Pertengkaran Dua Sahabat

1116 Kata
“Amaya, ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Syifa keesokan harinya. Amaya yang baru saja duduk di bangkunya lantas menoleh. Dia menatap teman sebangkunya dengan tatapan hampa. “Apa?” ucapnya singkat. “Ini tentang Tania,” mulai Syifa dengan ragu-ragu. Keduanya sedang duduk di bangku mereka dalam ruang kelas di pagi hari, jauh sebelum jam pelajaran di mulai. Amaya diam tak bereaksi. Syifa berpikir mungkin dia masih belum ingin berbicara. Syifa melanjutkan pertanyaannya dengan enggan. “Apa benar semua yang dituduhkan oleh Clara kemarin itu, May?” ucap Syifa. Pertanyaan itu membuat Amaya sontak menghentikan kegiatan menggambarnya. Syifa menanti dengan sabar, apa yang ingin diucapkan oleh Amaya. “Kenapa kamu bertanya?” Syifa menatap temannya dengan perasaan bersalah. “Aku tahu ini kedengarannya tidak masuk akal, tetapi sebenarnya waktu itu aku juga melihat kamu di balik pilar sekolah, tak jauh dari tempat aku menyaksikan Tania tertindih pohon. Meski aku belum yakin benar, apa itu memang kamu?” Amaya mengangkat bahunya yang kecil dengan cuek. “Memangnya waktu itu kamu ada di situ, May?” Lagi-lagi Amaya tidak menjawab pertanyaan itu dengan lugas. Dia hanya mengangkat bahunya. “Ayolah, May. Kamu pasti tahu di mana kamu berada waktu itu. Mana mungkin kamu tidak tahu?” desak Syifa dengan sebal. Amaya terus menggambar, sembari menundukkan kepalanya menekuri sketsa gelapnya. Sikap cuek ini membuat Syifa kesal sekali. “Kamu tahu nggak, Clara dan Rere merasa aneh dengan sikap kamu ini. Sejujurnya, aku juga. Karena kamu selama ini selalu berusaha untuk bersikap tertutup. Kalau saja kamu mau bersikap sedikit terbuka, maka mungkin saja kamu tidak akan dianggap seaneh itu.” “Jadi, aku memang aneh?” sahut Amaya dengan cepat. Gerakan tangan gadis itu terhenti, membuat Syifa menyadari kesalahan ucapannya. Dia telah memancing kemarahan Amaya. “Ya, kamu memang aneh. Dan segala kejadian di sekitar kamu, itu juga sangat aneh,” lanjutnya tanpa berani mundur lagi. “Oh,” timpal Amaya singkat. Syifa merasa heran, sebab tadinya dia mengira Amaya akan meledak marah kepada dirinya. “Apa kamu tidak ingin menjelaskan arti dari semua kejadian itu?” “Kejadian apa?” Syifa menghela napas, selagi berusaha mengingat-ingat kembali semua kejadian aneh yang pernah terjadi sehubungan dengan Amaya. “Misalnya waktu kamu diserang oleh para pemuda berandalan waktu itu. Bagaimana bisa kamu melakukan semua itu?” Amaya nampak duduk diam dengan perhatian yang masih tertuju pada buku di depannya. “Itu hanya bela diri,” sahutnya. “Oh ya? Tapi aku belum pernah melihat aksi bela diri semacam itu sebelumnya,” sergah Syifa. “Kamu harus melihat lebih banyak di luar sana,” kilah Amaya dengan cerdik. Syifa mengaku pernyataan itu merupakan skak mat baginya. Tapi, dia masih belum menyerah. Dia siap untuk melakukan serangan lanjutan. “Lalu, perihal kejadian Tania, kamu yakin bahwa kamu tidak ada sangkut pautnya dengan itu?” “Memangnya aku bisa apa?” kata Amaya dengan ringan. “Apa kamu melihat aku menebang pohon itu dan melemparnya pada Tania?” Syifa membayangkan sosok Amaya yang berbadan kecil itu membawa gergaji mesin dan melemparkan sebatang besar pohon kepada Tania layaknya buto ijo. Bayangan aneh itu membuat Syifa merasa geli sendiri. “Aku memang tidak melihatnya, tetapi ...,” ucap Syifa terhenti. Entah mengapa dia tak bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam benaknya. Dia hendak mengatakan mungkin Amaya memiliki cara lain yang tak kasat mata. Tapi, karena kedengarannya aneh, Syifa merasa ragu untuk bertanya. “Well, kalau kau tidak melihat aku melakukannya, berarti aku tidak melakukannya,” tukas Amaya dengan tegas. Syifa yang masih belum puas dengan jawaban itu, kembali bertanya dengan nada mendesak. “Bukan begitu, tapi apa tidak ada cara lain yang bisa kamu lakukan tanpa harus membuat orang melihatmu melakukannya?” Amaya menoleh menatapnya tanpa berkedip. Syifa tahu, betapa tajam pandangan itu meski tertutup di balik tirai rambutnya yang menjuntai. “M-maksudku ... Mungkin kamu punya semacam kekuatan yang lebih halus. Kekuatan lain?” ungkap Syifa malu-malu. Amaya mendengus geli. Baru kali ini gadis itu menampakkan reaksi semacam ini. “Tidak masuk akal!” gumamnya. Syifa sendiri merasa begitu, tapi entah mengapa dia tak bisa menyingkirkan pemikiran itu, terutama setelah Clara menuduh mereka kemarin. “Kamu yakin, May?” “Kenapa kamu terus mendesak aku? Kamu nggak percaya sama aku?” sahut Amaya dengan nada suara yang berubah. Syifa menyadari bahwa gadis itu sekarang menatapnya dengan raut wajah marah. “Ehm, bukan begitu. Tapi, aku hanya penasaran saja. Rasanya kamu sepertinya bisa melakukan hal itu. Seandainya aku bisa tahu, rasa ingin tahuku akan berkurang. Jadi—“ Amaya bangkit berdiri secara tiba-tiba. Kedua tangan gadis itu terkepal erat. “Kamu nggak mempercayai aku. Apa gunanya aku bersamamu?” Syifa tergagap salah tingkah. “Eh, bukan itu maksudku. Kamu terlalu menganggapnya serius. Aku hanya mencoba untuk membuat kamu berbagi cerita denganku. Aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu, May. May!” Amaya merapikan semua barang-barangnya dan bergegas melangkah pergi. “Teman itu selalu saling percaya satu sama lain. Jika ada rasa tidak percaya, akan lebih baik tidak usah berteman lagi!” ucap Amaya. Syifa membuka mulutnya hendak memprotes. “May, bukan itu maksudku. Biar aku jelaskan dulu. May, kamu mau ke mana?” Amaya membawa pergi tasnya dan keluar ruangan. Beberapa saat kemudian, dia sudah kembali dengan menyeret sebuah meja dan kursi kosong. Rupanya dia mengambil meja dan kursi itu dari gudang. Syifa terbelalak melihatnya. Dia bergegas menghampiri temannya itu. “Maaf, May. Tapi aku tak bermaksud –“ “Minggir!” bentak Amaya dengan galak. “May, kalau kamu duduk di situ, aku duduk dengan siapa?” tanya Syifa berusaha mencegah Amaya. “Kamu bisa bergabung dengan Rere dan Clara,” sahut Amaya tidak peduli. Syifa menatap Amaya dengan rasa kesal yang meningkat. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Padahal, selama ini dia juga berbuat baik untuknya. Rasanya Syifa seperti tidak dihargai. Memangnya siapa yang telah menemani Amaya saat dia tak punya teman? “Baiklah, kalau itu maumu. Aku tidak akan mencegah.” Syifa berbalik badan, lalu duduk di tempatnya sendiri, beberapa meter dari tempat duduk baru Amaya. Dia menggenggam tangannya sendiri dengan erat, menahan emosi yang meluap. Bahkan ketika guru masuk dan jam pelajaran pertama dimulai, Amaya dan Syifa tak lagi saling sapa. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing tanpa saling lirik sama sekali. Syifa merasa marah pada Amaya dan sebaliknya. Seisi kelas menyadari perubahan itu, yang membuat keduanya menjadi bahan ledekan. Tetapi tak ada yang peduli atas kepindahan Amaya itu. Sementara Rere dan teman-temannya merasa girang atas pertengkaran kedua anak cupu di kelas ini. Syifa berusaha untuk menjauhi Amaya sebisa mungkin, juga ketika istirahat makan siang. Beruntung Syifa masih memiliki Reza, yang saat itu duduk dengannya di meja kantin. Sementara di kejauhan, dia sempat melihat Amaya duduk seorang diri dengan kepala tertunduk malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN