Syifa berjalan dengan tubuh membungkuk. Dia menunduk menghindari pandangan semua orang. Gadis itu kini berjalan di koridor di antara semua siswa sekolah itu yang telah bergerombol dengan teman-temannya masing-masing.
Syifa yang sendirian, datang agak lebih siang dari biasanya. Sengaja dia ingin menikmati waktu lebih lama di jalan, merenung dan menyesali diri. Dia merasa letih dan muak dengan sekolah. Terutama setelah apa yang terjadi kemarin. Rasanya dia ingin menghilang saja dari muka bumi, menghindari Rere dan geng. Itu jauh lebih baik dari pada harus menghadapi mereka lagi. Dan Amaya.
Entah apa yang dilakukan oleh gadis aneh itu. Yng jelas, jika hari ini dia kembali bertingkah, itu artinya dia sengaja. Dia ingin agar Syifa mendapatkan akibatnya. Kemarin Syifa sudah mengatakannya dengan gamblang. Jika Amaya tidak mendengarkannya, mungkin dia akan menyerah saja. Entahlah, menjadi korban bully selama dua tahun ini sudah cukup berat. Jangan sampai setahun terakhirnya di SMA juga hancur gara-gara Amaya.
DUK!
“Ups, sori,” ucap seseorang.
Syifa menoleh ke arah orang yang baru saja menabraknya. Dia mengenali wajah tampan Angga yang masib segar di pagi hari. Cowok itu bagaikan ssbuah keajaiban yang muncul tiba-tiba entah dari mana. Namun, hari ini senyum menawan yang dia berikan tak mampu menyingkirkan beban mental Syifa yang terasa berat. Jadi dia hanya menanggapi dengan sebuah senyum tipis.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Angga dengan raut wajah penuh perhatian.
“Ya,” dusta Syifa.
Gadis itu enggan berbicara dengan siapapun, termasuk cowok populer ini. Tidak hari ini, saat dirinya sedang amat tidak bertenaga untuk menghadapi entah apa yang akan terjadi.
“Kelihatannya kamu agak pucat. Kamu sakit?”
Pertanyaan yang pribadi dan menggelitik. Seandainya Syifa sedang dalam kondisi mood yang baik, dia pasti senang bukan main mendengar pertanyaan itu. Wajahnya pasti akan merona merah. Tapi tidak sekarang, dia hanya meringis seperti gadis aneh.
“Aku baik. Trims,” sahutnya singkat dan ingin segera kabur.
“Kalau sakit, sebaiknya cepat ke UKS saja,” saran Angga yang tidak mudah percaya.
“Nggak perlu. Aku baik-baik saja.”
Setidaknya dia baik-baik saja untuk saat ini, sebelum bertemu dengan Rere dan gengnya.
“Kamu yakin?”
Syifa mengangguk pelan. Entah mengapa dia ingin lekas melepaskan diri dari Angga. Padahal cowok itu sudah cukup baik untuk menyapanya.
“Aku pergi dulu,” pamit Syifa seraya melanjutkan langkahnya ke ruang kelas.
Angga mengangguk membiarkan dia pergi sambil terus memgawasi punggungnya menghilang di antara kerumunan orang.
Siapa sangka, diam-diam ada dua pasang mata jeli yang mengamati dengan tajam tak jauh dari sana. Dua cewek yang berdiri angkuh di tempatnya, melihat Syifa berbincang singkat dengan Angga.
Clara menyikut rusuk Rere dengan sengaja.
“Lo nggak lihat, sikap Angga ke Syifa?” pancing Clara memulai.
Rere mendesah panjang. “Itu bukan apa-apa. Dia hanya ramah. Angga itu memang terkenal ramah ke semua orang.”
Clara berdecak mendengar bantahan itu. “Tapi nggak ke Syifa. Dari semua cewek yang lewat di dekatnya dari tadi, kenapa harus Syifa yang dia sapa?”
“Karena kebetulan dia nyenggol Syifa di sana. Jadi terpaksa dia berbicara dengan cewek cupu itu.”
“Re, Angga itu terlalu baik. Dia udah berapa kali ini ketemu Syifa dan ngobrol sama dia? Ingat waktu di taman? Mereka berdua ngobrol cukup lama sambil duduk berdekatan, kayak teman aja.”
Rere menyipitkan matanya seakan sedang menatap kejadian itu.
“Angga memang terlalu baik,” katanya singkat.
“Lo nggak curiga? Jangan-jangan kebaikannya gara-gara dia naksir sama cewek cupu itu?”
Sebenarnya Rere juga memikirkan hal ini, tetapi dia tak pernah merasa terganggu sebelumnya karena dia tahu bahwa pemikiran itu tidak logis. Mana mungkin seorang cowok populer seperti Angga bisa naksir dengan cewek cupu semacam Syifa?
Tapi setelah Clara mengucapkannya dengan terang-terangan, dia kini merasa gamang. Benarkah hal itu?
“Nggak mungkin,” sergahnya cepat. “Emangnya itu masuk akal?”
Clara berdecak lagi, dengan kesal. “Gue cuma mau memperingatkan elo aja. Posisi lo nggak aman sebelum lo bisa menggaet Angga sepenuhnya. Jangan salahkan gue kalau tiba-tiba lo kehilangan Angga buat cewek cupu itu!”
Seharusnya Rere-lah yang bertekad seperti itu. Seharusnya Rere yang berpikiran begitu. Tapi kenapa Clara yang justru repot-repot untuk memikirkan nasib cintanya dengan Angga?
“Trims,” ucap Rere dengan nada tak yakin. “Gue akan ingat hal itu.”
“Saran gue, sebaiknya lo cepat-cepat bertindak. Siapa tahu Angga beneran suka sama dia. Gue sih nggak akan meremehkan kemungkinan itu.”
Rere menelan ludah berusaha menyingkirkan perasaan cemasnya. Tapi sia-sia, sebab ekspresi wajahnya dapat terbaca dengan jelas oleh Clara. Dia tahu bahwa Clara benar.
Dia tak boleh kehilangan kesempatan dengan Angga. Terutama untuk cewek cupu itu. Dia tak mau kehilangan gengsinya. Bagaimana dirinya, Renita Cahya Kusuma bisa kalah oleh gadis cupu yang bahkan tidak terkenal. Ke mana harga dirinya akan diinjak-injak?
Ketika istirahat makan siang, Syifa pergi ke kantin seorang diri. Dia duduk di meja pojokan seperti biasa, membuka kotak bekalnya yang disiapkan oleh sang ayah.
Dia sama sekali tak menduga kedatangan Reza siang itu. Sudah beberapa hari ini dia dan Reza tak saling bertemu, bukan karena pertengkaran tetapi karena kesibukan masing-masing. Syifa sih tidak sesibuk cowok itu, yang selalu kewalahan dengan jadwal latihan basketnya, jadwal ekstra lain serta masih harus mengikuti kelas bimbel yang diikutinya. Hal itu membuatnya jarang sekali memiliki waktu untuk bersama dengan Syifa. Tapi kebetulan saja kali ini dia melihat gadis itu duduk di kantin.
“Hai, Syifa,” sapanya dengan ceria seperti biasa.
“Hai,” balas Syifa tak terlalu bersemangat.
“Gimana kabarnya? Kamu kelihatan agak murung hari ini,” komentar Reza sambil lalu.
Syifa berhenti menyendok makanan. Dia merasa heran, bagaimana Reza bisa selalu tahu suasana hatinya.
“Hmm, hanya agak lemas saja.”
“Kenapa? Ada masalah?” tanya Reza kuatir.
Syifa buru-buru menggeleng. “Cuma nggak mood aja.”
“Btw, kamu suka kalungnya? Aku nggak melihatmu memakainya.”
Syifa mengerjap. Kalung apa?
Rupanya ekspresi wajah Syifa mudah sekali terbaca. Reza sampai harus mengernyitkan kening menatap gadis itu.
“Jadi, kamu belum membuka hadiah itu sampai sekarang?”
Oh, astaga. Syifa lupa sama sekali. Kotak berwarna pink itu masih tergeletak entah di mana di dalam kamarnya. Dan dia melupakannya sampai sekarang.
“Apa maksudmu? Tentu saja aku sudah membukanya. Trims, kalungnya cantik banget,” kata Syifa dengan cepatnya berkilah.
Tapi Reza bukanlah jenis orang yang mudah dikelabui. Dia tahu bahwa Syifa berdusta. Dia menatap mata gadis itu dengan tatapan sedih dan kecewa.
“Yah ... Kalau kamu nggak suka, nggak perlu dipaksakan. Aku nggak mau kamu berpura-pura di depanku. Itu sama sekali nggak perlu. Kalau kamu nggak suka, bilang aja sejujurnya. Aku membelinya karena aku pikir kamu akan menyukainya. Ternyata aku salah.”
Syifa membeliak, menatap cowok itu dengan keheranan.
“Nggak begitu, Za ... Aku hanya belum sempat membukanya saja. Akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang terjadi. Jadi, aku agak sibuk.”
Tapi ucapan itu rupanya tak dapat memperbaiki suasana hati Reza yang sudah terlanjur kecewa.
“Aku pergi dulu,” ucap Reza seraya bangkit berdiri meninggalkan meja.
Syifa tak berdaya mencegahnya. Dia hanya menatap Reza menjauh dengan mulut menganga, tak mampu mengeluarkan kata-kata.