Kejadian di Lapangan Basket

1015 Kata
Siang itu di lapangan basket, Rere dan gengnya berdiri di tepi lapangan untuk memberi dukungan kepada tim kesayangan mereka, tim Angga. Gerombolan yang terdiri dari gadis-gadis cantik itu bersorak sorai riang, meneriakkan nama Angga dengan lantang. Hari yang terik tak lantas menyurutkan semangat mereka untuk bersorak. Syifa mendekat diam-diam, berusaha mencari spot terbaik di mana dirinya bisa berdiri menonton pertandingan dengan tenang dan tanpa gangguan. Terutama dari Rere dan geng. Dia mencoba mendekat ke arah sesemakan yang menaungi salah satu spot. Dia berdiri di baliknya, mengintip ke arah lapangan dengan pandangan minim. Setidaknya, dari situ dia masih bisa melihat Angga sesekali. Sekakian berteduh dari teriknya matahari. “Terik banget sih, gue nggak tahan!” ucap Rere sembari mengipasi dirinya sendiri menggunakan tangan. “Lo kan punya kipas angin mini itu, Re?” “Ada, di kelas. Gue males ke sana. Capek.” “Lo mau gue ambilin?” tawar Clara. Saat itu Tania tidak nampak di antara gerombolan mereka. Mungkin dia langsung pulang, pikir Syifa yang berdiri cukup dekat dengan gerombolan itu. “Boleh deh, sekalian ambilin minuman dan camilan dari kantin,” perintah Rere yang sudah merasa dirinya penting sekali. “Oke, gue segera kembali,” ucap Clara. Clara berjalan melintasi pinggiran lapangan dan masuk ke koridor sekolah, menuju ke ruang kelasnya. Beberapa menit kemudian dia sudah kembali dengan membawa sebuah kipas angin mini berwarna jingga dengan sebuah kantong kresek berisi camilan dan minuman dari kantin. “Re, sejuk banget pakai kipas mini ini!” ucap Clara dari kejauhan. Dia memainkan kipas itu dan meniupkan angin segar ke area lehernya. Rere mendesah muak dari tempatnya berada. Dia menaungi diri dengan buku di atas kepalanya. Sayangnya dia lupa membawa topi hari ini. Padahal biasanya dia selalu memakai topi jerami besar itu jika hendak menonton pertandingan basket. Syifa meneguk air liurnya sendiri. Dia melihat betapa nyaman dan enaknya menjadi Rere. Gadis itu bisa minum minuman dingin yang nikmat dan menikmati semilir angin dari kipas angin mini. Betapa enak hidupnya. “Seger banget, Re. Besok gue juga mau beli kipas angin mini kayak gini,” ucap Clara masih memainkan kipas itu untuk dirinya sendiri. “Hhh, lo itu jangan norak deh, Clara. Kayak orang kampungan aja,” komentar Rere dengan sinis. “Habisnya enak banget, Re. Rasanya seger banget.” Rere membuka botol minumannya dan mulai menenggak jus jeruk dingin. “Rasanya kayak nggak semriwing gitu,” ucap Clara sambil memejamkan matanya, seperti seorang model iklan saja. Sesuatu yang tak terduga terjadi. Rambut Clara yang sedari tadi berkibar-kibar tertiup angin dari kipas itu, mendadak mundur dari kepalanya. Perlahan-lahan, rambut hitam sebahu itu terbang dan terlepas dari kepala Clara. Semua gadis dalam rombongan itu membelalakkan mata mereka, menatap kaget pada kepala Clara yang kini gundul tanpa rambut. Rere sampai tersedak minumannya melihat pemandangan itu. Dia tak hentinya batuk-baruk hebat sambil menunjuk-nunjuk kepala Clara. Clara membuka matanya, menatap Rere dengan kuatir. “Ada apa, Re? Lo kenapa?” Rere tak bisa menjawab. Dia masih berkutat dengan batuknya dan jemarinya terus menunjuk kepala Clara yang plontos. “Clara, kepala lo!” ucap seseorang dengan terpana. “Hah, kepala gue? Kenapa sama kepala gue?” Clara meraba-raba kepalanya, kemudian tangannya menyentuh area yang plontos tanpa rambut itu. Dia membelalak lebar, terkejut dengan apa yang dia rasakan. “Rambut gue—“ Ucapannya terhenti. Mendadak Clara diselimuti perasaan aneh. Dia menatap ke samping, ke arah rambutnya biasanya berada. Dia mengusap-usap kepalanya dengan kedua tangan, membuat kipas angin milik Rere terjatuh begitu saja. “Rambut gue kemana?!” seru Clara dengan panik. Saat itu terdengar suara riuh tawa dari seluruh lapangan. Tetapi itu bukan karena pertandingan basket. Malah pertandingan itu sudah buyar dengan sendirinya. Semua orang, termasuk para pemain basket menoleh ke arah Clara dan menertawakan kepalanya yang botak. Clara baru menyadari bahwa dirinya menjadi bahan tertawaan satu sekolah, ketika dia melihat rambutnya yang lurus itu dipakai oleh salah seorang anggota tim Angga. Dia berlari-lari memakai rambut Clara yang bagaikan wig. “Rambut gue!” teriaknya pada cowok tak dikenal itu. Tawa semua orang semakin lantang, mereka semua menunjuk ke arah Clara. Gadis itu merona merah, menyadari bahwa kepalanya yang polos kini ditertawakan. Dia segera menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Namun tawa tak berhenti sampai di situ. Gadis itu merasa dirinya deolah ditelanjangi dengan cara yang paling aneh. Clara yang panik mengambil sejumput sesemakan di dekatnya dan menutupinya ke atas kepala. Dia lantas kabur dan berlari secepat kilat meninggalkan tempat itu. Saat itulah Syifa yang berdiri membeku merasa kesadarannya kembali. Sejak awal, dia hanya berdiri di sana dengan mulut melongo lebar, tak kuasa mengalihkan pandangan dari Clara yang menjadi pusat perhatian. Dia sama sekali tak menduga bahwa Clara akan mengalami kejadian memalukan semacam ini. Terlebih lagi, dia dipermalukan di depan seluruh sekolah. Ini benar-benar kejadian yang langka. “Cepetan susul dia!” perintah Rere kepada semua temannya. Gadis itu nampak membereskan barang-barangnya dan bergegas pergi dengan gerombolannya. Syifa masih bersembunyi di balik sesemakan, mencoba mengulang kembali kejadian lucu tadi di benaknya. Kini dia tak dapat menahan tawa saat melihat rambut indah Clara terbang begitu saja seperti layangan yang tertiup angin. Jadi, selama ini dia memakai wig? Syifa berjalan pulang siang itu dengan mood yang berubah membaik. Dia tak bisa berhenti tersenyum mengingat adegan di lapangan itu. Apa yang bisa lebih lucu dari Clara menjadi botak? Senyuman Syifa memudar. Langkah gadis itu mendadak terhenti. Dia teringat ucapan Amaya beberapa saat sebelumnya. “Dia yang akan menjadi botak,” katanya. Amaya. Gadis itu sudah tahu bahwa kejadian ini akan terjadi. Dia seolah dapat memprediksi bahwa rambut Clara akan terbang begitu saja. Ini aneh. Syifa dapat merasakan suatu perasaan aneh yang menyelimutinya. Bagaimana bisa Amaya tahu akan hal ini? Bukankah ini suatu kebetulan yang sangat tak biasa? Syifa mendadak ingat bagaimana Clara menjambak rambut Amaya dengan sekuat tenaga. Gadis itu seolah ingin menyingkirkan rambut Amaya dari kepalanya. Namun sekarang, siapa yang kehilangan rambutnya? Bukan Amaya, tetapi Clara sendiri. Fakta ini membuat Syifa sangat bingung. Mengapa seolah perbuatan Clara yang buruk telah kembali kepada dirinya sendiri sebagai bentuk karmanya? Ataukah ada hal lain yang menyebabkan kejadian seperti ini terjadi? Dan apa ada hubungannya dengan gadis itu, Amaya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN