Sasaran Empuk

1116 Kata
“Kalau aku jadi kamu, aku pasti udah ketar-ketir,” ucap Syifa dengan pandangan tak senang. Saat itu dirinya sedang menatap Amaya yang diam si tempat duduknya. Usai konfrontasi sengit dengan Rere dan geng, gadis itu duduk kembali dengan tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tangannya sibuk menggambar di bagian belakang buku, seperti biasanya. Sementara Syifa yang merasa degup jantungnya baru bisa berdetak normal, duduk menatapnya dengan tajam. “Orang macam mereka nggak pantas ditakuti,” balas Amaya dengan tenang. Syifa menghela napas panjang. “Kamu sih enak, nggak menggantungkan diri sama mereka. Tapi tetap aja, jangan seenaknya sama Rere. Dia itu bisa melakukan apa saja. Jadi, saranku, lebih baik kamu menghindari permasalahan dengan mereka.” Ucapan itu mendapatkan respon berupa seringaian dari Amaya. Syifa nampak tidak senang dengan sikap cuek dan tak acuh Amaya. Hari ini dia sudah berani sekali melawan Rere secara terang-terangan. Besok-besok dia mungkin akan semakin keterlaluan. Siapa yang tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Rere jelas tidak akan tinggal diam membiarkan sosok seperti Amaya mengganggu hidupnya. Dia pasti akan melakukan sesuatu untuk membalas Amaya. Syifa sungguh tak dapat membayangkan entah apa yang akan dia lakukan. “Santai aja. Rere kan cuma manusia biasa.” Perkataan Amaya yang meremehkan itu membuat Syifa geleng-geleng kepala. “Jangan remehkan mereka, May. Kamu belum tahu aja apa yang bisa mereka lakukan sama kamu,” saran Syifa. Amaya mengangguk-angguk, sambil tersenyum muak. “Iya, iya ... Berapa kali kamu harus mengatakan hal ini?” Ucapan Amaya langsung membuat Syifa keder. Dia menatap tajam gadis itu, dengan perasaan tak senang yang semakin menjadi. “Niatku baik, hanya untuk memperingatkanmu. Kalau sampai kau kenapa-napa karena bermasalah dengan mereka, jangan sampai bilang aku diam saja ya!” kata Syifa kesal. “Trims, Syifa. Makasih untuk niat baikmu itu. Tapi aku bisa jaga diri sendiri.” Balasan telak itu membuat Syifa bangkit berdiri, lantas berbalik dan meninggalkan Amaya seorang diri di sana. Dia keluar dengan langkah-langkah panjang. Entah ke mana dia akan pergi, yang jelas dia tak ingin terus menghadapi Amaya yang bisa memancing kekesalannya. “Sombong,” gumam Syifa dengan sebal. Dia mendaratkan tubuhnya di atas sebuah bangku di taman. Raut mukanya nampak cemberut. “Awas saja nanti kalau dia dapat masalah, biar dia tahu rasa! Dia kira dia bisa mengatasi semua masalah seorang diri jadi tidak membutuhkan teman seperti aku,” lanjutnya terus mengomel sendiri. Syifa baru saja duduk di sana ketika dilihatnya di salah satu sudut sekolah ketiga gadis pembully itu sedang berdiri berdekatan. Dia dapat melihat mereka sedang berbicara serius hingga mimik wajah ketiganya nampak tegang. Syifa mencoba menerka, apa kira-kira yang sedang menjadi topik perbincangan mereka? Apakah mereka sedang menyusun sebuah pembalasan untuk Amaya? Dalam hati Syifa berharap agar Amaya mendapat pelajaran, meski tak perlu terlalu berlebihan. Kalau Rere sudah turun tangan, biasanya masalah yang akan dia timbulkan agak terlalu dramatis. Tapi kalau tidak begitu, mana mungkin Amaya mau mengerti ucapannya? Dia pasti akan terus melawan Rere dan menjadi musuhnya. Itu juga tidak akan bagus. Syifa mendesah panjang. Yang penting dia berharap agar dirinya tidak terlibat di dalamnya. Sepanjang hari itu dilalui dengan biasa saja. Syifa melewati semua mata pelajaran dengan tenang, tanpa adanya gangguan. Rere dan geng sepertinya sedang tak ingin mengganggu dirinya. Syifa bersyukur untuk ini. Tetapi, ketika bel pulang sekolah berdering siang itu, Rere mencegat langkahnya di depan pintu. Tindakan ini membuat Syifa waspada. “Kamu mau apa, Re?” tanya Syifa yang tidak mengharapkan masalah. “Lo tunggu di sini sebentar,” ucap Rere dengan nada memerintah. Syifa menatapnya tajam dan penuh tanya, tak tahu apa maksud perbuatan itu. “Nunggu apa?” Syifa kembali bertanya ingin tahu. “Ssssttt! Diem aja! Nanti lo juga tahu!” balas Rere dengan sengit. Syifa tak dapat melangkahi Rere di pintu, sebab tubuhnya menutupi jalan keluar dan tidak mengindahkan Syifa untuk membiarkannya lewat. Gadis itu meradakan sentakan adrenalinnya berpacu. Jangan-jangan dia akan menghadapi masalah baru. Itu akan membuatnya kesulitan. “Aku mau pulang, Re. Ayahku nungguin,” ucap Syifa mencoba membujuk. “Diem gue bilang!” bentak Rere tal sabaran. “Jangan berisik, cupu!” Syifa terdiam. Keinginannya untuk berontak kalah oleh nyalinya yang ciut. Bukan hanya beasiswanya yang terancam, tapi seluruh hidupnya jika dia memilih untuk melawan Rere. “Mana dia, Re?” tanya Tania beberapa detik kemudian. “Nih,” tunjuk Rere dengan dagunya ke arah Syifa. “Oh, oke. Bawa sini, Clara!” teriak Tania ke arah koridor. Syifa berdiri di tempatnya dengan tatapan bingung. Apa yang sedang mereka lakukan? Sementara Syifa bertanya-tanya sendiri, ketiga gadis itu sudah berkumpul dengan membawa sesuatu di dalam kantong kresek berwarn hitam. Pandangan Syifa beralih ke kantong itu dengan curiga. “Satu ... Dua ... Tiga!” seru Rere. Dia menghitung mundur seperti sedang merayakan tahun baru saja. Tapi, tunggu. Apa yang terjadi? Clara dengan sigap menaburkan isi kantong kresek itu ke atas kepala Syifa. Gadis itu terkejut bukan main. Dia memejamkan mata dalam refleksnya dan tak sempat menghindar. Yang dia rasakan adalah sesuatu yang menyiram tubuhnya, tetapi jelas bukan air. Ketiga gadis itu cekikikan menertawai. Syifa membuka mata dan yang dilihatnya adalah putih. Ternyata yang dilemparkan Clara padanya adalah tepung. Seluruh tubuh Syifa kini terbalut dalam tepung! Dengan agak kesulitan bernapas, Syifa mencoba membersihkan wajahnya dari tepung. Mencoba menatap ketiga gadis itu dengan seksama. “Apa-apaan ini, Re?!” ucapnya lantang ketika dirinya sudah dapat bicara lagi. “Ini hadiah buat elo, karena sudah menjadi pembela Nona Aneh bin Misterius di sana itu!” jawab Rere sambil tertawa. Syifa menoleh ke arah yang ditunjuk. Amaya berdiri di tempat tak jauh darinya, dengan tatapan mata tajam. Gadis itu berdiri diam mengamati Syifa. “Kenapa harus aku?” tuntut Syifa dengan perasaan marah dan benci. “Karena cewek aneh itu bakal melukai kami kalau kami melakukannya ke dia. Jadi, mulai sekarang, kalau dia berbuat aneh-aneh, maka elo yang akan menanggung akibatnya. Gimana?” sahut Tania dengan kepuasan yang tak dapat dia sembunyikan. Syifa melongo mendengar kata-kata mereka. Apa? Apakah dia baru saja salah dengar? “T-tapi ....” Bantahan itu ditelan lagi oleh Syifa, sebab mata Rere melotot marah kepadanya. “Lo nggak bisa protes, anak cupu! Karena beasiswa lo ada di tangan gue!” ancamnya dengan sengit. “Ini nggak adil, Rere!” pekik Syifa tak berdaya. “Bukannya ini bakal lebih seru? Mulai sekarang, lo yang harus mengendalikan sikap temen lo itu. Kalau dia berani melawan kami, maka elo yang akan kena imbasnya. Ngerti?!” Clara ikut mengompori. Syifa membuka mulut untuk mengeluarkan protes lagi, tapi ketiganya sudah beranjak pergi sambil tertawa puas. Syif berdiri di sana dengan air mata yang merebak. Ini nggak adil, nggak adil! Dilihatnya Amaya masih membeku di tempat yang sama, tak bergerak dan bereaksi. Tatapan Syifa tajam terarah kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN