“Kamu kok sendirian, Fa? Mana Amaya?” tanya Reza siang itu.
Dia sedang duduk berduaan dengan Syifa di salah satu meja kantin. Syifa membuka kotak bekal makan siangnya dengan raut wajah cemberut. Dia nampak jelas sedang tidak dalam suasana hati yang riang.
“Entah,” jawab Syifa ringkas, tak ingin membahas soal Amaya.
Reza menatap gadis itu dengan bingung.
“Kok tumben sih kalian berpisah gini? Apa kalian berdua bertengkar?” selidik Reza dengan halus.
“Kok tahu?” sahut Syifa tanpa mengangkat wajah dari kotak bekalnya.
“Kan biasanya kalian selalu ke mana-mana berdua. Kok sekarang jadi jauh-jauhan gini. Pasti ada yang salah,” komentar Reza.
Cowok itu membuka makan siangnya yang hanya berupa roti lapis di kemas dalam plastik.
“Memangnya ada masalah apa sih, sampai kalian berdua bertengkar segala?” Reza bertanya ingin tahu.
Syifa mengangkat bahunya dengan ringan. Dia tak mau repot-repot menjawab pertanyaan itu. Menyebut-nyebut soal Amaya saja sudah cukup membuat dirinya sebal.
“Apa ini masalah serius?” tanya Reza lagi, seakan tak mampu membaca ekspresi wajah Syifa yang semakin penat.
“Ah, nggak tahu lah. Kamu kenapa sih bahas soal Amaya terus?” sahut Syifa dengan sewot.
Reza nyaris tersedak roti lapisnya gara-gara respon ketus Syifa.
“Ups, maaf deh,” ucapnya dengan tulus.
Syifa tak merespon. Dia menyantap bekal makan siangnya yang berupa nasi goreng cabai hijau buatan sang ayah. Gadis itu menunduk lesu, tak ceria seperti biasanya.
Reza memperhatikan ekspresi gadis itu dengan seksama, nampak prihatin sekaligus ikut sedih karenanya.
“Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menghibur kamu?” tawar Reza dengan sikap setulus hati.
Syifa menggeleng pelan, menolak niat baik tersebut. Terpaksa Reza berdiam diri, tak ingin mengganggu Syifa lagi.
“Ngomong-ngomong, nanti sepulang sekolah mau nonton aku main basket nggak?”
Syifa menghela napas panjang, merasa jengah. Namun karena Reza sudah menjadi temannya selama dua tahun ini, maka tidak baik untuk menolak undangannya itu.
Syifa mengangguk pelan. “Baiklah.”
“Yes! Akhirnya kamu mau nonton aku main basket. Aku jadi makin bersemangat kalau gini,” ucap Reza girang.
“Biasanya juga aku nonton kamu kan?” sahut Syifa dengan heran.
“Kapan?”
“Yah ... Kadang-kadang,” ucap Syifa lagi.
“Tapi hari ini aku akan bermain melawan timnya Angga. Pasti bakal seru banget deh, Fa. Aku bakal hajar dia habis-habisan nanti!”
Syifa mendongak menatap Reza ketika cowok itu menyebutkan nama Angga.
“Oh ya?”
Reza tersenyum bangga pada dirinya sendiri. “Iya dong. Pokoknya kamu harus dukung timku ya!”
Syifa mengerjap, merasa berada di dalam kebimbangan. Sebenarnya, kalau boleh memilih secara bebas, dia akan lebih mendukung timnya Angga. Tapi, tak mungkin dia mengatakan hal itu secara jujur kepada Reza, yang merupakan rival Angga. Bisa-bisa nanti dia malah ngamuk.
“Oke, aku dukung kamu,” ucap Syifa dengan setengah hati.
Usai makan siang, Syifa kembali ke dalam ruang kelasnya yang masih sepi. Tak ada seorang anak pun di sana, kecuali seorang gadis berambut panjang menjuntai menutupi wajah, yakni Amaya. Syifa menghela napas kasar sebelum pergi ke tempat duduknya.
Dia duduk tanpa melirik ke arah Amaya sedikitpun. Syifa pura-pura menyibukkan diri dengan buku materi pelajaran miliknya. Meski sebenarnya dia memikirkan sosok gadis itu.
“Apa yang sebenarnya dia pikirkan sekarang?” batin Syifa.
Dia begitu penasaran dan ingin sekali menoleh kepadanya. Tapi, demi harga diri, dia menahan hasrat itu. Dalam hati, dia terus membela diri. Siapa sih yang tidak akan menganggap Amaya aneh dengan segala tingkah lakunya dan kejadian-kejadian di sekitarnya itu?
Syifa mendengkus kesal. Dia heran, mengapa Amaya tidak mau membuka diri sedikit saja kepada Syifa. Setidaknya, untuk membuat hubungan persahabatan mereka menjadi membaik. Bukankah dia bilang sendiri, bahwa sesama teman harus saling mempercayai?
Syifa merasa bahwa Amaya memang sengaja menyembunyikan diri. Dia memiliki sebuah rahasia yang tak ingin dibaginya dengan siapapun. Itulah sebabnya dia tersinggung ketika Syifa berusaha mengorek informasi darinya. Tapi, rahasia apa itu?
Rasa ingin tahu Syifa disela oleh bunyi dering bel masuk kelas. Semua anak kembali ke tempat duduk masing-masing, mengabaikan dua sosok di kelas ini yakni Syifa dan Amaya. Keduanya bagaikan hantu yang tak terlihat oleh mereka.
Sepanjang pelajaran hingga bel pulang berdering, Syifa sama sekali tak berbicara kepada Amaya dan sebaliknya. Keduanya saling menjauh dan menghindar, bahkan ketika secara tak sengaja bertemu di kantin.
Siang itu, Syifa pergi ke lapangan basket yang berada tak jauh dari kelasnya. Dia sudah berjanji kepada Reza akan menyaksikannya main basket, meski sebenarnya bukan sepenuhnya untuk mendukung cowok itu. Melainkan, dia ingin melihat aksi Angga di lapangan. Dia berdiri di tepi lapangan yang sepi, menghindari kerumunan sekaligus ingin melihat secara sembunyi-sembunyi. Dia tak ingin Rere dan kawan-kawan tahu bahwa dirinya datang.
Permainan berlangsung sengit. Reza dan Angga merupakan kapten dari kedua tim yang berlawanan. Tim Reza bermain dengan energik dan penuh semangat, sementara tim Angga nampaknya santai-santai saja. Akan tetapi, di balik kesantaian tim Angga, mereka sebenarnya sudah biasa dan sudah cukup mahir memainkan tempo permainan ini.
Angga sebagai kapten tim bertindak santai tapi serius. Dia mengarahkan semua anggotanya untuk tidak membuang-buang tenaga menghadapi lawan, tapi memfokuskan pikiran mereka pada permainan. Alhasil, selama paruh pertama pertandingan, tim Angga sukses unggul dalam poin dibandingkan dengan tim Reza.
Anggota tim Reza bahkan sudah nampak mandi keringat. Tak sedikit yang ngos-ngosan karena kelelahan, termasuk Reza sendiri.
Syifa melihat Angga tetap santai dan tenang, seakan dia tak terusik oleh lawannya. Benar-benar pesona yang sulit untuk ditolak.
Nyaris semua gadis di sana meneriakkan nama Angga dan mengelu-elukan tim itu. Tetapi tak ada satupun yang nampak memberikan dukungan untuk tim Reza. Syifa merasa prihatin atas kejadian itu.
Priiiiittt!
Peluit sudah ditiup panjang. Itu artinya pertandingan kini sudah berakhir. Reza melemparkan bola basket sembarangan. Dia merasa dongkol setelah timnya kalah dari tim Angga. Dia berjalan gontai ke tepi lapangan.
Kebetulan saat itu Syifa melihatnya. Segera saja Syifa menghampiri Reza yang nampak murung itu.
“Za, Reza!” panggilnya.
Reza mendengar seruan itu dan menoleh. Dia nampak terkejut melihat sosok Syifa di sana, muncul secara tiba-tiba di balik sesemakan.
Syifa berjalan mendekatinya diam-diam, terpisah dari para anggota timnya yang lain.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya gadis itu.
“Kamu sejak kapan ada di situ?” Reza balik bertanya.
“Sejak awal pertandingan,” jawab Syifa pendek.
Reza mengangguk. Seketika rasa letih dan marahnya hilang. Dia menatap mata Syifa lurus-lurus.
“Jadi, kamu beneran datang dan menonton pertandinganku tadi?”
Syifa mengangguk membenarkan. “Kan kamu yang minta aku untuk datang?”
Reza nyengir lebar. Dia senang karena Syifa ternyata menepati janjinya.
Sementara Syifa, diam-diam melirik ke arah Angga berdiri tam jauh darinya. Dia dapat merasakan debaran di dadanya yang begitu keras. Namun, sekuat tenaga dia berusaha menyembunyikan perasaannya yang senang akan kemenangan Angga.