“Syifa!”
Gadis itu terkesiap. Dia berada dalam suatu ruangan gelap dan kosong. Tak ada cahaya apapun di sini. Tapi dia tahu bahwa di suatu tempat yang tak dapat dilihatnya, ada seseorang atau mungkin lebih dari satu orang tengah mengamatinya, menatapnya dengan sepasang mata yang melotot lapar.
Perasaan tidak aman menderanya. Ia bagaikan seekor mangsa di sarang pembunuh. Mereka pasti akan menyergapnya segera, mengoyak tubuh Syifa dengan kejam dan mencabik-cabiknya hingga tak bersisa.
“Syifa!”
Panggilan itu lagi. Suaranya asing sekaligus akrab di telinga. Gadis itu berputar dalam gelap, bingung dan tak tahu arah. Dia mencoba mencari-cari sesosok wajah mengerikan, untuk melawannya. Tetapi tak ada apa-apa. Dia tak dapat melihat apa-apa dalam kegelapan pekat.
“Syifa!”
Panggilan itu semakin dekat dan jelas. Syifa merinding ketakutan, mulai terengah-engah kehilangan kontrol.
Di suatu tempat entah di mana, terdengar bunyi gedebuk-gedebuk keras yang tak jelas entah apa. Kemudian muncul suara rintihan, dengan sebuah tangan melambai-lambai di udara. Dalam gelap pun dia dapat merasakan betapa ngerinya. Gelap, bau anyir darah, suara rintihan dan bunyi gedebuk-gedebuk aneh.
“Syifa, bangun.”
Lalu suara panggilan itu.
“Syifa, bangun Nak.”
Kemudian sebersit kesadaran menyentaknya ke kesadaran. Gadis itu bangun dengan terkejut dan tiba-tiba. Sebuh pekikan kecil lolos dari mulutnya. Dia terengah-engah seperti habis berlari. Ditatapnya sosok lelaki di samping ranjangnya.
“Ayah,” ucapnya lirih.
Pak Burha sedang duduk di atas kursi rodanya selagi menyentuh bahu anak itu.
“Kamu tidak apa-apa?” Dia bertanya. Raut mukanya nampak khawatir. “Sepertinya kamu mengalami mimpi buruk.”
Syifa menatap sekelilingnya, ruangan kamar yang telah ditempatinya selama bertahun-tahun. Ruangan yang akrab dan hangat itu menatapnya balik dengan keramahan. Syifa mulai merasa lega, sebab dirinya berada di tempat yang seharusnya. Dia tidak sedang berada dalam suatu ruangan gelap dan kosong dengan sosok-sosok tak terlihat yang menunggu untuk menyergapnya. Dia aman.
Syifa menghela napas lega. Gadis itu menoleh ke arah ayahnya yang masih duduk diam.
“Aku nggak apa-apa, Ayah.”
“Kamu yakin? Barusan kamu menjerit dan bergerak-gerak gelisah. Apa kamu bermimpi buruk tentang kejadian itu?” selidik Pak Burhan.
Syifa tak dapat menyangkalnya. Memang dia telah bermimpi tentang kejadian mengerikan itu lagi. Rasanya bahkan seperti kenyataan bagi Syifa. Bau anyir darahnya, pemandangannya serta suasananya.
Syifa mengangguk pelan. Dia merasakan keringat di sekujur tubuhnya. Tangan ayahnya menepuk pelan pundak Syifa, mencoba untuk menenangkan dia.
“Sayang, tenangkan dirimu. Ayah membangunkanmu karena ada ... tamu yang ingin bertemu denganmu.”
Syifa menatap lelaki itu dengan heran. Tamu? Siapa gerangan yang datang ingin menemui Syifa?
“Siapa, Ayah?”
“Itu ... Sebaiknya kamu temui langsung saja. Ayah akan menunggu bersamanya di ruang tamu. Sementara itu, tenangkan dirimu dahulu lalu cucilah wajah agar kamu lebih segar.”
Syifa memgangguk, meski rasa ingin tahunya masih besar. Sang ayah mendorong kursi rodanya berbalik untuk keluar. Syifa menarik napas dalam dan mengembusknnya perlahan selama beberapa menit. Setelah tenang dan sadar sepenuhnya, dia beranjak ke kamar mandi dan mencuci wajah seperti yang disarankan ayahnya.
Syifa keluar ke ruang tamu setelah merapikan dirinya di depan cermin. Rupanya tamu yang dimaksud adalah dua orang pria dewasa berbadan tinggi gagah. Syifa mengamati wajah keduanya sekilas. Dia merasa yakin bahwa dia belum pernah bertemu dengan keduanya maupun salah satunya sebelum ini. Siapa mereka?
“Nona Syifa?” sapa salah satunya seraya bangkit berdiri dan mengulurkan tangan.
Syifa menyambut uluran tangan itu dengan jabat tangan ragu. Dia memaksakan senyum, tetapi rasanya lebih mirip seringai gugup.
“Ya, saya Syifa. Anda siapa?” sahutnya.
“Perkenalkan, saya Iptu Aiman dan ini rekan saya, Aiptu Made. Kami dari Kepolisian Jakarta Pusat ingin menanyai Nona tentang kejadian di bangunan terlantar di jalan Duren Sawit kalau Nona bersedia.”
Ucapan pria itu sangat sopan dan lembut. Kendati Syifa terkejut mendengar pangkat kedua orang ini, tetapi dia berusaha untuk tidak menampakkan rasa gugupnya. Sebenarnya dia tak ingin berurusan apapun dengan polisi. Akan tetapi, yah, apa boleh buat bila memang harus begitu.
“Baik, Pak,” ucapnya dengan pasrah. Dia duduk di kursi sebelah ayahnya dan berhadapan dengan kedua polisi itu.
“Menurut warga, Nona Syifa ini berlari keluar dari arah jalan Duren Sawit siang tadi. Betul?” tanya Iptu Aiman.
Syifa mengangguk.
“Bisakah Nona menceritakan apa yang terjadi?”
Syifa menelan ludah dengan susah payah. Dia berusaha menekan rasa gugup dan mencoba untuk rileks. Tapi ketika dia membuka mulut untuk mulai bercerita, suaranya terdengar gemetar.
“S-saya diserang, Pak,” ucapnya memulai.
“Diserang bagaimana?” dorong Iptu Aiman.
“Yah, begitulah. Waktu itu saya berjalan seorang diri. Lalu, tiba-tiba dari belakang ada yang menyergap saya.”
Iptu Aiman mengangguk-angguk paham. Syifa mengerti bahwa dirinya diminta untuk melanjutkan cerita.
Gadis itu duduk dengan salah tingkah, gemetar dan ngeri mengingat kembali kejadian itu. Pak Burhan menatapnya dengan simpati. Pria itu meraih lengan putrinya dan menyentuhnya lembut.
“Tenang saja, Nak. Kamu tidak perlu takut. Ceritakan saja kejadian itu seperti apa adanya. Ayah ada di sini, kamu tidak akan kenapa-napa.”
Mendengar ucapan itu, Syifa mengarahkan tatapannya pada sorot mata kalem sang ayah. Dari sanalah dia mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan.
Syifa mulai bercerita dengan runtut, mulai dari kepulangannya dari sekolah hingga akhirnya bagaimana dia bisa kabur dari bangunan dan penyergapan itu.
Kedua orang anggota polisi itu duduk diam mendengarkan selama Syifa bercerita. Sesekali dia meralat ceritnya dengan kacau, karena pikirannya sesng ruwet dan tak teratur.
Namun rupanya Iptu Aiman tidak mempermasalahkan hal ini. Mereka nampak tenang dan tidak mengintimidasi Syifa. Keduanya mengangguk ketika cerita Syifa selesai. Barulah saat itu Iptu Aiman menyuarakan beberapa pertanyaan agar cerita Syifa lebih mendetil.
Syifa menghargai bagaimana pria itu mengingat ceritanya dan tidak menyela sebelum ceritanya usai.
“Apakah kamu yakin ada orang lain yang datang?” tanya Iptu Aiman.
Syifa mengerutkan dahinya dengan serius, mencoba mengingat kembali semua detil kejadian di dalam kepalanya.
“Ya, Pak. Bahkan kedua orang pria itu mengecek ke luar.”
“Tapi kamu tidak tahu siapa dia dan bagaimana suaranya?”
Syifa menggeleng, dengan kecewa mengakui bahwa dia sama sekali tak melihatnya.
Iptu Aiman menanyakan beberapa hal lagi tentang orang misterius itu. Tapi Syifa terlalu sibuk dengan pelariannya sehingga dia tak dapat memberikan jawaban lain.
Sesi tanya jawab itu berlangsung selama setengah jam lebih. Syifa menjawab semuanya dengan jelas hingga Iptu Aiman dan Aiptu Made nampak puas.
“Baiklah, kalau begitu cukup sekian untuk saat ini. Kami akan terus mengusut kasus ini hingga tuntas. Terima kasih atas kerja samanya. Lain kali kami akan menanyai Nona Syifa kembali.”
Keduanya lalu bangkit berdiri dan berpamitan dengan sopan.
Pak Burhan mengantarkan kedua tamunya hingga ke depan pintu. Sementara Syifa jatuh terduduk di kursi dengan perasaan lega bercampur bingung.
Entah mengapa, dia merasa belum bisa lepas sepenuhnya dari kasus ini. Iptu Aiman tadi berkata bahwa dia akan menanyai Syifa kembali lain kali. Itu artinya, dia akan terjerat dalam kasus ini sampai semuanya benar-benar selesai. Gadis itu makin resah sendiri.