Sosok Ayah

1142 Kata
“Kamu nggak apa-apa kan, Nak?” tanya Pak Burhan dengan nada khawatir. Syifa mendongak menatap sang ayah, berusaha untuk tersenyum. “Iya, Syifa nggak apa-apa Yah.” “Untung saja kamu bisa pulang dengan selamat. Ayah tadi shock sekali sewaktu diberi tahu tentang hal ini. Ayah sampai nyaris jatuh dari kursi. Ayah pikir akan kehilangan kamu, putri semata wayang Ayah.” Pria itu nampak berkaca-kaca sewaktu berbicara. Syifa dapat memahami perasaannya. Kehilangan satu-satunya anggota keluarga yang tersisa tentunya sangat menyedihkan. Mau tak mau Syifa harus bersyukur juga, sebab dirinya masih diberi kesempatan untuk pulang dengan selamat. Jika seandainya tidak, maka entah apa yang akan terjadi dengan sang ayah. “Sudahlah, Ayah. Syifa kan sudah di sini sekarang. Syifa nggak apa-apa.” “Maafkan Ayah, Nak,” ucap lelaki itu dengan suara parau. Tanpa disangka, dia mengusap sudut matanya yang basah. Syifa beranjak mendekat, berlutut di dekat sang ayah. “Jangan nangis dong, Yah.” “Ayah gagal menjagamu, Nak. Ayah membiarkan kamu nyaris celaka. Ayah macam apa aku ini?” gumam Pak Burhan sedih. Ucapan itu membuat hati Syifa makin tercabik-cabik. “Jangan bicara begitu, Yah. Ayah adalah ayah terbaik yang Syifa miliki. Kejadian tadi bukan kesalahan Ayah, melainkan kesalahan Syifa sendiri. Harusnya Syifa tidak lewat di sana. Harusnya Syifa berjalan memutar.” Namun Pak Burhan tidak merasa terhibur. Dia masih menitikkan air mata kecewa. Sedetik kemudian dia memegang kedua bahu Syifa dengan dua tangannya. Menatap mata Syifa lekat-lekat, seakan ingin masuk ke dalamnya. “Kamu belum sampai di apa-apakan? Apa ada yang terluka?” Sepasang mata tua Pak Burhan meneliti setiap inci bagin tubuh putrinya dengan seksama. Syifa menggeleng, “Mereka belum sempat melakukan apa-apa. Hanya seragam Syifa yang agak robek karena ditarik paksa.” “Ya Allah, Nak ....” Air mata Pak Burhan menetes lagi, membuat Syifa juga merasa perih. Bayangan mengerikan itu memenuhi benaknya dengan kengerian yang tak terbayangkan. Syifa merinding merasakan tubuhnya yang nyaris saja tak suci lagi. “Nyaris saja. Kalau sekiranya terlambat sedikit, maka kamu pasti –“ “Ayah, tolong jangan katakan hal itu,” pinta Syifa dengan nada memelas. Dia kini turut menangis bersama ayahnya. Jika terlambat sedikit lagi saja, maka sudah pasti Syifa akan kehilangan harga diri serta tubuhnya. Dia pasti sudah dilecehkan oleh orang-orang tak beradab itu. Nyaris ... Seandainya si orang misterius tidak datang pada waktu yang tepat. Orang misterius. Mengapa kata-kata itu melekat di benaknya seperti lem? Syifa merasakan sentakan deja vu yang kuat. Seperti kejadian sebelumnya, kali inipun ada seseorang yang datang menolongnya. Dan identitas orang itu tidak pernah dia ketahui. Entah mengapa, tetapi Syifa mulai merasa bahwa itu bukanlah suatu kebetulan belaka. Dua kejadian yang serupa. Dua orang penolong misterius. Dua kali selamat. Syifa merasakan degup jantungnya berdentam-dentam di dalam d**a. Ada apa sebenarnya? “Besok Ayah akan bawa kamu ke rumah sakit, untuk mengecek apakah betul kamu baik-baik saja,” ucap Pak Burhan yang menyadarkan Syifa kembali. “Apa? Tidak perlu, Yah. Syifa yakin baik-baik saja. Tidak ada yang luka kok.” “Tapi, Ayah takut. Seandainya kamu sudah ... Sudah diapa-apakan tanpa kamu sadari—“ “Ayah bicara apa lagi? Sudah aku bilang, aku baik-baik saja. Tidak usah memikirkan hal itu lagi. Syifa tidak sempat disentuh sama sekali.” Pak Burhan menatap kaget putrinya. Ucapan Syifa yang tegas itu membuatnya tak bisa menyanggah lagi. Namun gurat cemas di wajahnya masih terlihat. “Baiklah kalau memang begitu. Syukur Alhamdulillah kamu masih diberi keselamatan.” Syifa sebenarnya berdusta. Dia memang belum sempat diapa-apakan lebih lanjut, tetapi tangan-tangan jahil kedua pria itu telah merayap di tubuhnya, meraba-raba bagian yang tak seharusnya. Syifa merinding, merasakan dirinya begitu kotor. “Nanti lain kali jangan lewat sana lagi ya, Nak. Ayah takut kalau kejadian ini akan terulang kembali,” pesan sang ayah. Syifa telah kehilangan air matanya yang mengering. Dia mengangguk tanpa ekspresi. Benaknya tertuju pada sosok misterius yang menjadi penyelamatnya. Siapa sebenarnya orang itu? “Ayah mau keluar sebentar, membelikan makan siang untuk kita. Kamu di rumah saja ya?” Syifa mengerjap. Dia menggeleng untuk menolak. “Syifa ikut Ayah aja,” ucapnya. “Jangan, nanti kamu lelah. Lagipula kamu pasti masih shock.” “Tapi, Yah ... Aku mau ikut,” rengek Syifa seperti anak kecil. “Jangan, Ayah ingin agar kamu aman di dalam rumah.” “Ayah, aku nggak mau sendirian di sini. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi?” balas Syifa ngotot. Pak Burhan menatap anaknya yang sudah tumbuh menjadi gadis remaja itu. Nampak pancaran ketakutan di matanya yang masih polos. Lelaki itu akhirnya mengangguk mengiyakan permintaannya. Lagipula di rumah ini tak ada yang akan menjaganya. Jadi, alasan demi keamanan itu percuma saja. Lebih baik kalau dia ikut bersamanya. Setidaknya dia akan menjaga putrinya dengan baik. Syifa menemani sang ayah berjalan ke warung mungil di dekat rumahnya. Sebenarnya dia tidak takut berada di rumah sendirian. Bagaimanapun, dia sudah terbiasa tinggal di rumah itu bertahun-tahun. Tak ada tempat yang lebih aman selain rumah. Tetapi, dia sedang tak ingin memikirkan semua hal tentang kejadian ini. Bayangan-bayangan itu pasti akan terus muncul dan menghantui dirinya jika dia berdiam diri sendirian. Lebih baik keluar, menghirup udara sedikit. Usai menyantap nasi bungkus dengan lauk seadanya, baik Syifa maupun sang ayah duduk di meja makan dalam diam. Keduanya sudah terbiasa menyantap makanan apapun yang sederhana. Tidak ada yang pernah memprotes jika makanan mereka sama sekali tidak mewah. Kehidupan sederhana itu adalah anugerah Tuhan, kata ayahnya sewaktu dia kecil dulu. Syifa teringat momen sewaktu dia dan sang ayah bisa hidup bahagia berdua saja. Tak pernah ada masalah. Tak ada orang-orang jahat yang mengusik mereka. Namun kini, tiba-tiba saja semuanya terasa menakutkan. Tinggal berduaan dengan seorang ayah yang tak akan mampu melindungi dirinya sendiri jika ada penyerang masuk ke rumah. Syifa merasa rentan dan tidak aman. Bagaimana dirinya akan mempertahankan diri jika seandainya hal itu benar terjadi? “Tidurlah, Nak. Kamu pasti capek sekali,” kata Pak Burhan memecahkan kesunyian di antara mereka. Syifa mengerjap, sadar dari lamunannya dan lekas bangkit berdiri. Tangannya hendak membereskan sisa makan siang ketika sang ayah memegang lembut lengannya. “Tinggalkan saja. Biar ayah yang bereskan,” katanya seraya tersenyum. “Syifa aja, Yah.” “Sudahlah, kamu pergilah istirahat. Ayah masih bisa mengerjakan semua ini. Setidaknya, hanya inilah yang bisa ayah lakukan.” Mendengar ayahnya mengucapkan hal itu, membuat Syifa mendadak diterpa rasa bersalah yang besar. Dia menggigit bibirnya, menahan air mata ketika melihat pria invalid itu mendorong kursi rodanya ke dapur dan mencuci peralatan makan yang sudah digunakan. Pria itu nampak agak kesusahan, mengingat kondisi tubuhnya. Tes .... Air mata Syifa menitik di pipi. Dia tak sanggup melihat sang ayah melakukan itu. Tapi sebagai anaknya, Syifa malah berpikiran bahwa sang ayah tak akan sanggup melindungi dirinya. Betapa memalukan! “Apa-apaan pemikiranku ini!” batinnya sendiri penuh sesal. Gadis itu melangkah ke kamarnya dan menutup pintu. Kemudian dia menangis terisak-isak hingga alam mimpi kembali menyambutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN