Pertengkaran

1055 Kata
“Apa yang kau lihat?” bentak Syifa kepada Amaya. Sosok gadis aneh itu berdiri dengan diam di tempatnya. Dia hanya mengamati saja ketika Syifa perlahan-lahan terisak dalam diam. Amaya mulai melangkah mendekat, bingung harus berbuat apa. Gadis itu mengulurkan tangan, hendak meraih tubuh Syifa. Syifa berjengit ketika sentuhan lembut itu mengejutkannya. Namun secepat kilat, dia menampik tangan Amaya dan menatapnya dengan sepasang matanya yang merah karena air mata. “Apa lagi?” ucapnya sengau. “Kamu harus ganti baju,” kata Amaya. “Buat apa? Emangnya apa urusan kau?” balas Syifa dengan nada permusuhan. Amaya berjalan makin mendekat, berusaha meraih Syifa yang menangis. “Bersihkan dirimu,” katanya tenang. Syifa mundur menjauh, menatap Amaya dengan tatapan tajam serta penuh perhitungan. “Kamu tahu apa sih, May? Semua ini kan gara-gara kamu juga. Kan sudah kubilang, jangan cari masalah dengan Rere. Sekarang, lihat!” ucap Syifa berapi-api seraya menunjukkan dirinya sendiri. Amaya diam saja meski sorot matanya memperhatikan sekujur tubuh Syifa yang terbalut tepung dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Lihat aku, May! Semua ini gara-gara kamu!” sembur Syifa dengan air mata mengalir di wajah, menggoreskan sebuah garis samar di antara warna putih tepung. “Maaf,” ucap Amaya lirih. Syifa menatapnya tak percaya. Setelah semua hal buruk yang dialami olehnya, hanya kata maaf yang terucap. Rasa kesal mendadak memuncak dan membuatnya semakin sakit. “Hanya kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan,” balas Syifa dingin. Diusapnya air mata dengan punggung tangan. “Lalu, kamu maunya apa? Bukan aku yang bikin kamu jadi begini.” Syifa menyeringai sinis. “Ya, benar. Bukan kamu, tapi mereka. Dan mereka melakukannya karena kamu!” Syifa menunduk memandangi dirinya yang sudah mirip dengan ayam tepung, tinggal goreng saja. Amaya mendengus kesal. “Kamu dengar sendiri kan, apa yang mereka mau?” Amaya menyipitkan matanya, menatap Syifa dengan rasa tak senang. “Mereka hanya cari masalah saja. Jangan dengarkan mereka. Kalau kita terus menuruti mereka, sampai kapanpun kita akan terus menjadi bawahan mereka. Rere pasti akan makin senang ditakuti dan akan bertindak makin seenaknya saja.” Syifa berdecak. “Terus, kamu ingin mengorbankan aku, gitu? May, plis deh, jangan hanya memikirkan dirimu sendiri. Kamu juga harus memikirkan orang lain, termasuk aku. Kamu tahu sendiri kan, apa akibatnya sikap melawanmu itu bagiku?” “Kita akan melawan mereka bersama-sama.” Ucapan itu membuat perasaan Syifa semakin ironis. Baru kali ini Amaya memanggil ‘kita’ untuk melibatkan Syifa dalam perlawanannya. Tetapi, jelas itu bukanlah hal yang ingin didengar olehnya saat ini. “Sudah cukup, May! Hentikan semua perlawananmu yang sia-sia ini. Nasibku sekarang ada di tanganmu. Sial atau beruntungnya aku tergantung pada sikapmu. Jadi, kalau kau memang masih peduli padaku, sebaiknya kau berhenti.” “Justru karena aku peduli, makanya aku akan membelamu. Tak akan kubiarkan kau disakiti lagi oleh mereka. Tak perlu takut, Syifa,” bujuk Amaya mencoba memberikan penawaran. “Tidak,” tolak Syifa menggeleng tegas. “Seperti yang aku bilang, hentikan saja. Aku sudah letih, Amaya. Tak perlu membuat perlawanan yang tak ada ujungnya ini. Menjadi musuh Rere bukanlah sesuatu yang baik.” “Tapi kita tak bisa begini terus. Kita harus membalas mereka.” Syifa berdecak sebal melihat sikap Amaya yang keras kepala. “Kumohon, Amaya. Hentikan saja. Menyerahlah! Sikapmu akan membuat aku dibully oleh mereka. Tolong, hentikan setahun ini saja. Setidaknya sampai beasiswaku berakhir.” Nada bicara Syifa yang nyaris menyerah itu membuat hati Amaya sedikit luluh. Dia balas menatap Syifa dengan sedih. “Kamu sudah menyerah seperti ini saja?” “Ya. Aku menyerah. Sejak dua tahun yang lalu aku sudah menyerah. Dan kamu, jangan sesekali berani melawan Rere, kalau kamu tidak ingin aku membayar harga mahal untuk tindakanmu itu!” Usai mengucapkan uneg-unegnya, Syifa lantas menyambar tasnya yang tadi terjatuh dan lekas beranjak pergi. Dia tak menoleh lagi untuk terakhir kalinya, bahkan tidak peduli lagi apakah Amaya masih berdiri di sana atau mengikutinya pulang. Syifa terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Pandangannya buram oleh air mata yang terus tercurah sepanjang jalan. Orang-orang memperhatikan dia karena penampilannya itu. Syifa sadar, dia seharusnya mengganti seragamnya dengan seragam bekas di gudang sebelum berjalan pulang. Tapi kini sudah terlambat. Dia terlalu kesal untuk mendengarkan saran dari Amaya. Biarlah, nanti dia akan mengarang cerita lagi jika sang ayah bertanya. Yang penting sekarang adalah sampai di rumah dan melemparkan diri ke atas tempat tidur. Tak ada lagi yang lebih penting. Tubuhnya sudah letih dan energinya habis. Dia hanya ingin terlelap dalam ketenangan. Tapi rupanya kekuatirannya tidak terbukti. Ketika dia sampai di rumah siang itu, sosok Pak Burhan tidak nampak di ruang depan tempatnya biasa bekerja. Syifa masuk diam-diam, bersyukur sang ayah tidak ada. Entah ke mana perginya sang ayah. Bagaikan seorang pencuri, Syifa mengendap-endap ke dalam kamarnya dan lekas melepas pakaian sekaligus bersiap mandi. Dicucinya pakaian seragam yang berbalut tepung itu dengan sisa tenaganya. Ketika selesai menjemur pakaian, sang ayah sudah kembali dari tempat salah seorang pelanggan sambil membawa dua bungkus ayam goreng dari warung. Wajah pria itu berseri senang melihat kehadiran putrinya. “Syifa sudah pulang? Lihat nih, ayah bawa apa?” sapanya ceria. Syifa berusaha memaksakan seulas senyum, berusaha menutupi suasana hatinya yang sedang tidak baik. “Kita makan siang yuk,” ajak pria itu sembari menjalankan kursi rodanya ke dalam rumah. Syifa mengikuti di belakangnya. Mereka berdua makan dalam diam. Sang ayah rupanya tidak memperhatikan perubahan suasana hati Syifa. Gadis itu segera beranjak ke kamarnya dengan alasan belajar ketika dia sudah selesai makan. Pak Burhan hanya mengangguk kecil, kemudian kembali bergelut dengan jahitannya yang menumpuk di ruang depan. Berada sendirian di dalam kamar tanpa seorang pun tempat bersandar membuat Syifa menumpahkan perasaannya ke bantal. Dia menangis diam-diam tanpa suara, memeluk gulingnya yang setia. Air mata membasahi bantal tempatnya menyandarkan kepala. “Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Ini tidak adil,” gumamnya perlahan. Dalam benaknya terbayang Rere dan geng yang tertawa lepas menjadikan dirinya hiburan. Betapa beruntungnya gadis-gadis itu, terlahir dari keluarga berada, harmonis bahkan di atas rata-rata. Mereka bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Tidak seperti dirinya. Bahkan untuk menyelesaikan sekolah saja, dia harus rela menjadi bahan bully gadis-gadis itu. Padahal mereka tanpa perlu repot-repot hidup susah. Segalanya tersedia bagi mereka tanpa perlu berusaha. Mengapa kehidupan ini tidak adil? Syifa menangis tergugu, menumpahkan segala emosinya hingga ia merasa puas. Tak lama kemudian, dia jatuh terlelap dengan sendirinya. Terlalu lelah dan muak dengan segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN