Sarapan Setumpuk Tugas

1083 Kata
Syifa sedang berjalan di koridor sekolah ketika mendadak langkahnya terhenti. Beberapa meter di depannya, nampak Amaya sedang berdiri diganggu oleh kelompok geng Rere dan kawan-kawan. Syifa mencoba mengamati mereka, ingin tahu mengapa Rere mengganggu Amaya pagi-pagi sekali. “Nah, itu temennya datang, Re!” seru Clara dengan riang. Tatapan mereka terarah ke Syifa. Gadis itu merasa ragu, hendak mundur atau tetap maju. Akhirnya dia memutuskan untuk menghadapi Rere apapun yang akan terjadi nanti. Syifa mengangkat wajahnya dengan berani, berusaha nampak tegar dan tidak terusik. “Stop!” ujar Rere seketika. Dia menghentikan langkah Syifa di dekat Amaya. “Kalian coba berdiri berdampingan deh,” kata Rere dengan tatapan mata yang tajam. “Nah, kalau gini kan enak dipandang. Cocok satu sama lain. Sama-sama cupu!” ujarnya seraya tertawa keras. Syifa diam saja, tak menggubris ucapan itu. “Lo berdua itu kenapa? Akhir-akhir ini gue lihat kok kayaknya nggak duduk barengan lagi? Apa kalian berantem?” selidik Clara dengan pandangan ingin tahu. “Itu bukan urusan kalian,” sergah Syifa ketus. “Oh, ya, benar juga sih. Emang bukan urusan kita. Tapi kan lo berdua udah jadi semacam ... Apa yah namanya? Pasangan cupu kelas kita.” Ledekan demi ledekan semacam itu sudah biasa bagi Syifa. Jadi, dia hanya diam saja menanggapi. “Jadi aneh nggak sih, kalau pasangan cupu kita berpisah?” ucap Clara dengan nada meledek yang sama. “Ngomong-ngomong, gue masih belum bisa menyingkirkan rasa curiga gue ke kalian berdua ya!” Syifa mengerutkan keningnya dengan heran. “Curiga apa lagi?” “Soal Tania,” jawab Clara pendek. “Kami sudah membuktikan bahwa kami nggak ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Tania!” bantah Syifa tegas. Segera saja ekspresi Clara berubah marah. “Lo nggak punya bukti apa-apa yang menyatakan sebaliknya. Dan meskipun gue juga nggak ada bukti, tapi gue masih percaya kalau kalian berdua ada hubungannya dengan kejadian itu.” Ucapan Clara membuat Syifa merasa jengkel. Ingin sekali dia membungkam mulut Clara yang pedas itu dengan sesuatu. “Jangan sembarangan menuduh orang!” gumam Amaya dengan nada kering. Clara tersenyum mencibir. “Terserah lo deh!” “Sekarang, kalian berdua harus beresin tugas-tugas punya kita. Nanti siang harus dikumpulin. Jadi, gue nggak mau tahu ya, pokoknya nanti siang udah harus selesai. Awas aja kalau nggak!” ucap Rere dengan nada memerintah. Syifa menatap gadis itu dengan pandangan tak suka. Sementara Rere dengan enaknya menyerahkan setumpuk buku tugas miliknya dan milik teman-temannya ke Syifa. “Kerjain yang bener! Awas kalau nilainya jelek, gue akan cabut beasiswa lo dari sekolah ini!” ancamnya lagi. Syifa terpaksa menerima semua buku itu dengan wajah cemberut. Dia tak bisa berkata apa-apa untuk melawan maupun membantah perintah itu. Jika dia menolak mengerjakannya, maka Rere sudah pasti akan melaksanakan ancaman tersebut. Dan beasiswa Syifa mungkin akan benar-benar dicabut. Syifa mendesah pasrah. Dia tidak akan bisa membiayai sekolahnya sendiri tanpa beasiswa. Padahal, kelulusan hanya tinggal setahun lagi. “Tunggu!” ucap Amaya dengan keras. Rere dan Clara yang sudah berjalan pergi, berbalik menoleh kepada mereka. “Apa lagi?” “Ada yang kurang jelas?” tanya Clara dengan nada sinis. Tanpa diduga, Amaya mengambil setumpuk buku itu dari tangan Syifa lalu melemparkannya ke Rere dan Clara. Semua buku itu berjatuhan di lantai dan membuat kedua gadis pembully itu membelalak kaget menatap Amaya. “Apa-apaan sih lo!” bentak Rere tak terima. “Itu tugas kalian, jadi kalianlah yang harus mengerjakan!” Kata-kata Amaya berhasil membuat emosi Rere memuncak. Dia berdiri di dejat Amaya dan nyaris menjambak rambutnya. Syifa berdiri di tempatnya dengan mulut terbuka lebar, tak tahu harus berkata apa. “Lo berani melawan gue?” ucapnya di sela-sela gigi yang terkatup rapat. “Berani. Kenapa tidak?” balas Amaya dengan cuek. “Lo itu bener-bener ya!” ucap Rere seraya mengangkat tangannya, hendak menampar pipi Amaya. Seketika Clara menghentikan tangan Rere. Dia mencegah Rere melakukan tindakan itu. Rere menatap penuh tanya pada sahabatnya, sedangkan Clara mencoba memberi isyarat agar dia tidak berbuat ceroboh. Kejadian sebelum-sebelumnya dengan Amaya sudah cukup membuat dirinya agak trauma. Dia tak mau kejadian itu terulang kembali. Rere yang menangkap sinyal tersebut, akhirnya menurunkan tangan, urung menampar Amaya. Tapi dia tetap berdiri berkacak pinggang dengan sok, menumpahkan rasa kesalnya pada mereka. “Beraninya lo melawan gue. Emang lo pikir lo itu siapa?” “Emang lo sendiri siapa?” balas Amaya dengan nada tidak peduli. Amarah Rere benar-benar sudah akan meledak. Dia nampak begitu kesalnya sampai harus menahan diri agar tidak menendang anak itu. “Udah, Re. Kita buktikan aja sama mereka, apa yang bisa kita lakuin kalau mereka berani melawan anak pemilik Yayasan sekolah!” sela Clara dengan nada mengancam. Syifa membuka mulutnya hendak mencegah, namun Rere sudah keburu pergi dengan marah. “Rere, Clara! Tunggu dulu!” ucap Syifa buru-buru. Gadis itu lekas memunguti buku-buku tugas yang berserakan dan berlari kecil mengejar keduanya. “Rere, tunggu! Re, please!” Rere dan Clara berhenti, menatap Syifa dengan jengah. “Biar gue yang kerjain semua tugas kalian. Tapi jangan bawa masalah ini ke Kepsek, plis!” pinta Syifa dengan sungguh-sungguh. Rere menyipitkan matanya menatap Syifa dengan angkuh. “Gue udah kesal sama lo berdua. Rasanya gue akan bawa masalah ini ke kepala Yayasan!” ucap Rere dengan ringan. Sepasang mata Syifa membelalak lebar mendengar ancaman itu. Dia bisa kehilangan beasiswanya jika Rere melapor pada sang ayah. “Jangan, Re. Plis, maafin gue. Gue akan lakuin apa aja yang lo katakan. Asal, lo jangan ngadu ke bokap lo ya?” Rere melirik Clara, yang nampak puas dengan tindakan itu. “Oke, gue akan pikir-pikir dulu. Asal, lo nurutin semua yang gue ucapkan, mungkin gue nggak akan bilang ke bokap gue.” Syifa mengangguk. “Iya, gue akan lakuin semua hal yang lo mau.” “Ya udah, kalau gitu, pergi sana! Nanti kalau gue butuh apa-apa, gue akan panggil elo lagi,” kata Rere dengan santai. Syifa mengangguk dengan patuh. “Eh, sebaiknya lo peringatin tuh temen lo yang aneh itu. Kalau dia masih mau sekolah di sini, jangan berani macam-macam sama kita. Kalau nggak, awas aja!” ancam Clara dengan nada rendah. Syifa mengangguk dan berbalik pergi. Dia berjalan di koridor dengan hati dongkol. Apa-apaan Amaya tadi? Kenapa dia berani melawan Rere dan Clara? Apa sih yang dia pikirkan sampai nekat berbuat begitu? Apa dia tidak memikirkan kelanjutan nasib Syifa jika dia terus bertindak seperti ini? Syifa menghembuskan napas kasar. Dia begitu marah dan kesal. Padahal hari masih pagi, tetapi dia sudah menjadi sasaran empuk Rere dan geng. Betapa menyebalkan seluruh hidupnya ini!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN