Syifa sampai di ruang kelas tepat sebelum guru masuk.
Gadis itu duduk di tempatnya sendirian, mulai melirik ke sebelah kanannya, tempat kosong yang seharusnya diisi oleh Amaya beberapa bulan yang lalu. Kini dia merasa sedikit kesepian. Dia rindu duduk bersama seseorang, mengobrol dan sesekali bercanda di sela pelajaran yang rutin dan membosankan.
Sebenarnya dia mulai merasa rindu dan ingin sekali kembali memperbaiki hubungan pertemannya dengan Amaya, tetapi mengingat kejadian-kejadian akhir-akhir ini, sepertinya itu mustahil.
Kejadian kemarin terutama membuat Syifa semakin merasa marah. Bagaimana bisa Amaya bersikap secuek itu setelah menyaksikan apa yang terjadi?
Syifa merasa bahwa gadis itu mungkin memang sengaja ingin membuatnya dibully oleh Rere dan gengnya. Rasa kesalnya mengendap bercampur amarah yang belum tuntas. Jadi, dia bertekad untuk tidak lagi mau bicara dengannya apapun yang terjadi. Kecuali, jika keadaan yang memaksa.
“Syifa, kerjain tugas gue dan tugas Clara. Jangan lupa, besok harus selesai!” perintah Rere ketika pergantian jam pelajaran berlangsung.
Syifa mendongak menatap sosok Rere yang berdiri menjulang di depan mejanya, menatapnya dengan tajam dan mendominasi. Syifa hanya bisa mendesah pasrah dan mengangguk.
Dalam hati dia ingin sekali mengumpat dan berteriak padanya untuk menolak. Tapi, apa yang akan terjadi jika dia melakukan itu? Rere sudah pasti akan marah besar, lalu mulai mencari masalah dengannya hingga pada akhirnya gadis itu pasti akan mengadu pada ayahnya yang konglomerat dan mencabut beasiswa Syifa dalam sekali gerakan saja. Hidup Syifa pun berakhir.
Tidak ada beasiswa artinya dia tak bisa sekolah. Jika dia tak bisa sekolah, maka dia tak akan bisa bekerja. Tanpa pekerjaan yang layak, maka dia hanya akan berakhir menjadi beban sang ayah yang sudah mati-matian berjuang keras selama ini.
Pikiran ruwet itu memenuhi kepala Syifa dalam sekejap. Dia menggelengkan kepala dengan berat, merasakan dadanya terimpit beban yang tak kasat mata.
Dia tak ingin hal itu terjadi, maka dia bersikap menurut saja seperti seekor hewan peliharaan. Padahal hatinya menjerit protes, ingin mengakhiri semua ini.
Tahan, tahan .... Tinggal setahun lagi saja, batinnya berusaha tenang.
Dia sekarang di penghujung kelas dua, sebentar lagi sudah ujian kenaikan kelas dan dia akan menjadi siswa kelas tiga. Yang artinya, hanya tinggal setahun lagi saja sebelum dia lulus dari sekolah ini. Dan dia akan bebas sepenuhnya dari genggaman Rere.
Membayangkan hal itu membangkitkan semangat diri yang terpendam. Syifa bertekad ingin meraih nilai tertinggi agar bisa mendaftarkan diri ke universitas dengan beasiswa. Seandainya dia bisa.
Pikiran tentang masa depannya itu membuat Syifa melamun. Selama beberapa detik, Tania memanggil-manggil namanya dengan sia-sia. Karena kesal, Tania mengguncang bahu Syifa dengan keras untuk menyadarkannya.
Syifa mengerjap, pandangannya mulai fokus. Dia menatap Tania yang berdiri di hadapannya dengan bingung.
“Apa?” ucapnya tersentak.
“Lo ngapain ngelamun siang-siang gini?” tanya Tania berlagak ingin tahu.
Syifa mengangkat bahunya ringan. Jelas dia tak ingin Tania tahu apa yang dia pikirkan. Lagipula, itu kan bukan urusannya.
“Kamu mau apa?” Syifa balik bertanya.
“Nih, catetin punya gue sekaligus kerjain tugasnya. Besok udah harus selesai! Awas aja kalau enggak!” ucap Tania dengan nada memerintah yang sama dengan Rere. Dia lantas berbalik dan kembali ke tempat duduknya.
Syifa menatap setumpuk buku di atas meja di depannya dengan raut wajah lesu. Baru memandangnya saja sudah membuatnya letih. Belum lagi dia harus mengerjakan tugasnya sendiri. Hari ini sudah banyak tugas yang harus dia selesaikan untuk besok. Tak terbayangkan bagaimana dirinya akan sanggup mengerjakan semua itu sekaligus.
“Selamat mengerjakan,” ucap seseorang di balik bahunya.
Syifa menoleh, menghadapi tatapan tajam Amaya di belakangnya.
“Apa maksudmu?” sahutnya sengit.
“Nggak ada. Cuma mau memberi semangat,” ucap Amaya dengan gayanya yang cuek seperti biasa.
Mata Syifa menyorot tajam ke arahnya. Apa dia baru saja mengejekku? Pikirnya geram.
“Sebaiknya kamu urusi urusan kamu sendiri aja!” tukas Syifa.
“Yah, baiklah. Toh aku sudah berusaha membuatmu keluar dari lingkaran toxic ini.”
“Apa sih yang kamu bicarakan?”
Dengungan suara anak-anak lain di kelas itu menyembunyikan pertengkaran dingin antara Syifa dan Amaya. Untunglah, tak seorang pun yang menaruh perhatian pada mereka berdua.
“Seharusnya kamu melawan, seperti yang kukatakan. Nggak usah repot-repot menjadi kacung mereka,” kata Amaya mencoba memprovokasi.
Kening Syifa berkerut dalam, membuatnya nampak makin kesal dari sebelumnya.
“Terus, aku harus mendapatkan masalah dengan beasiswaku. Begitu?” sahut Syifa penuh emosi.
Amaya hanya mengangkat bahu lagi, menyatakan ketidakpeduliannya. “Terserah kamu. Kamu punya pilihan.”
“Aku nggak punya pilihan, kalau kamu nggak paham juga. Rere memegang kartu AS-ku. Jadi, aku nggak berkutik. Sesulit itu ya bagimu untuk berpikir?” balasnya dengan tegas.
“Itu bisa diatur nanti, jika kau mau melawan mereka—“
“Hentikan, May! Aku sudah cukup muak denganmu! Jadi sebaiknya kau diam saja dan tidak usah ikut campur urusanku!” bentak Syifa dengan tegas.
Amaya berdiam selama beberapa detik yang terasa sangat lama. Dengung kebisingan seluruh kelas masih terdengar, membuat suara keduanya teredam. Syifa dan Amaya saling tatap, intens dan tajam.
“Oke, terserah,” kata Amaya pada akhirnya. “Aku kan cuma ingin membantumu saja. Kalau kau tidak mau, ya sudah. Itu pilihanmu. Tapi aku tetap akan melawan mereka.”
“Apa?”
Syifa mengerjap seolah tak percaya. “Kau masih mau melawan mereka?”
“Tentu. Aku tidak seperti kau yang mau saja menjadi kacung mereka. Aku tidak sebodoh itu.”
Rasa marah menjalari tubuh Syifa mendengar dirinya dikatai bodoh oleh Amaya. Dia tidak tahu apa-apa. Bagaimana bisa mengatai Syifa bodoh?
“Kau tidak—“
Ucapan Syifa terhenti di sana, karena saat itu tiba-tiba saja suasana seluruh kelas menjadi hening. Syifa menoleh ke arah pintu, bersamaan dengan Amaya. Keduanya lantas bergegas kembali ke tempat duduk masing-masing seperti yang lainnya. Sebab, guru sudah melangkah masuk ke dalam kelas dan jam pelajaran berikutnya sudah dimulai.
Syifa melirik ke arah belakangnya secara singkat, mencoba memberikan peringatan kepada Amaya. Namun sia-sia saja, karena pandangan Amaya lurus ke depan tanpa menggubris Syifa sama sekali.
Jangan sampai dia mencari masalah lagi, pikir Syifa dengan getir. Dia harus mengingatkan diri sendiri agar waspada, memperhatikan tingkah laku Amaya. Sebab nasib dirinya kini berada di tangan gadis itu juga.
“Ah, sial sekali hidupku. Kenapa aku harus berurusan dsngan anak-anak itu secara terus-menerus sih?” gumamnya kesal sendiri.
Dia hanya berharap agar hari itu segera berlalu tanpa masalah. Dan dia salah.