Syifa sedang sibuk mencatat ketika dia mendengar sebuah bolpoin milik Amaya jatuh menggelinding.
Syifa membungkuk untuk memungut benda itu di lantai, namun sebelum tangannya menyentuh benda itu, bolpoin sudah menggelinding kembali melewati dirinya. Syifa hanya menatapnya tanpa berkedip, merasa takjub sekaligus heran.
Ctak!
Syifa melihat bolpoin itu berhenti dan menabrak kaki Amaya. Tangan Amaya terulur mengambil bolpoin, lalu benda itu seolah terbang ke arah tangan Amaya, begitu saja.
Syifa terbelalak menyaksikan kejadian aneh itu. Dia menegakkan tubuh dan mencoba mengusap matanya. Apa dia baru saja salah lihat?
Diliriknya Amaya, yang sudah duduk kembali dengan postur tubuh tegak dan kepala tertunduk.
Bolpoin itu menggelinding dan terbang ke tangan Amaya ....
Ini tidak mungkin!
Syifa melirik teman sebangkunya lagi, terkejut mendapati Amaya sedang menatap dirinya.
“Apa?” ucap Amaya dengan sinis.
Syifa hanya menggeleng, tak mampu menjawab. Dalam hati, dia terus berpikir bahwa dirinya telah salah lihat. Pasti dirinya sedang tak fokus makanya bisa membayangkan hal yang tidak-tidak.
“Perhatian semuanya!” seru ibu guru di depan kelas.
Semua anak seketika menatap ke arah guru.
“Untuk tugas kalian, ibu ingin agar kalian membentuk sebuah kelompok terdiri dari dua atau tiga orang. Kerjakan tugas seperti di papan tulis bersama teman kalian. Lusa tugas ini harus sudah dikumpulkan!”
Semua anak sontak saling pandang satu sama lain, mencari kelompok tugas mereka.
Syifa memandang ke seluruh kelas, memerhatikan semua anak yang sudah dikenalnya. Tak ada satupun yang akan mau menjadi kelompok tugas dengan dirinya. Terutama Rere dan geng. Syifa otomatis melirik ke sebelahnya, kepada Amaya yang diam saja.
Haruskah aku mengajaknya? batin Syifa ragu.
Sekali lagi dia menatap teman-teman sekelas. Semua orang sepertinya sudah memiliki kelompok, kecuali dirinya dan Amaya.
“Ehm, Amaya ... Kamu mau sekelompok denganku?” tanya Syifa dengan nada sungkan.
Tanpa disangka, Amaya menganggukkan kepala. Pertanda gadis itu setuju menjadi kelompok Syifa. Syifa tak menyangka tawarannya akan disetujui, padahal Amaya selalu menolak dekat dengannya semenjak awal.
“Eh, kalau gitu, kita kerjain tugas ini kapan?”
Amaya tidak menjawab. Syifa menggigit bibirnya resah, tak tahu bagaimana mereka berdua akan bekerja sama. Jika Amaya lebih banyak diam, maka Syifa akan kesulitan untuk berkomunikasi dengannya. Lagipula, entah mengapa aura Amaya yang gelap itu membuatnya merasa takut. Tapi tidak ada pilihan lain lagi.
Syifa harus berusaha lebih keras dan membuat Amaya dekat dengannya. Kalau tidak, maka mereka berdua akan terkena masalah dengan nilai tugas mereka.
“Gimana kalau kita kerjain di rumahku?” Syifa mengusulkan. Amaya hanya mengangguk lagi.
“Nanti sepulang sekolah kamu mau ikut denganku ke rumah?”
Amaya kembali mengangguk, tidak menunjukkan penolakan.
“Baiklah,” ucap Syifa lega. “Nanti kita langsung ke rumahku ya.”
Setidaknya, satu masalah sudah teratasi. Sebagai anak baru, wajar saja jika Amaya tidak banyak berbicara. Ia yakin, nanti pasti dia akan bisa akrab dengan Amaya seiring berjalannya waktu.
Ketika bel pulang berdering siang itu, Syifa segera membereskan buku-buku serta peralatan belajarnya ke dalam tas. Dia duduk menunggu Amaya selesai berkemas lalu mereka bangkit bersamaan.
“Kita ke rumahku dulu ya, nanti setelah selesai ngerjain tugas aku akan mengantarmu pulang.” Syifa berkata sembari berjalan keluar kelas.
Amaya berjalan di belakang Syifa, terus mengawasi gerak-gerik Syifa.
Sepanjang jalan, Syifa terus mengoceh tentang dirinya. Dia ingin mengajak teman barunya ngobrol banyak hal, tapi rupanya Amaya tidak mau menceritakan apa-apa soal dirinya.
Syifa lebih banyak bicara sendiri sementara Amaya hanya berjalan dengan kepala tertunduk dan mendengarkan.
Di sebuah trotoar jalan, ketika Syifa sedang berjalan dengan santai sambil bercerita, tiba-tiba saja Amaya mendorong tubuh Syifa dengan sangat keras.
Gadis itu sampai jatuh tersungkur di tanah dengan keras. Syifa menyentuh lututnya yang terasa sakit dan terluka.
“Aduh, kamu kenapa mendorongku, Amaya?” tuntut Syifa.
Sedetik kemudian, sebuah mobil truk besar yang mengangkut barang muatan menabrak trotoar dengan dentuman mengerikan yang memekakkan telinga. Orang-orang menjerit ketakutan, sekaligus penasaran ingin melihat. Dalam sekejap saja, mereka sudah berkerumun di sekitar truk itu. Mereka melihat kondisi mobil depan yang rusak parah. Truk itu ringsek di bagian depan dan sopirnya diam tak bergerak akibat benturan keras tadi. Beberapa warga mengeceknya dan berkata bahwa dia sudah meninggal di tempat.
Darah mengucur dari tempat si sopir duduk. Syifa yang masih terjerembap di tanah melihat pemandangan mengerikan di depan matanya. Dia terbelalak shock melihat kejadian itu. Truk itu menabrak sebuah pagar beton tempat Syifa baru saja berdiri beberapa saat yang lalu.
Lalu mata Syifa menangkap sosok gadis dengan rambut hitam panjang sedang berdiri di sisi lain truk, sedang memerhatikan dirinya. Barulah saat itu Syifa sadar, bahwa Amaya telah menyelamatkan dirinya.
Syifa bangkit berdiri, merasakan perih di kedua lututnya. Dia memaksakan berjalan meski tertatih-tatih menahan rasa sakit.
“Amaya!” serunya memanggil gadis itu.
Namun, gadis itu sudah menghilang di tengah kerumunan yang padat. Syifa mencari-cari di antara mereka. Dia yakin sekali bahwa dia melihat Amaya beberapa saat lalu. Ke mana dia pergi?
Karena tak kunjung menemukan temannya itu, maka Syifa memutuskan untuk pulang saja. Dia berpikir mungkin Amaya sudah pulang lebih dulu ke rumahnya, melupakan janji mereka untuk mengerjakan tugas bersama.
“Assalamualaikum,” ucap Syifa seraya membuka pintu dan memasuki rumah.
Sang ayah yang sedang menjahit mendongak, “Waalaikumsalam. Syifa sudah pulang?”
Syifa merebahkan dirinya di atas sofa yang sudah kempes dan memegangi lututnya yang berdarah.
“Loh, kamu kenapa, Syifa? Kok bisa terluka seperti itu?”
“Tadi Syifa hampir aja kecelakaan, Yah,” ujar Syifa bercerita. “Untung aja ada teman Syifa yang mendorong Syifa ke tanah. Kalau tidak –“
Syifa bergidik membayangkan truk besar itu menghantam tubuhnya yang kecil. Kondisi si sopir truk yang mengenaskan juga membuatnya tak bisa mengenyahkan bayangan buruk itu.
“Coba ceritakan selengkapnya sama Ayah,” pinta lelaki tua itu. Dia menggerakkan kursi rodanya ke dekat Syifa sembari mengeluarkan kotak P3K.
“Tadi, di jalan pulang Syifa bersama teman sekelas, namanya Amaya. Dia anak baru. Lalu karena ada tugas berkelompok, maka aku mengajak Amaya untuk pergi ke rumah, mengerjakan tugas bersama. Tapi, di tengah jalan Amaya mendorongku dengan keras sampai aku terjatuh. Tak lama kemudian, sebuah truk menabrak trotoar tempat kami berjalan. Untung saja Syifa tidak kenapa-napa.”
Sang ayah menatap putrinya dengan terkejut dan cemas. “Astaghfirullah, tapi kamu hanya terluka biasa kan? Tidak kena truk itu?”
Syifa mengangguk. “Semua ini berkat Amaya. Dia telah menyelamatkan aku.”
“Kamu harus mengucapkan terima kasih padanya. Kalau perlu, ajak dia main ke rumah ini kapan-kapan.”
Syifa tersenyum, mengangguk setuju. “Tentu, Yah. Aku juga ingin memperkenalkan Ayah pada Amaya.”
“Baiklah. Sekarang mandi dan makanlah. Ayah sudah siapkan makan malam,” perintah ayahnya.
Syifa mengangguk menurut. Dalam hati dia bertekad untuk menemui Amaya besok di sekolah.