Kewalahan

1054 Kata
Syifa sudah menekuni buku tugas milik Rere dan geng ketika Amaya masuk ke dalam kelas. Gadis berambut hitam panjang itu berjalan melewati bangku Syifa dengan tatapan penuh keheranan. Secara tak sadar, dia berhenti di samping Syifa dan membuat gadis itu mendongak menatapnya. “Apa?” tanya Syifa dengan nada tak ramah. Amaya tidak menjawab. Tetapi dia mengarahkan pandangan pada buku tugas yang sedang dikerjakan oleh Syifa. “Ngapain kamu?” tanya Amaya dengan rasa ingin tahu. “Ngerjain tugas,” jawab Syifa pendek. Dia lekas mengarahkan kembali perhatiannya ke tugas-tugas itu. Jemarinya bergerak lincah dan cepat mengerjakan semua soal dengan baik. “Tugas Rere?” gumam Amaya bertanya. “Menurut kamu?” sahut Syifa dengan sewot. “Sini,” ucap Amaya seraya hendak mengambil buku-buku itu. Sontak saja Syifa menahannya dengan tangan, mencegah Amaya melakukan tindakan selanjutnya. “Mau kamu apain semua buku ini?” “Buang ke tempat sampah!” jawab Amaya enteng. Mata Syifa melotot menatap gadis itu. Seolah dia menganggap Amaya kurang waras. “Ini buku tugas milik Rere! Jangan berani-berani kamu!” sergah Syifa dengan tegas. Tangan Amaya masih memegang buku itu, berebut dengan Syifa. “Ngapain kamu ngerjain tugas milik orang lain? Bukankah itu curang namanya?” sindir Amaya dengan jelas. Syifa menatap mantan temannya itu dengan marah. “Itu bukan urusan kamu!” “Jelas ini urusanku. Kecurangan terjadi di depan mataku. Aku tak bisa membiarkannya!” Syifa mendengkus sebal. “Memangnya kamu ini apa? Dewi keadilan? Penegak hukum? Atau apa? Kamu sama sekali nggak punya hak untuk ngatur-ngatur tentang itu.” “Tapi aku peduli pada keadilan,” sanggah Amaya. Syifa menarik buku tugas milik Rere dengan kuat. “Sebaiknya kamu ngurusin aja hidupmu sendiri. Nggak perlu ngurusin hidup orang lain. Toh, semua yang kamu pikirkan adalah tentang dirimu sendiri saja kan?” Amaya terdiam. Dia meradang mendengar ucapan Syifa barusan. Kedua tangannya terkepal erat, menahan amarah yang memuncak. “Aku nggak menyukai adanya kecurangan!” Dia berucap. Syifa sudah duduk kembali, menekuri tugas di hadapannya. Dia tidak menggubris ucapan Amaya sama sekali. Bel masuk kelas sudah berdering nyaring. Amaya beranjak ke tempat duduknya sendiri, menatap punggung Syifa dengan tajam. Sepanjang pelajaran, nampaknya Syifa berusaha mencuri-curi waktu untuk mengerjakan tugas-tugas milik Rere dan geng. Sementara dia sendiri harus mencatat materi dan mendengarkan penjelasan dari guru. Gadis itu jelas terlihat kelabakan, tetapi Amaya tidak berkomentar apa-apa. Dia sudah berusaha untuk membantu Syifa, tetapi bukannya berterima kasih, dia malah marah-marah padanya. Sekarang, biarlah dia merasakan tidak enaknya. Ketika bel istirahat berdering, Syifa memilih untuk tidak pergi ke kantin dan tetap di dalam kelas. Dia nampak memandang setumpuk buku tugas yang masih belum rampung itu. Amaya berjalan melewatinya dengan pandangan prihatin. Tapi, dia tak lagi berkata apa-apa. Syifa melanjutkan mengerjakan semua tugas itu hingga jam pelajaran berikutnya dimulai. Jari tangannya terasa kram, akibat terus bekerja tanpa istirahat. Dia juga merasa perutnya keroncongan karena belum makan siang. Tapi apa boleh buat, demi mempertahankan beasiswanya di sana, maka dia harus menahan diri. Ketika Rere dan Clara mendatangi mejanya di pergantian jam pelajaran terakhir, Syifa sudah selesai menyalin semua tugas itu. Dia telah mengerjakan semua tugas milik Rere dan geng. Rere memeriksa buku tugas miliknya dan tersenyum dengan puas. “Nah, begitu dong, anak baik!” ucap Rere dengan senyuman palsunya. Syifa menatap mereka semua dengan kesal, sementara meletakkan tangan kanannya yang pegal di atas meja. Sepulang sekolah, dia mengemasi semua barangnya dengan lesu. Syifa nampak letih dan lemas. Tubuhnya seakan meronta-ronta ingin segera melemparkan diri ke atas kasur yang empuk. “Syifa, udah selesai berkemas?” tanya suara yang akrab di telinganya. Syifa mendongak dan mendapati sosok Reza sudah berdiri di depannya. “Hmm?” sahutnya tak bertenaga. “Pulang bareng yuk,” ajak Reza sambil cengar-cengir tak jelas. Refleks saja Syifa menoleh ke belakang, ke arah bangku yang diduduki Amaya. Gadis itu sendiri masih sibuk mengemasi barangnya ke dalam tas. Syifa berpaling kembali menatap Reza, bingung mau menjawab apa. Semenjak pertengkarannya dengan Amaya, secara tak langsung dia menjadi sendirian lagi. Kalau dulu sih, dia senang-senang saja mendapatkan tawaran nebeng dengan motor Reza. Dia toh bisa pulang dengan lebih cepat dan sampai di rumah tanpa lelah. Tapi sekarang, kalau dia menerima tawaran itu, maka itu berarti dia harus meninggalkan Amaya berjalan seorang diri. “Gimana?” tanya Reza memastikan. “Ehmmm, gimana ya?” “Lah, kok kamu kelihatannya bingung gitu? Biasanya juga ayo-ayo aja. Kenapa?” tanya Reza heran. Syifa merasa bahwa dirinya merasa tak enak karena adanya Amaya. Padahal, dia toh sudah berpisah dengan gadis itu. Artinya, dia bebas meninggalkan Amaya atau tidak. Mereka berdua tidak perlu lagi saling menunggu untuk pulang bersama. “Ya udah, ayo,” jawab Syifa cepat. Dia bangkit berdiri dan berusaha untuk tidak menoleh ke arah Amaya. Reza nyengir lebar, merasa senang. “Nah, gitu dong. Jadi kamu nggak perlu jalan lagi. Kan capek—“ Saat itulah Reza baru tersadar akan adanya sosok Amaya. Dia menoleh pada gadis itu, yang biasanya selalu dekat dengan Syifa. Pandangannya seolah prihatin pada gadis itu. “Eh, Amaya? Kamu mau pulang bareng juga nggak? Kita bisa bonceng bertiga kalau mau,” tawar Reza dengan ramah. Amaya menggelengkan kepalanya pelan, lantas berjalan melewati mereka tanpa berkata sepatah kata pun. Syifa berdiri di tempatnya dengan badan tegang. Dia merasa sedikit sebal dengan Reza. Mengapa dia harus mengajak Amaya tanpa persetujuan dirinya? Ah, tapi apa sih hakku? Pikir Syifa heran sendiri. Dia hanya merasa begitu egois karena tak ingin bersama Amaya saat ini. Amarah Syifa membuatnya ingin menjauhi Amaya dan tak mau dekat-dekat padanya. Jika Reza mengajak Amaya, sebenarnya itu adalah keputusan yang tepat. Dia toh tidak akan merasa bersalah karena meninggalkan Amaya sendirian berjalan kaki pulang ke rumahnya. Pikiran Syifa yang kacau sungguh membuatnya makin kesal saja. “Yuk, pulang,” ajak Reza membuyarkan lamunan Syifa. Dia mengangguk dan mengikuti langkah Reza ke tempat parkir, di mana motor matic-nya berada. Begitu naik ke jok bekakang motor itu, Reza segera tancap gas melajukan kendaraannya di jalanan. Syifa berpegangan pada behel belakang motor, seperti emak-emak yang ketakutan. Dia belakang mereka, dia melihat sosok Amaya berjalan sendirian menyusuri jalanan yang relatif sepi. Dia berjalan pelan dan menatap lurus ke depan. Entah mengapa, Syifa tak dapat mengalihkan tatapannya dari sosok itu. Dia bertatapan beberapa lama dengan Amaya sebelum motor itu akhirnya berbelok di suatu tikungan. Dan sosok Amaya pun menghilang di balik tembok besar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN