“Aku senang karena kamu datang,” ucap Reza dengan wajah dipenuhi oleh keringat.
Syifa berjalan di sampinganya dengan tatapan risi. Dia tak suka melihat cowok yang berlumuran keringat terlalu berlebihan. Seperti Reza saat ini.
“Kita duduk di sini aja,” ajak Syifa.
Dia segera duduk dan merogoh tasnya. Reza duduk di sebelahnya dengan tenang.
“Ini,” ucap Syifa seraya mengulurkan sebuah sapu tangan putih miliknya.
Reza memelototi benda di tangan gadis itu.
“Ini untukku?”
Syifa mengangguk. “Untuk mengusap keringatmu.”
Reza tersenyum senang. Dia meraih sapu tangan itu dan mengusap sebagian keringat di wajahnya.
Untuk sesaat, keduanya duduk diam saja di sana. Reza terlalu girang dengan perhatian yang diberikan oleh Syifa, sementara Syifa sendiri tak menyadarinya. Dia sibuk melamun dan membayangkan sosok Angga.
“Ciyeee, pacaran nih ye!” seru suara di belakang mereka.
Syifa dan Reza serempak menoleh. Mereka melihat Rere dan gerombolan teman-temannya sedang berjalan sambil tertawa-tawa. Rupanya mereka sedang meledek Syifa dan Reza.
“Biasalah Re, bermesraan di sini kan hobinya Syifa.”
Syifa diam saja, menatap mereka dengan tatapan tajam. Mereka boleh saja membuat gurauan tentang dirinya. Tetapi, dia lebih tak senang diledek seperti itu.
“Wajahnya sih polos dan lugu. Masuk sekolah ini juga berkat beasiswa prestasi. Tapi, ternyata diam-diam pacaran mulu di sekolah!” ucap Clara memprovokasi.
Kali ini, emosi Syifa naik. Gadis itu bangkit berdiri, hendak membalas perkataan mereka. Namun, Reza memegangi lengannya. Dia berusaha untuk mencegah Syifa.
“Udahlah, nggak usah digubris, Fa.”
Syifa tetap menatap gerombolan itu dengan marah. Kata-kata yang meluncur dari mulut mereka begitu menyebalkan, membuatnya ingin sekali menampar mereka semua.
“Awas, si anak cupu mau ngamuk!” seru seseorang.
Syifa merasa dadanya naik-turun akibat kemarahan. Dia pasti akan menghajar mereka seandainya dia mampu. Tapi apalah daya, dia hanya seorang gadis biasa dibandingkan dengan banyaknya jumlah mereka. Jika dia nekat memukul salah satunya, maka selanjutnya pasti dirinya yang akan babak belur dihajar beramai-ramai oleh mereka.
Belum lagi masalah yang harus dia hadapi setelah itu. Posisi mereka semua lebih tinggi darinya, yang menyebabkan dirinya akan mengalami banyak kesulitan jika melawan.Syifa menggertakan gigi, merasa semakin marah atas keadaan yang tidak adil itu.
“Sudah, sudah, kamu nggak apa-apa kan?” tanya Reza menenangkan.
Syifa menarik kembali tangannya, mencoba menghindari tatapan Reza. Dia begitu marah sampai-sampai ingin menampik Reza juga.
“Kamu jangan sampai terpancing oleh mereka ya, Fa. Kamu kan tahu sendiri, gimana akibatnya kalau melawan mereka.”
Syifa mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Tapi mana bisa aku berdiam diri terus, Za? Aku nggak terima diperlakukan seperti ini terus!”
Reza menatap gadis itu dengan perasaan simpatik.
“Iya, aku tahu. Aku ngerti kok, gimana perasaan kamu. Tapi, lebih baik menahan diri setahun lagi saja. Dari pada kamu harus kehilangan beasiswa kamu. Ya nggak?”
Ucapan yang diharapkan Reza dapat menghibur Syifa itu malah menyulut emosi Syifa sdmakin tinggi lagi. Gadis itu tak berkata-kata lagi, lantas meraih tasnya di atas bangku dan melipir pergi.
Reza yang terkejut dengan sikap Syifa lantas melangkah mengikutinya.
“Syifa, tunggu!”
Syifa tak peduli. Dia terus berjalan dengan amarah yang terus menggelegak di d**a. Pandangannya bahkan terfokus pada lantai di depannya, tak peduli pada apa yang ada di depan.
Brukk!
Syifa terpental jatuh, dia tahu bahwa dirinya telah menabrak sesuatu atau seseorang.
“Aduh,” keluhnya kesakitan.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanya sebuah suara.
Syifa mendongak menatap sosok Angga. Seketika seluruh tubuhnya terasa beku. Dia tak mampu menggerakkan seujung jari pun.
“Enggg, Syifa?” ucap Angga dengan heran.
“Y-ya?” jawab Syifa dengan tergagap.
“Kamu baik-baik saja? Maaf ya, gara-gara aku nggak lihat jalan, malah jadi nabrak kamu.”
Ucapan itu seharusnya keluar dari mulut Syifa, bukannya Angga. Tetapi, cowok itu begitu baik sehingga mau meminta maaf atas kesalahan yang bukan miliknya. Angga bahkan memegangi tangannya, berusaha mengecek apakah ada yang terluka. Syifa merasakan debaran di dadanya seperti biasa ketika dia berada di dekat Angga.
“Iya, aku nggak apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf—“
Ucapan Syifa disela oleh kedatangan Reza.
“Loh, Syifa? Kamu kenapa?” ucap cowok itu dengan nada panik.
Sontak saja suasana yang indah berubah akibat ucapan itu.
“Woi, Angga, apa yang udah lo lakuin ke Syifa?” tuntut Reza dengan wajah marah.
Angga balas menatap Reza dengan kening berkerut heran. “Apaan sih?”
“Lo udah bikin Syifa jatuh. Lo sengaja ya?” tuduh Reza sembarangan saja.
“Udah, udah!” potong Syifa seraya berdiri sendiri.
“Ini bukan kesalahan Angga kok, ini kesalahan aku,” ujarnya mengakui.
Reza menatap gadis itu dengan tatapan tak mengerti. “Kenapa kamu belain dia, Syifa?”
“Karena aku yang salah,” sahut Syifa dengan cepat. Dia berpaling ke Angga.
“Maaf ya, aku udah nabrak kamu tadi,” ucapnya dengan lebih lembut.
“Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati ya,” sahut Angga dengan ringan.
Reza menatap kedua orang itu bergantian. Dia merasa hanya dirinya lah yang tak memahami situasi.
“Loh, gimana sih? Kok malah kamu yang minta maaf?” protesnya pada Syifa.
Tetapi Syifa tak menggubrisnya.
“Sebaiknya kita pergi!”
Syifa menarik lengan Reza untuk pergi meninggalkan Angga. Mengabaikan seruan protes dari Reza, Syifa terus berjalan dengan cepat. Dia memegangi dadanya dengan satu tangan, seakan ingin mencegah jantungnya melompat keluar.
Sungguh luar biasa efek yang ditimbulkan oleh Angga. Syifa baru menyadari bahwa dirinya sudah betul-betul jatuh cinta kepada Angga. Hanya dengan menatap wajahnya saja, bahkan melihat sosoknya dari kejauhan, itu sudah cukup bisa membuat dadanya berdebar kencang.
Selama dua tahun ini, perasaan kepada Angga bertumbuh makin besar. Dia sendiri tak tahu, apakah dia akan bisa mendapatkan balasan dari Angga. Tapi, dia merasa bahwa dirinya tak akan bisa selevel dengan cowok populer itu.
“Ini benar-benar tidak mungkin,” batinnya sendiri.
Dia dan Angga bagaikan pungguk merindukan rembulan. Tak mungkin dia, seorang gadis cupu bisa mendapatkan seorang cowok populer sekelas Angga.
Biarpun begitu, dia tak bisa berhenti menyukai Angga. Meski harus bertepuk sebelah tangan, dia rela. Bahkan jika harus patah hati, dia sudah siap.
“Syifa!” panggil Reza membuyarkan lamunan Syifa.
Gadis itu baru sadar jika dirinya masih menggenggam tangan Reza selama berjalan. Dia lekas melepaskan tangan Reza, yang terasa mulai lengket di tangannya.
“Oh, maaf!” gumam Syifa dengan rasa bersalah.
Reza tersenyum dengan salah tingkah. Keduanya berhenti berjalan di dekat ruang perpustakaan.
“Iya, nggak apa-apa kok. Malah, aku akan senang kalau kamu menggenggam tanganku lagi,” sahut Reza.
Entah mengapa, ucapannya barusan justru membuat Syifa merasa agak risi.
Keadaan sekolah sudah sepi, membuat Syifa merasa aneh.
“Gimana kalau kita—“
“Kita pulang sekarang?” potong Syifa dengan cepat.
Dia tak mau tahu apa yang ingin dikatakan oleh Reza. Yang jelas, dia ingin pulang sekarang.
“Ya, itulah yang ingin kukatakan tadi. Ayo, kita pulang bareng,” ajak Reza.
“Sebentar ya, aku ambil motorku dulu di parkiran.”
Syifa hendak menolak, tetapi Reza sudah keburu melesat pergi. Syifa menghela napas panjang dengan letih.