syifa sama Reza tuh emang dari dulu so sweet banget. Mereka cocok jadi pasangan cupu dan kutu buku. Gimana nggak, kelakuannya aja udah kayak pacaran gitu,” komentar Clara.
“Lo bener. Padahal dulu udah pernah dibikin rumor gitu. Eh, mereka malah santai-santai aja. Tapi kayaknya sih Reza emang punya perasaan sama Syifa. Lihat aja tuh kelakuannya, bucin banget!”
Baik Rere maupun Clara tertawa kecil.
“Ngomong-ngomong, gue heran gimana kakinya Syifa bisa sembuh secepat itu,” ucap Clara dengan nada heran yang jelas.
Rere juga nampaknya sama herannya dengan dia. Mereka menatap sosok Syifa di kejauhan yang berjalan dengan normal, tidak pincang sama sekali. Padahal biasanya jika kaki seseorang terkilir, akan sulit dan lama waktu penyembuhannya. Tak mungkin bisa sembuh dalam waktu secepat ini.
“Sama. Gue juga nggak habis pikir. Kecuali kalau ternyata Syifa itu nggak beneran terkilir.”
Ucapan Rere membuat dahi Clara berkerut dalam. “Maksud lo gimana?”
“Syifa itu pasti sengaja berakting dan pura-pura terkilir di depan Angga. Dasar cewek genit!”
Clara menatap Rere dengan mata melebar. “Wah, iya, bisa jadi tuh Re! Ternyata dia emang licik. Kelihatannya aja sok polos dan lugu. Aslinya mah begitu!”
“Gue yakin, dia juga sebenarnya naksir sama Angga. Jadi, dia nggak mau membuang kesempatan sewaktu Angga datang dan mengulurkan bantuan. Lihat aja sekarang, dia bisa jalan dengan normal dan baik-baik saja tuh.”
Clara mengangguk-angguk setuju.
“Lo bener banget, Re. Syifa cuma mau diperhatiin aja sama Angga, makanya dia sok-sokan kesakitan waktu jatuh tadi. Ternyata itu hanya akting saja. Mana si Reza usah ngancam-ngancam elo buat lapor ke guru pula!”
Rere menyipitkan matanya dengan kesal, menatap ke kejauhan.
“Dia pikir dia bisa ngancam gue,” ucapnya meremehkan.
“Tapi dia nggak bener-bener lapor kan?” tanya Clara memastikan.
“Nggak tahu juga. Kalaupun dia udah lapor, gue yakin nggak ada guru yang berani buat negur gue. Lo tahu sendiri kan kekuatan bokap gue. Kalau sampai ada yang berani nyari masalah sama gue, maka bokap gue nggak akan tinggal diam. Dia pasti akan mencabut semua investasi yang dia tanam di sekolah ini.”
Ucapan itu membuat Clara terdiam. Rere benar. Gadis itu memang terlalu meliliki kuasa. Jadi, tak mungkin ada guru yang berani menegur dirinya meski salah. Posisi Rere terlalu kuat.
“Yuk ah, cabut! Besok kita kasih tahu ke Angga soal kebohongan Syifa.”
Clara menatap Rere yang mengungkapkan rencananya itu. Keduanya tersenyum lantas keluar dari sekolah untuk pulang.
Sementara Syifa dan Amaya sedang berjalan berdampingn di trotoar jalan. Keduanya saling terdiam. Syifa telah berusaha untuk memancing Amaya mengobrol, tetapi gadis itu selalu menutup obrolan dengan dingin. Merasa canggung, Syifa memilih untuk diam dan membiarkan keheningan yang mengambil alih.
“Malam ini jangan buka pintu,” ucap Amaya dengan misterius.
“Hah?”
Syifa menoleh dengan terkejut. Dia tak mengerti dengan maksud ucapan Amaya.
“Maksud kamu apa, May?”
“Jangan buka pintu. Apapun yang terjadi,” ulangnya dengan jelas.
Syifa menatap gadis itu dengan tatapan heran.
“Aku nggak ngerti apa maksud kamu. Aku nggak boleh buka pintu? Kenapa?”
“Pokoknya jangan!”
“Tapi ... Kalau ayahku pulang gimana? Masa’ aku nggak boleh bukain pintu?”
“Larut malam nanti. Jangan buka pintu!” ucap Amaya untuk terakhir kalinya.
Langkah Syifa terhenti. Gadis itu nampak semakin terkejut. Kenapa Amaya mengatakan hal semacam ini?
Syifa bergidik ngeri. Tatapannya tertuju pada punggung Amaya yang terus berjalan beberapa meter di depannya.
“May, tunggu!” panggil Syifa seraya berjalan lebih cepat untuk dapat menjajari langkah Amaya.
“May, kenapa kamu berkata seperti itu? Apa kamu mempunyai alasan untuk itu?”
Amaya diam tak menjawab. Dia bahkan tidak menoleh menatap Syifa.
Syifa merasakan degup jantungnya semakin kencang. Dia tiba-tiba saja merasa adanya keanehan yang menyelimuti sosok Amaya. Tetapi, entah apa yang sebenarnya terjadi, Syifa ingin sekali tahu.
“May ....,” panggilnya lagi.
Amaya tidak merespon. Dia malah melangkah lebih cepat, meninggalkan Syifa di belakang.
Kaki kiri Syifa nyaris tersandung kalau saja dia tidak berhati-hati. Mendadak, dia ingat bagaimana Amaya menemui dirinya di ruang UKS tadi siang.
Ada suara-suara aneh yang dia dengar sebelum dia melihat sosok Amaya. Lalu, mendadak kaki kirinya menjadi sembuh setelah kunjungan Amaya. Apa artinya ini? Apakah kehadiran Amaya memiliki arti yang lain?
Syifa terus berpikir, sementara dia tak menyadari bahwa sosok Amaya sudah jauh meninggalkan dirinya. Ketika dia tersadar, dia sudah sendirian di jalanan itu. Jejak Amaya sama sekali tidak kelihatan. Seolah langkah gadis itu begitu cepatnya melalui tikungan jalan dan menghilang.
Gadis yang aneh dan misterius. Apa yang sedang dia sembunyikan sebenarnya?