Mendesak Amaya

1085 Kata
Sepagi itu, Syifa sudah berdiri di depan gerbang sekolah untuk menantikan kedatangan sosok yang dinantinya. Gadis itu celingak-celinguk mencari sosok Amaya di antara kerumunan anak yang masuk. Tak ada di antara mereka yang nampak mirip dengannya. Beberapa anak yang melewati dirinya melirik dengan tatapan ingin tahu, karena Syifa hanya berdiri saja di sebelah gerbang, persis seperti seorang satpam yang menjaga sekolah. “Ke mana sih dia?” gumam Syifa sendiri. Dia mulai merasa resah. Akankah Amaya tidak masuk sekolah gara-gara ingin menghindari dirinya? Syifa menggeleng, tak mungkin Amaya sampai seperti itu hanya karena dia bertanya kemarin. Syifa melirik jam tangan mungil di tangan kirinya. Sebuah hadiah ulang tahun dari ayahnya ketika dirinya berusia lima belas, yang kemudian menjadi benda kesayanganya. Ke manapun dia pergi, tak pernah lupa dia membawa jam tangan itu. Sebab, seperti yang selalu ayahnya katakan, bahwa dia harus tepat waktu. Dia tak ingin putrinya terlambat pergi ke sekolah, sehingga Syifa bisa mengetahui waktu kapanpun. “Sudah jam segini, kok belum muncul juga?” Makin lama Syifa makin gelisah. Kedatangan Amaya biasanya lebih pagi dari anak-anak yang lain, sama seperti dirinya. Dia tak terbiasa datang siang. Jadi, Syifa tetap menunggu bahkan ketika sosok Reza lewat bersama sepeda motornya. Syifa sengaja tak menyapa, hanya berharap agar cowok itu tak melihatnya. “Syifa, ngapain di sini?” ucap seseorang. Syifa merasa sebal membayangkan sosok Reza mendatanginya. “Nungguin temen,” jawabnya cuek. “Oh, temen yang mana? Mau gue temenin juga nggak?” sahut cowok itu lagi. Kening Syifa berkerut. Itu bukanlah suara Reza. Dia berpaling dan menatap cowok jangkung di sisinya. Mulutnya terbuka menganga, menatap ketampanan wajah Angga. “Angga?” “Iya, hai.” Syifa membasahi bibirnya dengan gugup. Dia salah mengira, ternyata bukan Reza yang mengajaknya bicara sejak tadi. Dia adalah Angga. Gadis itu dapat mencium aroma parfum yang dipakai Angga dari tempatnya berdiri. Sebuah aroma segar buah-buahan yang menyegarkan. Syifa merasakan pipinya merona. “Jadi, kamu lagi nungguin siapa sih?” tanya Angga yang ingin tahu. Syifa berusaha menjaga nada suaranya agar setenang mungkin. “Amaya.” Kali ini giliran kening Angga yang berkerut dalam. Rupanya dia sesang berusaha mengingat sosok Amaya. “Cewek yang biasanya bareng sama kamu itu?” Syifa mengangguk membenarkan. “Oh, kalian masih sering bersama? Kukira kalian udah berantem dan pisah,” ucap Angga lagi. “Kenapa?” sahut Syifa refleks. “Yah, akhir-akhir ini kamu lebih sering kelihatan sendirian dari pada sama dia.” Wajah Syifa menjadi semakin merah karenanya. Dia sama sskali tak menyangka jika Angga memperhatikan dirinya. Dia bahkan sampai tahu hal-hal seperti ini. “Eh, itu ....” Belum sempat Syifa merangkai jawaban, sosok Rez berjalan mendekat ke arah mereka. “Woi, Angga, lo dipanggil sama anak-anak ke ruangan OSIS!” ucap cowok itu dengan nada ketusnya. Angga mengangguk singkat tanpa protes. “Gue pergi duluan kalau gitu ya. See you again.” Syifa merasakan tubuhnya beku tak mampu membalas lambaian tangan Angga. Dia seolah tak sanggup melawan hasrat untuk mencegah kepergian Angga. Memangnya apa yang bisa dia lakukan? Melarangnya pergi? Itu tidak mungkin! “Ngapain dia deket-deket sama kamu, Fa?” selidik Reza dengan mata menyipit curiga. “Nggak ngapa-ngapain. Dia cuma ngajakin aku ngobrol aja,” sahutnya lesu. “Lain kali mending kamu nggak usah deket-deket deh sama dia. Dia itu nggak baik,” ketus Reza. Pada titik ini, Syifa merasa risi dengan sikap Reza. Ucapannya seolah dia baru saja mengatakan bahwa dirinya tak boleh dekat dengan Angga. Seolah Reza tahu mana yang baik dan tidak untuknya. Memagnya dia pikir dirinya siapa sih? “Thanks, tapi aku nggak apa-apa tuh,” sahut Syifa sewot. Kedatangan cowok itu telah merusak momen kecilnya bersama Angga. Sungguh menyebalkan. Apalagi dengan sikapnya yang sok posesif itu. Padahal kan mereka berdua hanya sebatas teman biasa saja. Tak lebih dan tak kurang. Tapi sikap Reza yang ketus tadi seolah menyiratkan bahwa dirinya memiliki hak atas diri Syifa. “Alu serius,” tambah Reza lagi. “Angga itu bukan cowok yang baik. Dari luar saja dia kelihatan baik, tapi aslinya serigala berbulu domba!” Syifa menatap Reza dengan tatapan tak senang. “Apa sih maksud kamu? Buat apa menjelek-jelekkan orang seperti ini?” “Aku bicara kenyataan, Fa. Aku hanya tak ingin kamu terlalu dekat dengan dia.” Syifa berdecak sebal, “Ya sudahlah, aku kan sudah bisa menjaga diriku sendiri. Mending kamu ke kelas saja deh, aku sedang nggak mood. Nggak ingin diganggu.” Reza menunggu selama beberapa detik, nampak ragu untuk bertindak. Kemudian dia mengangguk dan menuruti kata-kata Syifa. Dia berpamitan singkat dan segera pergi. Syifa bersedekap dengan raut muka kesal di depan gerbang, mirip satpam sekolah yang hendak melakukan razia siswa yang terlambat saja. Gadis itu sudah menyaksikan semakin banyak siswa sekolah ini bergerombol masuk. Namun, sosok Amaya sama sekali tak terlihat. Dia mulai jemu dan malas terus menunggu. Akhirnya, setelah dua puluh menit berdiri di sana hingga kakinya kesemutan, Syifa memutuskan untuk pergi ke dalam ruang kelasnya saja. Siapa tahu hari ini dia memang tidak masuk. Tapi dugaannya salah. Ternyata, sosok Amaya sudah duduk manis di tempatnya. Syifa menatapnya dengan perasaan sebal luar biasa. Bisa-bisanya Amaya mempermainkan dirinya! “Amaya, aku ingin bicara,” kata Syifa mendekati gadis itu. Amaya tidak menoleh maupun mendongak. Dia seperti tak terpengaruh oleh kedatangan Syifa. “Langsung saja, karena aku begiru sulit untuk menemuimu. Aku ingin menanyakan soal kejadian pembunuhan itu. Kamu tahu sesuatu, bukan?” ungkap Syifa tanpa basa-basi. Respon Amaya masih sama. Dia bergeming di tempatnya tanpa perubahan sikap. “Amaya!” gebrak Syifa di atas mejanya. Bentakan itu membuat Amaya menghentikan kegiatannya mencoret-coret di buku. Gadis itu menatap Syifa dengan kedua mata hitamhya di balik rambut yang terjuntai. “Apa?” sahutnya tanpa perasaan berdosa. “Apa kamu berada di tempat itu sewaktu pembunuhan terjadi? Kamu melihat apa yang terjadi?” Amaya hanya menatap Syifa tanpa berkedip. Syifa merasakan jantungnya berdegup kencang. Samar-samar dia teringat kembali akan kejadian mengerikan waktu itu. Amaya mengangguk pelan. Syifa seakan mendapatkan suatu ilham yang membuatnya senang. “Kamu berada di sana juga? Berarti kamu melihat aku? Kamu melihat orang yang menolongku?” Amaya memalingkan wajahnya. Dia kembali menunduk dan menggambar sesuatu yang abstrak di bukunya. “Amaya? Benar kan, kamu menyaksikan kejadian itu seluruhnya? Kamu melihat dia bukan?” desak Syifa yang tak sabaran. Sudah selama berminggu-minggu ini dia tak dapat tidur tenang memikirkan kejadian itu. Rasa penasarannya begitu tinggi, ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini. Syifa menunggu dengan sabar, ingin mendengar bagaimana jawaban Amaya. “Mungkin,” ucap Amaya dengan lirih. “Dan kamu juga melihatnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN