Ajaib

1099 Kata
“Renita Cahya Kusuma melakukan hal itu katamu?” tanya seorang guru BK. Reza mengangguk dengan mantap. Dia duduk berhadapan dengan seorang guru yang terkenal galak dan killer. Terutama untuk anak-anak yang suka melanggar aturan sekolah dan membuat masalah. Guru BK selalu bisa menyelesaikan masalah dan menghukum anak-anak yang bandel. “Betul, Pak. Saya sendiri yang mendengarnya berkata demikian.” Guru itu menghela napas panjang. Dia adalah seorang pria paruh baya yang bertubuh gemuk dan berwajah bulat. Figur wajahnya mirip dengan tokoh Hercule Poirot dalam cerita detektif karya Agatha Christie. Dia menyandarkan badan ke kursinya dan menatap Reza seakan dia tak berguna. “Bagaimana menurut Bapak?” tanya Reza menuntut keadilan. “Hmm, saya akan memikirkannya kembali. Sekarang kamu bisa kembali ke kelasmu dulu,” sahut guru BK. Reza yang mengharapkan guru itu berbuat sesuatu untuk memberikan hukuman, merada kecewa. Dia membuka mulutnya kembali untuk memprotes. “Tapi Rere sudah melakukan tindakan yang membahayakan, Pak!” “Ya, ya. Saya tahu itu. Nanti saya akan mengurusnya. Kamu bisa pergi sekarang,” responnya lagi seraya mulai menyentuh berkas di atas mejanya. Reza tak mau menyerah begitu saja. Dia masih duduk di sana dan tak ingin beranjak sebelum guru BK itu melakukan sesuatu. “Saya sudah melaporkan tindakan yang harusnya mendapat hukuman ke Bapak. Tapi kenapa reaksi Bapak seperti ini?” Sang guru nampak tidak suka dengan ucapan Reza. Dia menatap anak itu dengan tajam, berusaha membuatnya mengerti tanpa perlu berkata-kata lagi. “Tolong Bapak hukum Rere dan teman-temannya. Mereka sudah berusaha mencelakai Syifa dengan sengaja. Itu artinya dia melakukan tindakan yang melanggar aturan sekolah!” “Saya nggak dengar adanya keterusterangan dalam penjelasan kamu tadi. Apa Rere memang mengakui bahwa dirinya sengaja melakukan hal itu? Tidak kan?” kata sang guru. Dia berusaha membela Rere meskipun dia tahu Rere salah. Bisa panjang urusannya jika dia berani menegur anak pemilik Yayasan sekolah ini. Jauh lebih baik jika dia mencari aman saja. “Tapi dia bersikap cuek tanpa adanya rasa bersalah sedikitpun. Dia mendorong tubuh Syifa hingga jatuh dari anak tangga ke bawah. Dia terkilir dan dibawa ke ruang UKS.” Guru BK nampak letih, karena Reza tidak juga mengerti. “Rere memang mengaku telah mendorong Syifa, tetapi dia tidak mengatakan bahwa dia melakukan hal itu dengan sengaja kan?” selidik Guru BK. Tatapan tajam guru itu mengintimidasi Reza. Cowok itu menggeleng pelan. “Memang tidak, Pak. Tapi saya yakin –“ “Sudah, cukup! Tidak usah dibesar-besarkan lagi. Saya yakin hal ini hanya merupakan kesalahpahaman saja. Rere tidak mungkin sengaja mendorong tubuh Syifa hingga jatuh. Itu hanya kecelakaan saja. Kecelakaan yang tidak disengaja.” “Tapi –“ “Reza, sebaiknya kamu kembali ke kelasmu sekarang juga!” potong guru BK dengan tegas. Reza hendak melayangkan protes lagi, ketika si guru sudah memelototi dirinya dengan tajam. “Kamu tidak ingin saya beri surat peringatan bukan?” ancam guru itu dengan kejam. Reza terpaksa menahan diri dan menelan kembali protesnya. Dia bangkit dan keluar dari ruangan itu dengan berat hati. Reza kembali ke kelasnya, dengan pikiran yang kesal dengan sikap guru BK tadi. Dia terus memikirkan cara agar Rere mendapatkan hukumannya meski tanpa bantuan dari guru. Jika dia tidak diberi pelajaran, maka bisa-bisa lain kali dia akan mencoba untuk mencelakai Syifa lagi. Dan dia tak ingin hal itu sampai terjadi. Sementara itu di ruang UKS, Syifa ketiduran selama beberapa saat. Ketika dia terbangun, dia mendengar suara yang samar-samar di dekatnya. Syifa membuka matanya perlahan, mencoba mengenali suara apa yang dia dengar itu. “Sssshhhsshhhsss!” Syifa tersentak kaget. Gadis itu langsung bangun dan terduduk tegap. Kedua telinganya siaga, untuk mendengar dengan lebih jelas. Apakah dia salah dengar? Suaranya seperti suara bisikan lirih, suara seorang perempuan. Tapi, kata-kata apa yang diucapkan, tidak terdengar dengan jelas. Syifa menunggu beberapa detik dan menyadari bahwa suara itu tak terdengar lagi, seolah menghilang begitu saja. Aneh, hawa dingin yang membuatnya merinding datang kembali. Syifa menoleh ke arah ventilasi udara di atasnya, nampak biasa saja. Dia mengira bahwa itu tadi mungkin adalah suara angin. Tapi itu tidak mungkin suara angin, pikir Syifa. Dia menatap sekelilingnya yang sepi. Petugas UKS pergi entah ke mana. Mendadak saja dia merasa menyesal telah menolak tawaran Reza untuk menemani dirinya di sini. Kriettt .... Syifa terlonjak kaget. Dia menatap pintu ruang UKS yang terbuka sendiri. Apa itu? Mengapa jantungnya berdegup begitu cepat? Syifa menelan ludah, merasa takut untuk melihat apa yang ada di balik pintu itu. Jangan-jangan .... “Amaya!” serunya girang. Syifa mengelus dadanya dengan lega ketika melihat sosok Amaya muncul di balik pintu. “Astaga, kukira kamu siapa. Sini, mendekat padaku,” ujarnya. Amaya mendekat, dengan rambut hitam panjangnya yang selalu terurai ke depan. “Kamu nggak masuk kelas?” tanya Syifa. Pikirannya kini sudah beralih dari hal-hal seram ke hal-hal yang biasa. Amaya menggelengkan kepalanya pelan. Dia berdiri di samping tempat tidur Syifa. “Loh, kenapa? Bukannya sekarang jam pelajaran pasti sudah dimulai?” Amaya tidak menjawab. Dia malah duduk di kursi dan tidak bergerak. “May? Kamu bolos demi jenguk aku?” Syifa menatap sosok itu dengan tatapan mata berbinar senang. Dia tersenyum dengan tulus. “Makasih ya, kamu udah bela-belain. Demi aku, kamu harus kehilangan satu jam pelajaran. Aku baik-baik saja kok. Sebentar lagi juga sembuh.” Amaya diam saja. Syifa juga sudah kehilangan topik untuk dibicarakan. Gadis itu menatap sosok Amaya yang dipenuhi kesan misterius. Dia ingin sekali tahu lebih banyak tentang Amaya. Tapi sayang, Amaya tidak terlalu banyak bicara. Dia lebih suka menyendiri dan berdiam. Sikap itu membuat Syifa kadang merasa canggung. “Kamu sudah sembuh,” ucap Amaya tiba-tiba. Syifa mengerjapkan matanya tak mengerti. Dia memikirkan maksud ucapan itu. “Apa maksud kamu, May?” “Ayo, kembali ke kelas.” Amaya bangkit berdiri, membuat kerutan di dahi Syifa semakin bertambah. Dia heran dengan sikap Amaya yang aneh itu. “Amaya?” panggilnya. Tetapi Amaya hanya menoleh sekilas dan memberi isyarat pada Syifa untuk mengikutinya. Syifa buru-buru bangun dan turun dari tempat tidur. Dia bersiap untuk menurunkan kaki kirinya ke atas lantai dan mengernyit. Biasanya rasa sakit akan langsung menyergapnya begitu dia menumpukan bobot tubuhnya ke atas kaki kiri. Tetapi, saat itu dia tidak merasakan rasa sakit sedikitpun. Syifa menatap takjub pada kakinya. Dia mencoba lagi untuk berjalan dengan lebih cepat. Benar saja, kaki kirinya yang tadi terkilir sekarang sudah tidak sakit lagi! “May, kakiku sudah sembuh!” serunya dengan senang. Amaya hanya berdiri memperhatikan di ambang pintu. Syifa bisa berjalan kembali dengan normal. Dia bahkan tidak pincang lagi dan bisa berjalan cepat seakan tak pernah terluka. “Ini aneh sekali,” ujarnya. Tetapi dia merasa senang hingga tak mau memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN