Pergulatan di Koridor

1102 Kata
“Coba tebak, kemarin gue ketemu sama siapa?” Ekspresi wajah Rere sudah cemberut sepagi itu. Gadis itu berdiri di koridor sekolah yang panjang dengan Clara di sisinya. “Siapa?” sahutnya ingin tahu. Arthur, teman sekelasnya yang merupakan salah seorang pendukungnya mencegat langkah Rere demi memberitahunya hal ini. Padahal mood Rere sedang tidak baik. “Si cupu!” ucap Arthur dengan nada riang, seakan-akan bangga dengan berita besar yang dibawanya. “Oh ya?” respon Rere sembari mengangkat alisnya. “Terus kenapa?” “Apa lo minta tanda tangan dia atau gimana?” sindir Clara yang juga jengah mendengar cerita itu. “Dia pergi makan di warung ayam milik gue, sama laki-laki invalid. Kayakny sih bokapnya dia deh,” ujar Arthur lagi dengan lancar. Dia tidak mengindahkan respon kedua gadis itu yang nampak tak senang. “Oh, gitu.” “Sama sekali nggak penting,” ucap Clara dengan jelas. “Yah, gue pikir kalian berdua pengen tahu. Soalnya kan kemarin hari ulang tahun si cupu. Jadi, pastinya dia ngerayain ultahnya.” “Ya, ya. Kita udah tahu itu. Jadi, sekarang lo mau apa?” “Gue punya ide bagus. Gimana kalau kita kerjain dia sebagai hadiah ultahnya?” usul Arthur dengan cengiran lebar. “Kan udah kemaren,” sela Rere dengan muak. Jangankan untuk merencanakan sesuatu bagi Syifa, mendengar namanya saja sudah membuat mood Rere memburuk pagi ini. Jadi dia sama sekali tak ingin meributkan soal hal itu. “Kita bisa ngerjain dia lagi, Re. Lumayan kan, buat hiburan,” bujuk Arthur. “Arthur, denger ya, gue lagi nggak mood bahas soal si cupu. Jadi, sebaiknya lo pergi deh sekarang. Kalau nggak, gue yang pergi.” Arthur membelalak melihat reaksi cuek dari Rere. Dia merasa heran dan tak mengerti, mengapa dia berbeda pagi ini. Padahal biasanya Rere paling senang mengerjai Syifa. “Oke deh, gue pergi. Lain kali kalau lo butuh seseorang untuk mengerjai Syifa, panggil aja gue,” ujar cowok itu lagi sebelum melenggang pergi. “Dia kenapa sih, Re?” gumam Clara dengan nada heran yang sama. “Entah, gue nggak peduli,” tukas Rere tajam. “Hei, ngapain lo di situ?” bentak Clara dengan ketus. Nada suaranya yang tinggi membuat Rere menoleh ke arah yang dituju. Di sana berdiri Amaya, yang menatap mereka dengan sorot matanya yang tajam seperti biasa. “Lo lagi nguping percakapan kami ya?” tuduh Clara seenaknya. Amaya berjalan mendekat tanpa takut sedikitpun. Gadis itu nampak biasa saja bahkan tak terpengaruh oleh kuasa yang dimiliki oleh Rere di sekolah ini. “Heh, lo denger nggak sih apa yang gue bilang barusan?” Clara membentak, merasa marah akan respon Amaya yang datar. Amaya bahkan tidak mengindahkan ucapan Clara sama sekali. Dia berjalan santai dan tanpa beban, mendekati keduanya. Clara dan Rere saling tatap, bingung. Amaya terus berjalan, melewati kedua gadis itu begitu saja seolah mereka tak ada di sana. Sikap itu membuat amarah Clara semakin memuncak. “Heh, lo sengaja ya bersikap gini? Dasar aneh lo!” ucap Clara seraya menarik seuntai rambut hitam milik Amaya dengan kuat. Gadis itu berhenti melangkah, merasakan tarikan kuat di kepalanya. Rere yang melihat itu hanya berdiri diam, ingin tahu respon Amaya akan seperti apa. Di ujung tikungan koridor, Syifa berjalan tergesa-gesa. Dia baru berhenti beberapa meter sebelum Clara dan Rere berada. “Lagi ngapain mereka?” gumamnya sendiri dengan heran. Syifa mencoba menajamkan penglihatannya, ingin tahu siapa yang mereka serang kali ini. Melihat rambut hitam panjang yang ditarik-tarik oleh Clara, barulah Syifa menyadari bahwa sosok gadis itu adalah Amaya. “Lho, kok Amaya udah sampai duluan? Perasaan tadi dia jauh di belakang aku?” Perasaan aneh bercampur heran Syifa menyatu dengan rasa iba. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa rambut Amaya ditarik-tarik ke sana-kemari oleh Clara, pasti membuat gadis itu kesakitan. “Apa-apaan sih mereka!” ucapnya dengan marah. Syifa berlari mendekati mereka bertiga. “Clara, Clara! Kamu ngapain?” tanya Syifa seraya berlari mendekat. Kedua gadis pembully itu menoleh, menatapnya dengan jengah. “Nah, ini dia malaikat penolong lo udah datang,” ucap Rere dengan nada datar. Ucapan itu membuat Syifa tersentak beberapa detik. Dia sempat menatap Rere dengan tatapan penuh tanya sampai akhirnya perhatiannya kembali teralihkan pada Amaya. “Lepasin dia, Clara!” ucap Syifa seraya berusaha melepaskan cengkeraman tangan Clara di rambut Amaya. “Kenapa? Lo nggak terima kalau gue nyakitin dia?” Clara nyengir lebar meledeknya. “Bukannya lo berdua udah berantem dan pisahan ya?” Syifa diam tak menjawab. Dia dan Amaya boleh saja bertengkar dan tak saling tegur sapa. Tetapi, siapa bilang bahwa dia akan diam saja ketika melihat Amaya disiksa begini? “Lepasin, Clara! Kamu bikin rambutnya rontok,” ucap Syifa dengan ngeri. Dia memperhatikan beberapa helai rambut di tangan Clara yang terlepas dari kepala Amaya. Rere masih diam saja, bersedekap di sana seolah sedang menikmati pertunjukkan yang dipertontonkan kepadanya. Sementara Amaya nampak biasa saja, tidak menjerit kesakitan maupun memberontak. Syifa dan Clara saling berebut, keduanya ribut dengan rambut Amaya. Syifa ingin melepaskan tangan Clara darinya, sementara Clara sebaliknya, ingin mencengkeram lebih kuat lagi. Akhirnya Syifa berusaha menggelitik ketiak Clara dan membuat gadis itu menarik tangannya. “Heh, sialan lo cupu!” umpat Clara dengan marah. Genggaman Clara sudah terlepas. Syifa dan Clara saling tatap dengan marah. Keduanya terengah-engah akibat pergulatan sengit tadi. “Lo berani melawan gue demi membela si aneh ini ya? Awas aja lo, nanti lo akan lihat akibat dari perbuatan lo ini!” Ancaman itu tak membuat Syifa cemas. Selama bukan Rere yang mengatakannya, maka dia tidak akan terpengaruh. Meski sebenarnya bisa saja Clara menyuruh Rere untuk melakukannya. Dia akan meminta ayah Rere mencabut beasiswa Syifa. Tapi untuk saat ini, rasanya tidak mungkin di berbuat demikian. “Ayo, May!” ucap Syifa mengajak sosok Amaya pergi dari sana. Rere menatap tajam pada Syifa, tanpa mengucap sepatah katapun. Dia terus memperhatikan ketika kedua gadis itu berlalu pergi melewati koridor. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Syifa begitu keduanya sudah dekat dengan kelas mereka. Amaya hanya mengangguk singkat. “Rambut kamu rontok parah,” komentarnya lagi selagi meraba rambut Amaya yang menjuntai di punggung. “Nggak apa-apa.” “Bisa-bisa kamu botak kalau dijambak sekuat itu sama Clara.” “Nggak akan. Dia yang akan botak.” Syifa menoleh menatapnya dengan heran. “Clara?” Amaya mengangguk. Syifa sama sekali tak mengerti dengan maksud ucapan Amaya. “Kenapa Clara yang botak? Bukannya dia yang jambak kamu tadi?” Amaya tidak menjawab. Dia berlalu masuk ke dalam kelas tanpa menoleh. Dia duduk di tempatnya di belakang kelas sendiriam. Sementara Syifa duduk di tempatnya beberapa langkah di depan Amaya. Pikiran Syifa masih mencoba untuk memahami, apa maksud ucapan Amaya tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN