Keributan di Koridor

1122 Kata
“Eh, itu dia, si anak baru!” ujar Tania dengan berbisik. Rere menatap sosok si anak baru dengan penuh minat. Dia sedang berjalan dengan si anak cupu dari kelasnya. Rere mendengus geli melihat pemandangan itu. “Sepertinya mereka udah jadi best-friend nih. Cocok banget. Yang satu cupu, yang satu freak!” ujar Rere dengan lantang, berjalan mendekati sosok Syifa dan Amaya di koridor sekolah. Semua mata anak-anak yang ada di situ seketika terarah pada kedua sosok yang dimaksud Rere. Tania dan Clara berdiri tak jauh darinya, tersenyum memberi dukungan. “Gimana kalau kita rayakan hari besar ini?” ucap Rere dengan kegembiraan palsu. “Re, jangan ganggu kami!” sahut Syifa dengan sebal. Rere berdiri di depan mereka, menghalangi jalan dirinya dan Amaya. “Kenapa, anak cupu? Lo takut apa gimana sama gue?” pancing Rere dengan nada menantang. “Re, aku nggak mau cari masalah!” “Oh, gitu ya? Tapi masalahnya lo itu adalah masalah bagi gue. Dan gue juga nggak suka dengan adanya masalah semacam lo di sekolah ini.” Syifa merasa tersinggung. “Apa maksud kamu? Aku bersekolah di sini bukan dengan uangmu, jadi kenapa kamu harus menganggap aku sebagai masalah?” “Karena lo pakai duit bokap gue!” jawab Rere dengan sombongnya. Kini ada lebih banyak anak di koridor, mendekat dan menonton keributan itu dengan semangat. “Lo gak sadar ya, bahwa lo bisa sekolah di sekolah elit gini karena kemurahan hati bokap gue. Kalau tidak, lo nggak bisa menginjakkan kaki kampungan lo itu di sini!” Kemarahan Syifa bertambah. Dia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. “Rere, aku bersekolah di sini karena beasiswa yang berhasil aku dapatkan. Itu bukan karena ayahmu!” “Heh, anak cupu! Lo nggak ngerti juga? Emangnya siapa yang ngasih beasiswa ke anak-anak miskin kayak elo? Bokap gue!” Tangan Rere mencengkeram puncak kepala Syifa dan menjambak rambutnya dengan garang. Anak-anak di sana sontak bersorak-sorai, seperti sedang menonton sebuah pertandingan yang menghibur. “Lepaskan!” jerit Syifa kesakitan. Amaya mengulurkan tangannya ke lengan Rere yang terangkat, membuat senyuman di wajah Rere lenyap. “APA?!” Rere memelototi Amaya. Amaya juga balas melotot padanya. Dia memegang lengan Rere dan mencengkeramkan kukunya ke dalam kulit Rere. Dalam sedetik, Rere melepaskan rambut Syifa dan menjerit-jerit kesakitan ketika kuku jari Amaya menusuk lebih dalam lagi dan membuat lengan Rere berdarah. “Amaya ...,” ujar Syifa lirih. Tania serta Clara mendekat, berusaha melepaskan cengkeraman Amaya dari lengan Rere. Namun, semakin mereka berusaha, semakin kuat pula cengkeraman Amaya. “Lepasin! Hei, lepasin!” “Aww, sakit! Sakit!” jerit Rere sembari menendang-nendang tak karuan. Syifa hany berdiri melongo di tempat, terpaku pada pemandangan itu. Amaya berjalan mundur selangkah, kemudian melepaskan cengkeramannya. Kuku tangan kanannya dipenuhi oleh darah merah yang mengucur, berasal dari luka di lengan Rere. Gadis itu menangis meraung-raung, memegangi lengannya yang robek berdarah. Semua anak di sana yang tadinya bersorak sudah diam. Mereka tidak menyangka kejadiannya akan begini. Semuanya menahan napas dengan ngeri. Lengan Rere sekarang nampak seperti habis digigit anjing serigala raksasa. Lukanya lebar dan terus mengeluarkan darah ke atas lantai koridor. “Ayo kita bawa ke UKS!” ajak Clara cepat. Tania mengangguk dalam kengerian. “Gue mau mati! Mati!” jerit Rere dalam kepanikannya. Tania dan Clara membawa Rere yang terus menangis melewati semua anak, menuju ke ruang UKS. Syifa merasakan bahwa jantungnya berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya. Dia mengikuti langkah ketiga gadis itu dengan matanya sebelum lenyap di tikungan. Apa yang terjadi tadi? Syifa melirik kuku-kuku jari Amaya, yang masih meneteskan darah Rere. Semua orang juga menatap gadis itu dengan aneh. Syifa dapat merasakan bahwa mereka sedang dalam situasi yang tidak enak. Tatapan semua orang tertuju kepada dirinya dan Amaya. Langkah-langkah cepat seorang guru wanita berjalan mendekat dengan tergesa-gesa. Itu adalah Bu Hilda. Suara sepatunya beradu dengan lantai, semakin mendekati mereka. Syifa merasa lemas seketika. “Kita akan mendapatkan masalah,” bisiknya begitu lirih pada Amaya. Entah apakah Amaya mendengarnya atau tidak, yang jelas perhatian Syifa sepenuhnya tertuju pada sosok Bu Hilda yang menatap dengan murka. “Ada apa ini?” ucap guru itu dengan nada tegas. Syifa merasa nyalinya menciut mendengar suara itu. Penjelasan berdatangan dari semua anak di sana. Semuanya ingin menjelaskan kejadian itu versi mereka masing-masing. Syifa berdiri kaku, merasakan kecemasan yang melanda. “DIAM SEMUA!” bentak Bu Hilda keras. Seketika dengungan-dengungan anak-anak itu teredam. Semuanya terdiam menurut. “Satu orang saja yang menjelaskan! Syifa, coba jelaskan apa yang terjadi di sini?” Syifa menelan ludah dengan susah payah. Dia tergagap-gagap menjawab. “T-tadi Rere menyerang kami duluan, Bu. Lalu, Amaya –“ “Ya? Apa yang Amaya lakukan? Kenapa sampai berdarah-darah begini? Apa yang terjadi?” sela Bu Hilda tak sabaran. Syifa terpaksa menjelaskan kejadian itu secara singkat. Raut wajah Bu Hilda menegang, sepertinya dia tidak percaya itu terjadi. “Bagaimana bisa?” Syifa membuka mulutnya lagi untuk berbicara. “Ini bukan salah Amaya, Bu. Ini salah saya—“ Bu Hilda menggelengkan kepalanya dengan ekspresi tidak senang. “Kalian berdua, ikut saya ke ruang Kepsek!” Sementara itu anak-anak kembali berbisik-bisik, sembari sesekali menunjuk ke arah tangan kanan Amaya yang meneteskan darah di sepanjang koridor. “Ada apa, Bu?” tanya seorang guru yang menatap kedatangan mereka di ruang guru sepagi ini. “Mereka ribut pagi-pagi,” jawab Bu Hilda dengab singkat. “Itu tangan Amaya berdarah gitu, nggak dibawa ke UKS dulu?” Bu Hilda mendengus. “Itu darah Rere. Dia membuat Rere terluka. Sekarang dia sedang di UKS. Sebentar lagi saya akan pergi melihat keadaannya.” Guru yang menyapa itu menaikkan alisnya dengan heran. Syifa hanya bisa tertunduk malu. Bu Hilda mengetuk pintu ruangan Kepala Sekolah dan menunggu. Ketika Pak Kepsek menerima kedua tamunya dengan anggukan kecil, Bu Hilda mengundurkan diri dan menutup pintu di belakangnya. Duduk di hadapan Kepala Sekolah membuat Syifa semakin deg-degan. Dia adalah salah satu siswi terbaik di sekolah ini. Baik dalam prestasi maupun tingkah laku. Dia tak pernah, sekalipun tak pernah, berhadapan dengan Pak Kepala Sekolah karena ada masalah. Ini adalah pertama kali dan semoga, dia berharap ini terakhir kali baginya. Jelas ini bukan pengalaman yang menyenangkan hingga harus diulangi kembali. Pak Kepsek duduk di tempatnya dalam diam. Dia membiarkan keheningan menggantung di udara selama beberapa menit. Dia terus menatap berganti-gantian antara Syifa dan Amaya. Seolah sedang mengamati dua mangsa buruannya. “Ada yang bisa menjelaskan, apa yang terjadi?” ucap Pak Kepsek dengan nada suara berat. Syifa mendongakkan kepala dengan hati-hati, berusaha menciptakan kesan baik padanya. Syifa kembali menceritakan kejadian itu versi dirinya. Dia menambahkan bahwa Anaya tidak bersalah. Amaya hanya membela Syifa dari Rere. Tapi Pak Kepsek rupanya tidak menaruh perhatian pada pembelaan itu. Tatapannya yang tajam tertuju kepada sosok Amaya yang menunduk dalam, di balik tirai rambutnya yang menjuntai mengerikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN