Ketukan Pintu

1134 Kata
“Kamu baru pulang?” sapa sang ayah ketika Syifa masuk ke dalam rumah. Gadis itu tersadar dari lamunannya. Dia mendongak menatap pria yang duduk di atas kursi roda itu. “Eh, iya Yah,” jawabnya. “Kok nggak ngucapin salam?” tegur pria itu lembut. Syifa nyengir dengan rasa bersalah. “Maaf, Yah, Syifa lupa.” “Kelihatannya ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan,” terka ayahnya. Syifa menggelengkan kepalanya ringan, mencoba berkilah. Dia membuka sepatunya dan menaruhnya di atas rak sepatu seperti biasanya. Sementara sang ayah sedang duduk menghadap meja kerjanya, yakni meja khusus menjahit yang dimilikinya sejak lama. Tampaknya pria itu sedang mengerjakan sebuah pesanan orang. “Kamu yakin tidak ada yang mengganggu pikiran kamu saat ini?” tanya sang ayah memastikan. Sebagai orang tua tunggal, dia tak ingin anaknya kekurangan kasih sayang. Meski dia belum bisa memenuhi segala kebutuhan Syifa dengan baik, tetapi dia berusaha agar sang putri bisa mendapatkan kasih sayang yang seharusnya dia dapatkan, termasuk juga perhatian yang tulus. “Kalau ada sesuatu yang membuat kamu nggak tenang, kamu bisa loh cerita ke Ayah. Ayah akan selalu siap sedia mendengarkan,” kata sang ayah menghibur. Syifa tersenyum penuh syukur. Dia merasa beruntung memiliki sosok ayah seperti ayahnya. Betapa berharganya perhatian sang ayah bagi Syifa. “Nggak ada kok, Ayah. Ayah tenang saja,” jawab Syifa dengan enteng. Meski sebenarnya dia memikirkan beberapa hal, tetapi sebaiknya dia tak mengungkapkannya pada sang ayah. Syifa sendiri tak mengerti, mengapa dirinya merasa bahwa hal ini tak terlalu penting dan perlu untuk diceritakan. Ah, biarlah dia pendam sendiri saja, pikirnya. “Kamu yakin?” Ayahnya menatap Syifa dengan tatapan menggoda. Pria itu selalu dipenuhi selera humor dan canda tawa dengan putrinya. Kedekatan mereka sudah seperti teman, bukan hanya seorang ayah-anak. “Iya, Ayah. Syifa nggak apa-apa kok.” “Gimana sekolahnya hari ini? Apa semuanya baik-baik saja?” Sebuah pertanyaan yang rutin ditanyakan oleh sang ayah selalu dijawab dengan positif oleh Syifa. Selama bertahun-tahun menjadi korban bully Rere, Syifa tetap menceritakan semua hal-hal baik saja di sekolah. Dia tak mau dan tak akan sanggup menyatakan kejadian yang sebenarnya. Syifa tak ingin sang ayah jadi memikirkan dirinya dan merasa cemas. Akan lebih baik jika sang ayah tidak tahu. Begitulah pendapatnya. “Semuanya baik-baik saja. Seperti biasa,” kata Syifa. Gadis itu bangkit berdiri dan pergi menuju ke ruang dalam. “Syifa, makan dulu! Setelah itu mandi dan belajar!” ucap sang ayah. “Iya, Ayah!” balas Syifa dari ruang sebelah. Syifa tak dapat fokus belajar malam itu, sebab terlalu memikirkan ucapan peringatan yang diberikan oleh Amaya. Alhasil, gadis itu terus-menerus mengintip dengan curiga setiap kali mendengar suara ketukan pintu depan. Beberapa kali tamu berdatangan, semuanya pelanggan ayahnya yang datang untuk mengambil pesanan jahitan. Jantung Syifa berdegup makin kencang ketika malam turun semakin larut. Rasa cemas dan takut muncul di hatinya, entah mengapa membuatnya tidak bisa tenang. Ketika suara ketukan terdengar lagi pukul delapan malam itu, Syifa tak tahan lagi. Dia beranjak keluar dengan cepat dan menuju ke ruang tamu. Di sana, sang ayah memutar roda kursinya dan bergerak menuju ke pintu untuk membukanya. Syifa mengulurkan tangan untuk mencegah, tetapi terlambat. Ayahnya sudah membuka pintu dan menyapa seseorang yang sudah dikenalnya dengan baik. Ternyata itu adalah tetangga sebelah yang datang untuk mengambil jahitan. Syifa menghela napas lega. Gadis itu duduk di kursi ruang tamu dan memperhatikan sang ayah melayani pelanggan. “Ngapain kamu di situ?” tanya ayahnya heran. “Bukannya tadi lagi belajar?” Syifa menatap pintu yang tertutup dengan kecut. “Nggak apa-apa kok, Yah. Syifa ingin menemani Ayah saja malam ini.” “Loh, kok begitu? Kamu sudah belajar dan ngerjain tugas memangnya?” Syifa mengangguk. “Sudah, Yah. Syifa mau duduk di sini aja ya.” Pria itu menghembuskan napas. “Ya sudah, kalau begitu. Kamu mau belajar menjahit juga apa gimana? Nanti bisa Ayah ajari kalau kamu mau.” “Boleh,” balas Syifa dengan senang hati. Gadis itu memperhatikan bagaimana ayahnya bekerja. Sang ayah juga sesekali menunjukkan cara menjahitnya dengan detil kepada Syifa. Keduanya diselingi senda gurau, sehingga Syifa lupa sama sekali akan kecemasannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika Syifa akhirnya menguap lebar-lebar. “Wah, kamu udah ngantuk ya. Pantesan, udah jam segini ternyata. Sana, pergi tidur!” ucap ayahnya. Syifa merasa ragu untuk meninggalkan sang ayah sendirian. “Ayah sendiri nggak tidur?” Ayahnya malah menunjuk tumpukan kain di atas meja di dekat meja jahit. “Nanti saja. Ayah sedang ngerjain pesanan. Tuh, banyak banget. Alhamdulillah.” Syifa merasa bersyukur karena banyaknya rejeki yang didapatkan oleh ayahnya hari ini. Tetapi, mengapa perasaannya sendiri menjadi tidak enak? Apakah ini gara-gara ucapan Amaya? Syifa melirik jam dinding di atas kepala. Sejam lagi sudah masuk tengah malam. Sebagai seorang penjahit, ayahnya memang terbiasa begadang untuk menyelesaikan beberapa pesanan yang mendesak. “Syifa nggak mau tidur kalau Ayah nggak tidur,” tolak Syifa dengan manja. “Loh? Kok tumben kamu bersikap begini? Biasanya juga nurut sama ayah.” Syifa menggigit bibirnya dengan bimbang. Haruskah dia mengutarakan apa yang telah membuat dirinya risau sebenarnya? “Ayah, Syifa minta Ayah malam ini jangan begadang ya?” Ayahnya menoleh dengan raut wajah heran. “Ada apa sih, Nak?” “Engg, sebenarnya ....” Tok tok tok! Terdengar ketukan di pintu. Syifa dan sang ayah kompak melihat ke pintu. Sang ayah sudah bergerak hendak membukakan pintu. “Ayah, jangan!” cegah Syifa buru-buru. Sang ayah menatapnya dengan heran. “Kamu kenapa sih? Itu ada tamu, kok nggak boleh dibukain pintu?” Syifa menggelengkan kepalanya keras kepala. “Pokoknya jangan!” Ayahnya menatap Syifa dan pintu itu bergantian. Dia nampak bingung harus memilih yang mana. “Coba katakan alasannya dulu, kenapa ayah nggak boleh membuka pintu?” Syifa menarik napas panjang sebelum menjelaskan. “Ini kan sudah larut, Yah! Sudah bukan waktunya untuk bertamu. Siapapun yang ada di luar, pasti bisa mengerti kalau pemilik rumah sudah beristirahat dan tak mau diganggu.” “Kalau itu pelanggan gimana?” balas ayahnya. “Pelanggan kan bisa datang sebelum selarut ini. Mereka kan tahu kalau Ayah biasa menutup rumah sebelum pukul sepuluh.” Ayahnya terdiam. Dia masih berpikir untuk menuruti keinginan Syifa atau tidak. “Ayah, please ... Syifa minta malam ini Ayah langsung tidur saja ya? Kita abaikan saja ketukan itu. Besok pagi pasti siapapun itu bisa datang kembali,” bujuknya. Sang ayah mengangguk, mengalah pada putrinya. “Baiklah. Ayah akan merapikan ini dan mematikan lampu. Kita langsung pergi tidur saja.” Syifa menghela napas lega. Dia menunggu sampai sang ayah sudah selesai mematikan lampu sebelum dia masuk ke kamarnya. Syifa berbaring dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh tanda tanya. Suara ketukan samar-samar masih terdengar. Tetapi tak ada suara orang yang memanggil. Jantung Syifa berdebar-debar di dalam d**a. Dia merasakan campuran antara rasa takut, cemas dan juga penasaran. Siapa sih yang mengetuk pintu selarut ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN