Cerita Syifa

1072 Kata
“Kita harus memberitahu Pak Burhan,” ujar salah seorang tetangga Syifa. Para warga yang perempuan sekarang sedang berkumpul di rumah Bu Erni, salah satu warga yang rumahnya terdekat dengan jalan ketika Syifa ditemukan. Mereka mengerubungi gadis itu, yang nampak kacau dan berantakan. Setelah didudukkan dan diberi air minum, gadis itu sudah mulai agak tenang, meski masih belum sepenuhnya pulih dari keterkejutan. Berbagai macam pertanyaan mengalir meminta jawaban, tentang apa yang terjadi, bagaimana dia bisa berada di sana, siapa yang menyerang dia dan sebagainya. Dan satu pun dari semua pertanyaan itu dijawab secara jelas oleh Syifa. Dia hanya menggumam dan menggeleng ketika pertanyaan yang sama diulang kembali. Syifa tak bisa menceritakan peristiwa mengerikan yang baru saja menimpa dirinya. Para warga akhirnya diam, mengerti bahwa gadis itu masih shock dan mungkin merasa trauma. Mereka pun menenangkan Syifa dengan sabar. “Biar saya saja yang pergi menjemput Pak Burhan,” tawar salah seorang Ibu yang tidak dikenal oleh Syifa. Gadis itu memegang lengan si ibu, berusaha untuk mencegahnya. Dia tidak ingin ayahnya tahu. Terutama karena dia tak mau membuat pria itu khawatir. Tetapi para warga sepakat untuk membujuk Syifa. Sebab ayahnya berhak untuk mengetahui apa yang terjadi kepada putri semata wayangnya. Jadilah ibu itu pergi, tanpa pencegahan lebih lanjut oleh Syifa. Dia hanya duduk di sana, menunduk menatap lantai. “Jangan takut, ayahmu pasti akan mengerti. Lagipula, mau bagaimana pun ditutupi, ayahmu nantinya juga pasti akan tahu,” ucap salah satunya. Syifa merasa hancur dan sedih. Sebentar lagi sang ayah juga pasti akan merasakan hal yang sama. Ayah mana yang tidak akan sedih mendengar kabar buruk seperti ini mengenai putrinya? Syifa merasa berdosa, ingin sekali menutupi kenyataan ini dari sang ayah, tetapi ucapan ibu-ibu itu ada benarnya juga. Jika bukan dari mulutnya sendiri, maka sang ayah pasti akan mendengar kabar ini dari orang lain. Dan jika itu terjadi, maka sang ayah mungkin akan merasa marah padanya sebab tak mempercayai sang ayah. Dia tak mau ayahnya berpikiran begitu. “Syifa!” jerit Pak Burhan di ambang pintu. Lelaki itu duduk di atas kursi rodanya yang didorong oleh wanita tadi. Syifa mendongak, menatap mata sang ayah. Keduanya diam selama beberapa menit, seolah membeku oleh waktu. Kemudian Pak Burhan mendorong kursi rodanya mendekat dan merentangkan tangannya yang rapuh ke Syifa. Gadis itu bangkit untuk membalas pelukan sang ayah. Di dalam dekapan itu, pertahanan diri Syifa hancur. Dia lebur dalam isak tangis yang sejak tadi dia tahan-tahan. Pak Burhan mengelus-elus lembut kepala putrinya. Dia tidak mengatakan apa-apa melainkan hanya duduk di sana, menyediakan sebuah sandaran kokoh untuknya. Ketika Syifa sudah merasa puas mencurahkan air mata, gadis itu beranjak mundur dan menyudahi momen itu. Sang ayah menatapnya dengan kerutan di sekitar matanya yang tampak jauh lebih jelas sekarang. Seolah dalam beberapa menit saja pria itu telah menjadi lebih tua beberapa puluh tahun. Syifa baru menyadari betapa rapuh dan tuanya sang ayah. Namun dia tersenyum, tulus dan hangat. “Kamu tidak apa-apa kan?” tanya Pak Burhan. Syifa mengangguk, meski kedua matanya kemudian memandangi dirinya sendiri dari atas hingga bawah. Keadaan tubuhnya yang kacau dan berantakan jelas menyiratkan yang sebaliknya. “Syukur kalau kamu tidak apa-apa. Sebentar lagi kita pulang, Nak,” ucapnya dengan nada lembut seperti biasa. Seakan-akan tidak ada hal buruk yang terjadi. “Pak Burhan, Syifa, ada yang ingin saya tanyakan.” Ucapan itu berasal dari ambang pintu, di mana salah seorang warga pria yang ditemui Syifa tadi berdiri dengan keringat bercucuran di wajah. Syifa menelan ludah kuat-kuat, mencoba menenangkan diri sendiri. “Ada apa, Pak?” tanya Pak Burhan ingin tahu. “Di dalam salah satu bangunan b****k itu, ditemukan dua buah ... Ehm.” Ucapan pria itu terhenti, seolah akan mengatakan sesuatu yang tak enak. Syifa mengerutkan dahinya bingung. “Dua buah apa?” “Mayat,” ujar pria itu. Mata Syifa membeliak kaget. Mayat? Tapi sewaktu dia meninggalkan tempat itu, salah seorang pria itu masih hidup! “B-bagaimana bisa?” ucap Syifa nyaris tanpa sadar. “Itulah, yang seharusnya saya tanyakan. Apa kamu tidak tahu apa yang terjadi, Syifa?” Pria tadi balik bertanya. Syifa membuka mulutnya melongo, lantas menggeleng. “Yah, kita harus menunggu laporan dari polisi kalau begitu,” ucap si pria lagi. “Polisi?” ulang Syifa seperti burung beo. “Kenapa ada polisi?” “Karena ini kasus pembunuhan.” “T-tapi ... Mereka menyerang saya.” Syifa mengeluarkan kalimat itu akhirnya, setelah mengumpulkan segenap sisa keberaniannya. Dia merasa deja vu, merasa sudah tak asing lagi dengan kejadian serupa. Syifa sendiri tidak tahu, mengapa dia selalu berada dalam posisi sulit begini. “Mereka berdua menyerang kamu? Coba ceritakan secara keseluruhan, apa yang sebenarnya terjadi.” Awalnya Syifa enggan, tetapi kemudian para warga membujuknya. Maka cerita itupun mengalir keluar begitu saja. Syifa kesulitan untuk menyusun semuanya dengan runtut, tapi setidaknya dia telah mengungkapkan semua hal yang diketahuinya. Gadis itu mencoba untuk tak melirik sang ayah selama ia bercerita. Dia tahu bahwa sang ayah pasti duduk dengan tegang di kursi rodanya, mencoba tidak gemetar mendengar penuturan Syifa. “Jadi, ada orang lain di sana?” gumam seorang warga heran. Syifa mengangguk, meski tak dapat menjawab pertanyaan siapa, bagaimana dan mengapa orang misterius ini muncul. “Kamu tidak mendengar suaranya atau melihat sekilas sosoknya?” “Tidak,” jawab Syifa cepat. Dia jelas sekali tak tahu siapa orang ini. “Wah, sulit kalau begitu. Mana bisa kita tahu siapa orang misterius ini. Tapi bisa saja, polisi melacaknya. Mereka kan selalu bisa melacak hal-hal semacam ini.” Mendengar kata polisi disebut kembali membuat tenggorokan Syifa tercekat. Dia merasa sesak, seakan keberadaan polisi justru akan menambah berat masalahnya. Mungkin saja, jika dia memang harus terlibat dal kasus pembunuhan. Para petugas itu pasti akan mendatangi dirinya dan meminta dia bercerita kembali. Apakah hal itu pertanda buruk jika dia berada di tempat kejadian perkara dan kabur dari sana? Syifa menggeleng dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu tidak mungkin, sebab dirinya hanyalah seorang korban. Ya, korban p*********n yang melarikan diri. Bukankah itu wajar dan masuk akal? Biarlah para polisi ini melacak siapa sosok misterius yang muncul ini, jika mereka bisa. Yang jelas, Syifa terlalu lelah untuk berpikir lagi. Tak menunggu waktu lama, warga membiarkan Syifa dan Pak Burhan untuk pulang ke rumahnya sendiri. Syifa segera mandi dan membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa kenangan buruk. Kemudian dia lamgsung melemparkan tubuhnya ke atas kasur tanpa mengisi perut terlebih dulu. Saat ini tidur jauh lebih penting dari pada makan. Gadis itu terlelap beberapa menit kemudian. Tenggelam ke dalam alam mimpi yang aman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN