“Mau ke mana, cewek cantik?”
Pertanyaan itu terlontar dari bibir salah satu pemuda yang tak dikenal, membuat Syifa lantas mendongak dan menatap lurus ke depan. Saat itu pagi hari dan dia sedang berjalan sendirian melalui sebuah gang kecil untuk berangkat sekolah.
Tak jauh darinya, sekitar delapan belas meter di depan, nampak gerombolan pemuda. Mereka berdiri membentuk suatu lingkaran seolah sedang mengerumuni sesuatu.
Syifa mengernyitkan keningnya heran, melihat kelompok pemuda itu di sini. Mereka biasanya muncul tiba-tiba dan mengganggu para gadis yang tengah lewat.
“Kenapa jalan sendirian di sini? Mau dianterin nggak?” ucap yang lain.
Kelompok itu terdiri dari enam orang pemuda dua puluh tahunan.
Syifa berjalan sedikit lebih cepat, ingin tahu siapa yang sedang mereke goda kali ini.
“Kok diem aja sih? Nggak punya mulut ya?” cecar yang lain dan disahuti tawa.
Syifa sudah mempersempit jarak di antara mereka. Sekarang dia dapat melihat sesosok gadis berseragam sama seperti dirinya di tengah-tengah kelompok. Keningnya berkerut semakin dalam, merasa keheranan.
“Siapa gadis itu?” gumamnya sendiri.
Pertanyaan itu terjawab dengan mudah. Dia dapat mengenali tas hitam di punggungnya dan rambut panjang yang tergerai seperti tirai bergoyang-goyang terkena angin. Tak butuh waktu lama baginya untuk sadar bahwa itu adalah si anak baru, Amaya.
“Temenin Abang sini, Dek!” ujar seorang pemuda kurang ajar sambil memegang lengan Amaya.
Syifa terkejut dengan kelakuan mereka yang amat tidak sopan. Dia ingin membantu Amaya, tetapi ....
BRUAKKK!
Seorang pemuda yang tadi menggamit lengan Amaya tiba-tiba saja terlempar ke udara dan jatuh ke tumpukan sampah dengan bunyi keras. Dia mengaduh kesakitan.
Syifa melompat terkejut ketika kejadian itu berlangsung dengan cepat. Rasanya seperti melihat sebuah kilat menyambar. Antara sadar dan tidak sadar, karena begitu cepatnya itu berlalu.
Pemuda lain menatap Amaya bingung, kemudian berusaha menyeret tubuhnya ke sesemakan. Namun, belum sempat mereka bergerak, tubuh mereka sudah terlempar-lempar ke sana-kemari seperti sampah.
Syifa menyaksikan kejadian itu dengan melongo, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Apakah Amaya sekuat itu?
Tiga orang pemuda lainnya maju dengan ragu-ragu, kemudian salah satunya mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil. Kali ini jantung Syifa berdegup kencang, merasa cemas dan kuatir akan keselamatan Amaya.
Dua orang pemuda maju, memegangi tangan Amaya dengan cengkeraman kuat, sementara yang seorang lagi berdiri dengan pongah di depannya.
Syifa memperhatikan wajah Amaya tertutup oleh rambut, sehingga dia tak bisa mengenali bagaimana ekspresi gadis itu.
“Sekarang, lo nggak berkutik lagi ya?” ucap si pemuda yang memegang pisau lipat.
Dia memain-mainkan pisau di tangannya dengan cengiran lebar.
“Lo harus menemani kami dan memuaskan kami. Setelah itu, baru lo boleh pergi!”
Amaya diam tak bergerak. Dia tidak meronta-ronta meminta dilepaskan seperti orang pada umumnya.
“Eh, eh, kenapa ini?”
Si pemuda yang memegang pisau tiba-tiba mengarahkan pisau itu ke lehernya sendiri. Kemudian, sebuah goresan panjang tercipta, mengalirkan darah merah segar ke leher kaosnya.
“Arghhhh!” jerit si pemuda kesakitan.
Syifa memekik ngeri, menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Sementara tubuhnya terasa kaku di sana, tak dapat bergerak. Dia menyaksikan kedua pemuda yang lain saling tatap, kemudian melepaskan Amaya perlahan-lahan dan mulai membantu teman mereka untuk kabur. Keenam pemuda itu melarikan diri dan berlari tunggang langgang dari tempat itu.
Amaya kembali berjalan dengan pelan, keplanya tertunduk.
Syifa mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. Barulah saat itu dia menyadari bahwa dia sedari tadi hanya berdiri di sana, menjadi saksi atas kejadian mengerikan itu.
“Amaya!”
Syifa berteriak memanggil. Dia berlari mengejar sosok itu hingga langkah mereka sekarang sejajar.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Syifa dengan napas terengah-engah.
Amaya hanya menggeleng singkat. Syifa memperhatikan seluruh tubuh Amaya.
“Beneran, kamu nggak apa-apa?”
Amaya mengangguk.
Syifa mencoba menenangkan diri dan mengatur napasnya kembali. Barulah dia mulai mengajak Amaya mengobrol lagi.
“Tadi aku melihat kmu disergap oleh para pemuda itu. Aku takut sekali. Apalagi ada yang sampai membawa pisau. Tapi syukur deh, kalau kamu nggak apa-apa.”
Amaya tidak menjawab. Dia hanya berjalan di samping Syifa dengan tenang.
“Ngomong-ngomong, kamu hebat banget bisa menghadapi mereka dengan tenang. Apa rahasianya?”
Menanggapi pertanyaan itu, Amaya menoleh menatapnya. Sepasang mata hitam mencuat keluar dari balik tirai rambut panjang yang tergerai sembarangan. Tatapan tajam itu membuat Syifa bergidik ngeri. Entah mengapa Amaya memiliki penampilan yang seperti ini.
Amaya nampak seram dan menakutkan, terutama jika sudah menatap orang di balik rambutnya yang panjang. Syifa teringat sosok hantu Sadako yang memiliki rambut panjang menutupi wajahnya.
“Bela diri,” ucapnya singkat.
Syifa mengedip beberapa kali, berusaha mengerti apa maksud ucapannya. Barulah dia teringat percakapan sebelumnya. Dia mengangguk dan memalingkan wajah, berusaha menatap ke arah yang lain. Dia merasa malu sendiri karena sempat melamun dan membayangkan Amaya sebagai sosok hantu Sadako, hantu Jepang yang terkenal itu.
“Kamu ikut kursus bela diri? Pantesan saja kamu bisa menepis mereka dengan begitu mudah,” puji Syifa dengan tulus.
“Aku belum pernah melihat orang yang begitu hebat sepertimu. Kapan-kapan ajari aku ya?”
Amaya tidak menjawab. Dia hanya mengangguk begitu pelan nyaris tak kentara. Syifa melirik ke gadis itu, mencoba memikirkan topik lain untuk menjadi topik obrolan. Amaya terlalu pendiam, membuatnya merasa canggung sendiri.
Kalau dipikir-pikir, itulah pertama kalinya dia mendengar suara Amaya secara langsung. Meski dia hanya mengucapkan dua patah kata, tapi itu sudah merupakan kemajuan dibandingkan dengan kemarin.
Mungkin itu karena dia baru saja pindah. Banyak hal yang pasti membuatnya merasa tidak nyaman untuk pertama kali. Tetapi, Syifa merasa yakin bahwa perlahan-lahan Amaya pun pasti akan bisa membuka diri dan mengobrol dengannya lebih leluasa.
“Ngomong-ngomong, terima kasih ya, untuk kemarin.”
Amaya menoleh lagi, menatapnya dengan tatapan menyeramkan itu.
“Aku belum bilang terima kasih karena kamu telah menyelamatkan nyawaku atas kecelakaan itu. Kalau kamu nggak menarikku ke trotoar, mungkin aku sudah celaka!”
Syifa tersenyum lembut, berusaha membuat temannya lebih nyaman. Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Amaya kembali diam, menundukkan kepalanya sangat dalam. Syifa berpikir apakah lehernya tidak sakit berjalan dengan kepala tertunduk begitu?
“Aku berhutang nyawa kepadamu, jadi, tugas yang harusnya kita kerjakan bersama itu sudah aku kerjakan sendiri. Anggap saja sebagai balas budi dariku.”
Ucapan Syifa tidak ditanggapi. Amaya terus berjalan seolah Syifa tidak ada di sana.
Apakah dia tidak mendengarnya? Apa aku bicara terlalu pelan? Batin Syifa bertanya-tanya.
Dia mengikuti sikap diam Amaya hingga keduanya sampai di sekolah. Dia tidak berani mengajaknya mengobrol lagi jika Amaya tidak merespon.
Di sisi lain, kejadian pemuda yang menggorok lehernya sendiri tadi masih membekas di ingatan Syifa, membuatnya merinding ngeri.