Perasaan Reza

1114 Kata
“Lo emang sengaja atau gimana sih, Ngga? Jangan-jangan lo emang niat bikin Syifa terluka buat hiburan lo doang?” Ekspresi wajah Angga nampak tersinggung dengan ucapan Reza. “Apaan sih, Za?” sahut Angga. “Kalau iya, gue bakal hajar elo sampai babak belur karena udah bikin Syifa celaka!” Syifa menatap kedua cowok itu bergantian, terutama Reza. “Hentikan, Za!” ucapnya melerai. Dia terpaksa bangun dari tempat tidur hingga kakinya yang terkilir makin terasa sakit. “Biar dia tahu rasa, Syifa. Aku nggak terima jika dia bikin kamu terluka,” ucap Reza dengan berapi-api. “Tapi bukan Angga yang bikin aku celaka, Za!” bantah Syifa dengan tegas. Reza menoleh menatapnya. “Kamu jangan nuduh dia sembarangan. Angga itu justru menolong aku di saat aku jatuh tadi. Kalau nggak ada dia, entah gimana caranya aku bisa ke UKS.” Reza sedikit melunak mendengar penjelasan itu. Tapi dia tetap mengawasi Angga dengan ketat. “Loh, kok malah bangun sih? Belum selesai ngurutnya,” ucap petugas UKS yang tadi pergi sebentar mengambil minyak urut. Angga lekas membantu Syifa naik kembali ke atas tempat tidur. Reza mendelik menatap Angga dengan tidak senang. “Lo bisa pergi aja sekarang. Gue bisa jagain Syifa sendiri,” desis Reza pada Angga. Angga hanya balas menatapnya dengan heran. Sementara Syifa yang juga mendengarnya langsung menatap Reza dengan tajam. “Za ... Sudahlah!” Reza terdiam. Dia makin tak senang ditegur begitu oleh Syifa. Padahal kan tujuannya baik, untuk melindungi Syifa dari cowok nggak bener bernama Angga! “Aw, sakit!” seru Syifa ketika kakinya diurut. “Kenapa? Sakit ya?” tanya Angga dengan wajah cemas. Reza menatapnya dengan tajam. “Sudah tahu, nanya!” “Lo kenapa sih, sewot banget sama gue? Syifa aja nyaman-nyaman aja tuh, kok malah elo sih yang kesal?” balas Angga tak terima. Syifa makin pusing dengan kelakuan keduanya. Dia melupakan rasa sakitnya sejenak dan berbicara pada mereka. “Sebaiknya kalian berdua keluar dulu deh, aku butuh istirahat,” ucapnya. Angga mengangguk meski dengan berat hati. “Ya udah, cepet sembuh ya Syifa. Dan lain kali hati-hati, jangan sering-sering terluka.” Syifa membalas dengan anggukan kecil, juga senyuman yang tertahan. Gadis itu berbunga-bunga mendapatkan perhatian semacam itu dari sosok Angga. “Kamu nggak keluar, Za?” tanya Syifa kepada sosok Reza yang malah duduk di kursi sebelahnya. “Nggak. Nanti siapa yang jagain kamu?” Syifa mengerjap sekilas. “Aku nggak apa-apa kok.” “Terus, siapa yang akan nganterin kamu balik ke kelas nanti? Kaki kamu kan masih sakit,” bantah Reza dengan keras kepala. Syifa tersenyum. Mau tak mau dia menghargai niat baik Reza untuk dirinya. “Aku kan bisa sendiri. Kamu nggak perlu nungguin aku.” “Nggak bisa. Nanti kalau kamu jatuh lagi gimana?” “Kamu terlalu kuatir sama aku, Za,” kata Syifa. “Jelas.” Jawaban singkat Reza itu membuat kening Syifa berkerut heran. “Kenapa kamu perhatian banget sama aku?” Mendadak tatapan Reza yang tadinya kesal kini melunak. Dia menatap wajah Syifa dengan lugu. “Aku ....” “Ya?” “Aku kan teman kamu, jadi wajar lah kalau harus perhatian,” kilah Rez dengan wajar. Syifa menghela napas lega. “Nggak perlu sampai seperti ini. Aku beneran baik-baik saja kok. Kamu nggak perlu kuatir. Lagipula sebentar lagi bel masuk kelas akan berdering. Sebaiknya kamu kembali ke kelas.” “Tapi nggak ada yang jagain kamu loh, Syifa ....” “Aku aman kok. Nanti juga kakiku akan sembuh.” “Kamu yakin?” tanya Reza memastikan. Syifa mengangguk dengan mantap. Cowok itu akhirnya mengalah. Dia bangkit berdiri dan keluar meninggalkan ruangan UKS. Reza menoleh sekali lagi melihat Syifa yang mengernyit kesakitan sebelum menutup pintu. Reza berjalan di koridor dengan rasa cemas. Cowok itu terus memikirkan Syifa, tanpa bisa membuang rasa cemburunya pada Angga. Dia mengenal Syifa pada hari pertama MOS di sekolah ini. Waktu itu, Syifa membantunya ketika dia dibully oleh beberapa orang anak lain. Dari semua murid yang ada, hanya Syifa yang berani maju dan membela dirinya. Kejadian itu sungguh membekas di hati Reza. Membuatnya jatuh kagum pada gadis itu. Hari-hari selanjutnya bisa ditebak. Syifa-lah satu-satunya teman yang dia miliki. Gadis riang dan lembut itu selalu bersedia menjadi temannya ketika dia sendirian. Mereka selalu ke mana-mana berdua, sudah seperti sepasang kekasih saja. Bahkan mereka pernah dirumorkan berpacaran. Syifa dan Reza tak ambil pusing dengan rumor itu, malah Reza merasa semakin senang. Sebab ia tahu, bahwa sejak hari-hari itu, dia telah jatuh hati kepada Syifa. Reza sangat peduli pada gadis baik itu dan rela melakukan apa saja untuk melindunginya. Akan tetapi, kedekatan mereka perlahan memudar disebabkan oleh terpisahnya mereka oleh ruang kelas yang berbeda. Jadwal pelajaran serta kegiatan ekstra yang berbeda juga. Meski begitu, jika terjadi apa-apa kepada Syifa, maka Reza akan menjadi orang pertama yang akan maju. “Andai saja Syifa sadar akan perasaanku padanya,” gumam Reza seorang diri. Dia berjalan sambil setengah melamun. Tak terasa jika dia telah salah masuk ruang kelas. Buru-buru Reza berbalik untuk keluar. Tapi, telinganya menangkap sebuah pembicaraan yang membuat langkahnya terhenti seketika. “Jadi, lo yang dorong tubuh Syifa sampai dia jatuh di tangga, Re?” ucap seseorang. “Gue nggak berniat begitu sih sebenarnya,” balas Rere dengan cuek. “Padahal gue cuma nyentuh punggungnya dikit doang. Terus tiba-tiba aja si Syifa itu jatuh terpeleset. Mana gue tahu kalau dia akan jatuh?” “Ya ampun Re, gue kira lo emang sengaja dorong dia sebagai balas dendam!” “Nggak, gue nggak senga—“ “Oh, jadi kamu yang dorong Syifa sampai dia jatuh dan terkilir?” sahut Reza dengan geram. Kerumunan teman-teman Rere menoleh dengan heran memandang cowok cupu dari kelas sebelah yang berdiri menantang itu. “Apa sih lo? Mau ngapain lo di sini?” “Nggak penting. Apa bener yang gue denger barusan?” balas Reza dengan tajam. “Yaaa ... Bisa dibilang begitulah.” “Lo keterlakuan banget, Re! Bisa-bisanya lo dorong Syifa seperti itu. Lihat dia sekarang! Kakinya terkilir. Kalau sampai dia kenapa-napa gimana?” Rere balas menatap Reza dengan tanpa takut sedikitpun. “Terus, lo mau apa? Kan gue nggak sengaja.” “Tetap aja lo itu salah!” kata Reza memberitahu. “Aduh, apaan sih nih anak cupu! Lo mau jadi sok pahlawan ya?” Kedua tangan Reza terkepal erat, berang dengan reaksi Rere yang secuek itu. Padahal gadis itu baru saja mencelakai Syifa. “Gue nggak terima kalau lo berani melukai Syifa. Sebaiknya lo pergi minta maaf ke dia sekarang juga!” Rere tertawa sinis. “Kalau gue nggak mau, lo mau apa emangnya?” “Lihat aja nanti! Gue akan melaporkan hal ini ke guru!” ucap Reza sembari menghentakkan kaki keluar kelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN