Siapa Sosok Misterius Itu?

1122 Kata
Jika ditanya apakah dia takut dan cemas, maka Syifa akan menjawab dirinya baik-baik saja. Meski sebenarnya dirinya memang merasa takut. Ketakutan yang aneh terhadap seseorang asing yang tak dia kenal, yang telah menolongnya untuk selamat dari serangan seorang pria jahat. Apakah itu wajar, takut pada penolongnya? “Dia mungkin orang jahat, tapi juga baik,” ucap Syifa sendiri di dalam kamarnya. Gadis itu merenung sendiri setelah percakapan panjang dengan sang ayah di dapur tadi. Dia kini duduk di atas tempat tidurnya dengan gelisah, memikirkan kembali sosok asing itu. Kejadian mengerikan hari itu kembali mengusik benaknya. Dia tak dapat tenang memikirkan kejadian itu. Berkali-kali dia berusaha menolak, tetapi dia selalu merasa seolah dirinya kembali ke tempat itu pada hari itu. Tubuhnya gemetar ketakutan setiap kali teringat bagaimana rasanya bersembunyi di balik pilar bangunan terbengkalai itu. Dia tak dapat menyaksikan langsung dengan matanya, tetapi telinganya menangkap berbagai suara mengerikan. Suara derakan keras, jeritan dan teriakan yang memekakkan telinga. Lalu aroma darah itu, semerbak merongrong hidungnya hingga dia merasa mual. Syifa menggelengkan keoala kuat-kuat, mencoba menyingkirkan bayangan mengerikan itu. Dia ingin menggali kembali kenangan tentang sosok orang asing itu. Apakah dia mengingat sesuatu dari sosok itu? Syifa mencoba berpikir. Otaknya berputar menggali apapun yang dia ingat tentang sosok misterius itu. Namun, tak banyak yang dia dapatkan. Dia hanya ingat beberapa hal kecil saja. Dia ingat suara orang itu, meski samar dan tak jelas, terhalang oleh suara jeritannya sendiri. Dia bahkan tidak dapat mengingat, apakah suara yang didengarnya itu adalah suara laki-laki atau perempuan. Lalu, dirinya diseret dan dilemparkan ke balik bangunan itu tanpa sempat menoleh untuk melirik orang itu. Tapi jelas, siapapun dia telah melihat Syifa di sana. Dia tahu bahwa Syifa ada di balik puing bangunan itu. Dia tahu bahwa Syifa ada di sana bersembunyi dan mendengarkan. Jika dia memang orang jahat, mengapa dia tidak menghampiri Syifa dan melukainya juga? Setidaknya hal itu akan membuat dirinya tidak dicurigai. Syifa telah menjadi saksi atas kejadian pembunuhan kejam itu. Mengapa dia tidak berusaha untuk melenyapkan Syifa? Gadis itu duduk dengan banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya. Dia menggeleng, mencoba menghalau satu per satu pertanyaan itu. Dia tidak akan dapat menjawabnya. Semuanya hanya akan menjadi pertanyaan tanpa jawaban jika dia tak mengetahui siapa atau di mana orang itu berada sekarang. “Syifa, jangan lupa kunci jendelamu!” ucap sang ayah dari balik pintu. “Iya, Ayah!” “Cepatlah tidur. Besok bangun pagi untuk ke sekolah!” Syifa memutar bola mata jengkel. “Iya, Ayah!” Dia bangkit ke jendela untuk memastikan bahwa dia telah menguncinya. Meskipun dia telah melakukannya tadi sore, tapi dia tidak akan membantah perintah sang ayah. Sepertinya lelaki itu ingin memperketat keamanan di rumah ini setelah mendengar cerita kejadian itu. Dia tidur malam itu dengan perasaan lega. Meski masih tidak tenang, tapi Syifa sudah tidak menyembunyikan apa-apa lagi. Dia tidak lagi mengalami mimpi buruk seperti kemarin. Keesokan paginya, gadis itu bangun dengan suara berisik ayahnya di dapur. Lelaki itu sedang menyiapkan sarapan bagi mereka berdua, serta bekal makan siang untuk Syifa. “Jangan lewat di jalan itu lagi. Mulai sekarang dan seterusnya, jangan lagi,” ucap ayahnya mewanti-wanti. Syifa mendongak dari nasi gorengnya untuk menatap sang ayah. “Iya, Ayah.” “Jangan pernah lagi lewat sana. Lebih baik mengambil jalan memutar tapi lebih aman dari pada harus lewat di jalan sepi itu. Kamu mengerti?” Syifa mengangguk sembari mengunyah makanannya. “Baiklah,” sahutnya ringkas. “Kamu janji?” Syifa menghela napas panjang. Ayahnya mengulurkan sebuah jari kelingking padanya untuk ditautkan, seperti anak kecil yang menuntut janji dari temannya. “Janji,” ucap Syifa seraya menautkan kelingkingnya. “Awas ya, kalau kamu ingkar janji. Ayah kuatir sama keselamatan kamu. Ayah nggak ingin kamu kenapa-napa.” “Iya, Ayah. Syifa paham.” Pak Burhan mengangguk puas, meski hatinya masih diliputi kecemasan yang sama. Rasa bersalah juga merasukinya. Dia tidak bisa melindungi putrinya ketika anak itu sedang membutuhkan bantuan. Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi kepadanya sampai kemarin malam. Dia merasa telah gagal menjadi orang tua. “Untung saja kamu masih selamat. Kalau tidak, ayah tidak akan bisa berhenti menyalahkan diri sendiri,” ucap pria itu seraya memandangi putrinya. “Ayah minta maaf, karena tidak ada di saat kamu membutuhkan ayah.” Syifa mengerjap. Dia meletakkan sendoknya di atas piring. Tangan kanannya meraih tangan sang ayah dan menggenggamnya kuat. “Ayah, jangan bicara begitu. Syifa bisa menjaga diri sendiri. Syifa pasti juga akan berusaha untuk melindungi diri dengan baik.” “Kalau saja ada sedikit luka di tubuh kamu, maka ayah akan—“ “Ssstt, Ayah, sudahlah!” sela Syifa dengan cepat. Dia mengerti betul bagaimana kecemasan sang ayah. Dia pasti tidak tenang memikirkan Syifa. “Nanti Syifa akan pulang lebih cepat. Pokoknya Syifa akan langsung pulang lewat jalan yang memutar.” “Baiklah. Tapi, kamu yakin kamu tidak apa-apa? Tidak ada luka sama sekali? Kamu tidak sempat diapa-apakan?” Syifa mengangguk lembut, mencoba menenangkan ayahnya. “Syifa nggak apa-apa.” Begitulah acara makan pagi itu berakhir. Syifa pamit kepada sang ayah untuk berangkat ke sekolah. Gadis itu berjalan sendirian melewati gang lain yang menuju jalan yang memutar. Kali ini dia sama sekali tak mau melewati jalan pintas yang sepi itu. Apalagi dengan mata awas sang ayah yang mengawasi punggungnya hingga dia membelok di tikungan. Syifa mempercepat langkah, sebab lewat jalan ini berarti dia harus menambahkan lima belas menit tambahan untuk berjalan kaki. Jika dia tak ingin terlambat, maka dia harus bergegas. Anehnya, dia melihat sosok gadis yang tak asing lagi baginya. Gadis itu berjalan beberapa meter di depan Syifa. Meski dia berjalan membelakangi Syifa, tetapi Syifa dapat mengenali bentuk tubuh serta ciri-ciri itu. Syifa memperlambat langkahnya dengan pikiran heran. Dia tahu betul siapa gadis itu. Itu jelaslah Amaya. Rmbut panjang menjuntai di punggung dan tas berwarna hitam itu, ditambah dengan postur tubuh dan caranya berjalan. Semuanya menguatkan dugaan Syifa bahwa itu adalah mantan temannya. Syifa tak ragu lagi, tetapi dia tak bisa berpikir. Bagaimana dia bisa bertemu dengan gadis itu di sini. Di mana sebenarnya rumah Amaya? Apa dia sengaja memutar jalan karena Syifa juga melakukannya? Tapi bagaimana bisa? Syifa menggeleng, menyingkirkan pemikiran itu dari kepalanya. Itu tidak masuk akal. Tidak mungkin dia sengaja mengikuti jalan yang akan Syifa lewati. Lagipula untuk alasan apa dia harus melakukan hal itu? Syifa memercepat langkah, bertingkah seolah tidak mengenal dan tidak melihat adanya Amaya di sana. Dia berjalan di sebelah Amaya tanpa mengatakan apa-apa. Dalam beberapa detik, dia sudah mendahului Amaya dan berkalan terus tanpa menoleh. Apakah itu hanya perasaannya saja atau tadi Amaya memang sedang melirik dirinya dan membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu? Syifa tak tahu. Dia tidak akan tahu, sebab kini jarak antar mereka berdua telah semakin melebar. Dan itu artinya Amaya tidak akan sempat mengatakan apapun yang ingin dia ucapkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN