“Apa yang kamu maksud, Amaya?” tanya Syifa ingin tahu.
Gadis itu duduk berhadapan dengan Amaya secara langsung, menatap matanya dengan sorot tajam. Seakan Syifa ingin sekali menembus benteng pertahanan Amaya dan menyibak misteri yang ada di balik sikap misteriusnya.
“Aku tidak melihat siapapun. Aku tidak tahu siapa orang yang menolongku dan yang telah membunuh pria jahat itu,” ucap Syifa meyakinkan.
Amaya hanya tersenyum sinis. Dia tak mau membuka mulut untuk memberikan jawaban. Syifa yang merasa frustasi lantas mencoba untuk mengingat-ingat kembali momen waktu itu. Apakah ada seseorang di dekat sana yang mungkin telah luput dari pengamatannya?
Rasanya kok tidak mungkin, pikir Syifa. Dia sendiri bahkan tidak bisa melihat adanya Amaya di sekitar tempat itu. Yang dilihatnya hanyalah tempat sepi dan tak seorang manusiapun yang nampak batang hidungnya. Lantas, di manakah Amaya bersembunyi?
“May, kamu mengetahui peristiwa itu sendiri? Atau kamu hanya mengada-ada saja sih?”
Amaya menjawab dengan nada ketus. “Pikir saja sendiri.”
Respon itu tentu saja membuat Syifa semakin geram. Rasa ingin tahunya bukannya terhenti, tetapi malah semakin tersulut. Dia harus tahu.
“Aku merasa bahwa kamu memang menyaksikan kejadian itu secara langsung. Meskipun aku tidak tahu, di mana kamu bersembunyi saat itu. Apa kamu melihat aku yang berlari dari sana?”
Amaya mengangguk. Jawaban ini menegaskan pemikiran Syifa.
“Tapi kenapa kamu tidak memanggil aku?”
“Untuk apa?” balas Amaya cuek.
“Untuk memberitahu aku atau memperingatkan aku. Atau apalah. Masa’ kamu hanya berdiam diri saja di sana melihat aku diserang?”
Amaya mengangkat kedua bahunya dengan ringan.
“Kamu beneran melihat aku diserang kan?”
Amaya mengangguk.
“Jadi, kamu memang sengaja berdiam diri melihat pria itu mau menyerang aku? Apa kamu tidak mau menolongku?” tuntut Syifa, seakan ingin melimpahkan kesalahan kepada Amaya.
Meski sebenarnya dia tahu bahwa Amaya tidak memiliki salah apa-apa terhadapnya. Kejadian itu toh sudah berlalu dan dirinya tidak kenapa-napa. Hanya saja, dia merasa jengkel dengan sikap tak acuh Amaya. Masa’ ada seorang teman yang begitu cueknya ketika melihat temannya dalam bahaya? Apa sedingin itu hati Amaya?
“Oh, kamu memang ingin aku diserang barangkali? Kamu merasa lega dan senang ketika aku mengalami peristiwa mengerikan itu? Itukah sebabnya kamu diam saja.”
Ucapan Syifa yang bernada menuduh itu membuat Amaya balas menatapnya dengan tak senang. Raut wajahnya cemberut dan tak sorot matanya tajam.
“Seandainya aku yang berada dalam posisimu, May, aku pasti sudah memanggil bantuan untuk menolongmu. Meskipun hubungan kita memang sudah renggang, tapi aku tak akan setega itu membiarkan temanku berada dalam bahaya. Rupanya kamu sama sekali berbeda,” ucap Syifa dengan nada berapi-api.
Sudah lama dia ingin menyemburkan amarahnya ini. Perasaan tak dihargai oleh Amaya yang tersimpan selama ini telah membuatnya merasa pedih. Sebagai seorang teman, dia merasa bahwa Amaya sama sekali tak menganggap dirinya. Atau jangan-jangan memang selama ini Amaya tidak menganggap dirinya sebagai temannya?
“Padahal kupikir kamu ini anak baik loh, May. Sampai aku belain mati-matian waktu dibully oleh Rere dan geng. Tapi ternyata penilaianku selama ini salah. Kamu bahkan tidak peduli apakah aku hidup atau mati!”
GUBRAK!
Amaya menggebrak meja dengan begitu keras. Gadis itu berdiri menjulang di hadapan Syifa dengan napas menderu. Tatapannya tajam terarah kepada Syifa.
“Itu tidak benar!” bantah gadis itu dengan kedua tangan terkepal erat.
“Aku sudah menolongmu. Aku membuat kau lepas dari serangan itu. Kau pulang dengan selamat itu berkat aku!” ujar Amaya dengan d**a naik-turun seiring emosinya.
Syifa mengerjap dengan kaget, menatap hampa pada mantan sahabatnya ini. Benarkah itu?
“Bagaimana?”
“Apanya?”
“Bagaimana kau menolongku waktu itu? Apa yang sudah kau lakukan?”
Amaya berpaling. Kini dia tak lagi memandang Syifa. “Itu rahasia.”
“Apa kamu memanggil orang-orang dan memberitahu soal kejadian itu? Tidak kan? Kamu juga tidak pernah muncul untuk membantuku. Aku ingat betul bahwa waktu itu aku benar-benar sendirian. Tak ada siapapun di sana. Kalau memang benar kamu ada di sekitar situ, seharusnya kamu muncul dan membantuku. Atau setidaknya kamu melakukan sesuatu.”
“Aku sudah melakukannya,” ujar Amaya lagi. Kali ini nadanya tidak setegas sebelumnya. Tapi Syifa yakin bahwa gadis di hadapannya ini sedang berkata jujur.
“Kalau begitu, coba kau beritahu aku, di mana tempat persembunyianmu?”
Kata-kata itu keluar dari mulut Syifa bagaikan sebuah tantangan. Syifa ingin melihat sampai di mana kejujuran ucapan Amaya. Apakah seluruh ucapannya memang benar ataukah ada sedikit rekayasa di dalamnya. Kalau dia memang berada di sana, seharusnya tidak sulit untuk menyebutkan tempat itu padanya.
“Sudah kubilang, itu rahasia,” balas Amaya tak mau kalah.
“Oh, begitu. Ya sudahlah. Terserah padamu saja. Sekarang yang ingin sekali aku tanyakan adalah apakah kamu melihat seseorang yang telah melawan pria itu dan membunuhnya?” selidik Syifa lagi.
Dia toh memang ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini. Itulah yang mengganggunya selama ini. Jika dia bisa mengetahui siapa orangnya, setidaknya dirinya mungkin tidak perlu merasa resah terus.
Pasalnya, siapapun orang ini, telah menolong dirinya dari bahaya. Tapi, di sisi lain juga menempatkan Syifa ke dalam bahaya. Syifa sudah diwanti-wanti berulang kali oleh sang ayah bahwa ada kemungkinan si penolong ini bukan orang baik-baik. Jika seseorang berniat menolong, seharusnya dia bertindak dengan kepala dingin. Dia cukup membantu mengusir pria jahat itu pergi tanpa perlu membunuhnya dengan sadis.
Mengingat kondisi pria itu mati, membuat Syifa bergidik ngeri. Mungkin saja sebenarnya si penolong bukan berniat untuk menolong. Mungkin saja dia hanya kebetulan saja lewat dan membunuh pria itu di depan mata Syifa. Tetapi, siapa yang tahu jika seandainya Syifa berjumpa dengan orang ini berduaan saja? Bisa jadi Syifa-lah yang akan menjadi korban!
Keheningan menggantung di udara. Syifa masih mematung menunggu jawaban dari Amaya.
“Apa kamu melihat orang ini, May? Kalau iya, katakan padaku, siapa dia!” desak Syifa penasaran.
Amaya masih berdiri menatapnya tanpa berkedip.
“Aku tak bisa,” ucapnya kemudian.
Syifa menatapnya dengan rasa curiga.
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu.”
“Amaya, kalau kau berada di sana waktu itu, itu berarti kamu pasti melihat dia. Kamu pasti tahu siapa dia. Atau setidaknya dapat mengenali ciri-cirinya. Jangan pikir aku ini bodoh!”
Amaya menggeleng keras kepala. “Aku tidak tahu.”
Syifa menghela napas panjang, lelah. “Begini saja, katakan padaku apakah aku mengenalnya?”
Ekspresi wajah Amaya mendadak berubah. Dia menggeser bangkunya dan seketika berjalan cepat meninggalkan Syifa dengan terheran-heran.
“Aku tidak tahu!” ucapnya sekali lagi sebelum menghilang di balik pintu yang tertutup.